Bab 5 (Orang Aneh)

15 4 0
                                    

“Ingin kembali ke masa lalu.” Kutulis jelas pada buku diary dengan sampul biru tua tersebut.

Tak terjadi apa-apa. Keheningan di kamar membuatku tertawa, seperti orang gila saja. Mungkin semuanya hanya kebetulan. Aku menghela nafas dan bersandar pada kasur, sedikit malu membayangkan barusan aku benar-benar percaya buku itu bisa mengabulkan kenyataan.

Teringat bahwa waktu sudah menuju senja, aku mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi, menutup pintunya perlahan. Sekarang, suara hening tergantikan oleh derasnya air dari shower kamar mandi, sengaja kuputar menjadi air hangat untuk sekadar menenangkan diri.

Selepas semua baju telah terpakai, aku membuka pintu kamar mandi. Mataku membelalak melihat orang tak dikenal berada di kamarku sedang duduk di area meja tempatku tadi. Tunggu, kamarku? Walau dilihat sekilas, kamar yang sekarang kulihat tidak tampak seinci pun mirip dengan kamarku.

Kesampingkan dulu masalah itu, ada orang tak dikenal sedang terduduk membisu di hadapanku sekarang. Aku tak bisa melihat wajah orang itu dengan hoodie hitam besar menutupi area wajahnya, yang mampu kulihat adalah rambut hitam kecoklatan dengan panjang sedada keluar dari sela-sela tudung hoodie-nya.

“Perbaiki semuanya … seperti semula. Namun, berhati-hatilah, banyak … konsekuensi yang akan terjadi, setiap kamu … melakukan sesuatu,” ucapnya dengan terbata-bata.

Belum sempat membuka mulutku untuk menjawabnya, tiba-tiba mataku memaksa membuka dan aku mampu merasakan tubuhku sedang terbaring di ranjang. Tadi itu cuma mimpi?

Dengan nafas yang terengah-engah seperti habis melarikan diri dari sesuatu, aku mendudukkan diriku di sisi ranjang. Kucoba meneliti sekitar dan mendapati tempat yang sama seperti sebelum aku terbangun. Kepalaku pusing untuk mencerna apa yang sebenarnya sudah terjadi. Mimpi atau bukan?

Ragu untuk menyusuri ruangan karena sebelumnya kuingat ada sosok misterius itu, aku terdiam sejenak. Namun, keheningan terdengar menyelimuti ruangan, tak ada tanda-tanda keberadaan orang selain diriku di sini. Jadi, aku mencoba untuk berani melangkahkan kaki keluar dari ruangan kamar tersebut. Setelah kubuka pintunya, kuintip sedikit sebelum benar-benar melangkah keluar. Sekali lagi, tak ada tanda-tanda orang lain di sekitar.

Saat melangkahkan kaki keluar kamar, mataku langsung tertuju pada kalender yang terpajang di dinding ruang tamu sebelah televisi kotak yang terduduk di atas meja.

Alisku berkedut. Heran dengan tahun yang tertulis pada kalender tersebut, kucoba membalikkan berbagai sisi halaman kalender itu. Tetap tidak ada yang berubah walau kucoba membalikkan semua halamannya, yang tertulis di sana tetap tahun 2013.

Aku panik, mataku menelaah semua barang aneh di ruangan. Barang-barang yang tersimpan rapi di sana memang tidak terlalu berbeda dengan barang yang biasa kutemui. Namun, bentuknya yang kuno menambah kesan bahwa ruangan ini benar-benar berada pada tahun 2013, meski aku tidak tahu pada tahun itu ada apa saja.

Kuputuskan untuk pergi keluar, berharap di luar masih sama seperti selayaknya tahun 2050.

… Aku tidak bisa menebak apakah lingkungan luar dari rumah tempatku berasal ini adalah selayaknya tahun 2050 atau lingkungan dari 37 tahun yang lalu, tidak banyak perbedaan yang terlihat.

Saat sedang meneliti perumahan sekitar, masih di area dekat rumah tadi, kujumpai seorang bapak yang sedang lari santai menuju arahku. Berniat untuk bertanya padanya, kuberhentikan Bapak itu dari kegiatannya.

“Pak, maaf. Mau nanya sesuatu. Ini tahun berapa, ya?” tanyaku.

Bapak berjenggot yang memakai pakaian sporty lengkap dengan handuk kecil di lehernya hanya diam mendengar pertanyaan yang dilontarkan secara tiba-tiba.

