“Maaf, ya. Aku nggak bisa, deh ….”
Aku menghela nafas saat mendapatkan jawaban dari ibuku, sulit untuk meyakinkannya agar aku bisa melihat kakek dan nenekku saat masih muda, tidak mungkin aku berkata sejujurnya bahwa aku adalah anaknya di masa depan.
Ibuku saat remaja dan temannya pergi meninggalkanku, aku tak punya pilihan selain mengikuti mereka secara diam-diam. Dalam perjalanan, mereka sesekali menengok ke belakang seperti menyadari keberadaanku yang mengikuti mereka, jadi kuputuskan untuk memberi jarak yang jauh agar tidak dicurigai.
Sambil terus mengendap-ngendap di belakang mereka, kucoba menghafalkan rute jalan menuju rumah ibuku, rupanya cukup dengan berjalan kaki pun lumayan dekat.
Tak terasa mereka berhenti pada sebuah rumah yang lumayan besar, kulihat Ersya melambaikan tangannya, tanda mereka akan berpisah. Jadi, kurasa rumah itu adalah rumah ibuku. Saat Ersya sudah kembali berjalan pergi dan Ibu memasuki rumahnya, aku berusaha mengintip dari sela-sela jendela yang tertutup oleh tirai. Namun, tetap tidak terlihat apa-apa. Aku yang pantang menyerah pun mencoba mendekat jendela rumah itu, berharap terdengar sesuatu dari dalam.
Sedang fokus mencoba mendengar suara, aku tidak menyadari pintu rumah itu terbuka, dan seorang lelaki tua keluar. Aku yang panik pun berusaha bersikap normal agar tidak dicurigai.
“Eh, siapa kamu?”
“Maaf, Pak. Salah rumah,” ucapku sambil melangkah mundur, bersiap untuk kabur. Akan tetapi Bapak itu malah mendekat dan seperti akan menelepon seseorang, tanpa pikir panjang, aku bergegas kabur meninggalkannya yang meneriakiku untuk berhenti.
Untungnya, setelah dirasa sudah cukup jauh untuk menghindar, aku tidak melihat tanda-tanda orang lain mengikutiku. Kucoba mengatur nafas terlebih dahulu, sebelum menyadari bahwa aku tak mampu mengenali jalanan sekitar tempatku berada sekarang. Habislah aku.
Hari sudah semakin gelap, dan sekarang aku tersasar, tidak ada orang disekitar untuk ditanyakan. Pun biasanya, kalau tersasar solusinya adalah melihat maps di ponsel. Namun, ponselku tidak ada, hilanglah semua harapanku.
Kucoba menyusuri jalanan yang hampir gelap karena langit sudah akan berganti malam. Setelah berjalan cukup lama, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Kemudian, aku duduk di ruko kosong yang gelap gulita sebab kurangnya penerangan. Dari kejauhan, aku mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahku, rupanya langkah kaki itu berasal dari seorang pria dengan tinggi semampai, ingin sekali aku bertanya jalan pulang kepadanya, tetapi ragu kalau dia adalah orang yang jahat.
Orang itu pun tak terlihat lagi, tapi entah kenapa dia tiba-tiba muncul dihadapanku.
“Lo kenapa?” tanyanya.
Aku yang masih dalam keadaan terkejut dengannya yang tiba-tiba muncul, mencoba melangkah mundur menjauhi orang itu.
“Jangan, saya cuma lewat. Kalau kamu berani macam-macam, saya bisa teriak,” ancamku dengan cemas.
Orang itu berhenti, terlihat terkejut dengan