Merasa canggung dengan respon si Bapak, aku mencoba pergi dengan perlahan berjalan mundur.

“Tunggu.”

Kaget dengan suara tegasnya yang tiba-tiba, aku menghentikan langkahku.

“Kamu orang baru di sini?” Bapak itu bertanya balik padaku dengan alis mengernyit dan gerak-gerik yang mencoba mundur dariku.

“Bukan, Pak …. Memang, ini di mana, ya?

“Orang aneh.” Tanpa aba-aba, Bapak itu melanjutkan langkahnya dan meninggalkanku yang terkejut dengan jawabannya.

“Aku cuma nanya, lho.”

Aku sendiri lagi sekarang, tidak kujumpai orang lain di sekitar. Lantas harus bertanya pada siapa lagi?

“Ih, nggak ada orang lain lagi. Terus aku gimana?” ucapku kepanikan melihat bolak-balik ke sekitar, mencoba untuk menemukan setidaknya satu orang untuk bertanya.

Menyerah untuk bertanya pada orang sekitar, dengan berat hati, aku memutuskan untuk kembali ke rumah tempat awalku. Meski agak takut dan ragu, dibanding harus sendiri di wilayah luar yang asing, lebih baik memberanikan diri di dalam.

Kembali kutatap kalender yang terpajang di dinding ruang tamu, sudah ku coba untuk mencari kalender lain dengan bertuliskan tahun 2050, tapi tidak ada.

Kalau kuperhatikan ke sekitar, barang-barangnya pun cukup aneh, semua terasa asing dan membawa kesan antik dimataku.

Kedua tanganku sengaja terlipat di depan dada, menunjukkan kesan serius dalam mencoba memahami perbedaan jauh dari tahun pada kalender itu dengan tahun yang seharusnya, tahun 2050.

Kalau ini mimpi, kenapa terasa nyata sekali? Apa mungkin kalau aku kembali ke masa lalu?

Aku terdiam sejenak, hal ajaib terlintas di otakku. Aku mengalami hal yang sesuai dengan yang kutulis di buku diary itu. Berarti, perkiraanku benar, buku diary itu memiliki kekuatan ajaib yang bisa mengabulkan apa yang tertulis.

Hebat juga, ya.

Sedang berpikir keras, aku mengingat kembali apa yang dikatakan oleh orang misterius di kamar. Kalau tidak salah, dia menyebut sesuatu tentang memperbaiki.

“Eh, memperbaiki apa, sih? Apa hal yang harus aku perbaiki?”

Aku memutuskan untuk mencari barang-barang yang kemungkinan penting untuk digunakan. Di lemari kayu di kamar, aku menemukan baju seragam SMA perempuan lengkap, setelah ditelusuri lagi, di meja belajar berwarna pink tergeletak sebuah surat bertuliskan “keterangan pindah sekolah” dan nametag dengan namaku, Sahna Sahila.

“Lho. Kok, ada namaku?”

Bingung, aku mengambil nametag itu dan membolak-balikkannya, mungkin saja aku hanya salah lihat. Namun, berusaha seperti apapun, nama yang tertulis di sana tetap sama. Aku tidak ingat di mana tempat terakhir kuletakkan nametag sekolah milikku dulu, yang pasti tidak kuletakkan di sini.

Beberapa jam berlalu, cahaya rembulan menerobos masuk dari jendela di kamar. Aku masih terpaku di sisi kasur, berusaha mencerna hubungan antara perkataan orang misterius sebelumnya dengan surat dan nametag bertuliskan namaku di meja belajar.

“Apa, sih, maksudnya? Kok bikin bingung gini?”

Kubaringkan badanku kebelakang, bertumpu pada kasur empuk. Kedua mata kupejamkan, hanya ada suara kipas yang tadi sengaja kunyalakan dan suara jangkrik yang menembus dari luar yang menemaniku di ruangan yang sepi ini.

“Oh. Jangan-jangan orang itu minta aku kembali sekolah lagi?”

Surat bertuliskan “Keterangan Pindah Sekolah” yang tadi kubiarkan tergeletak di meja belajar pun kuambil. “Eh, nama sekolahnya beda dari SMA ku dulu. Apa mungkin setelah aku lulus, namanya berganti jadi SMAN 8 Tarsagana?”

Between Tomorrow and Yesterday Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang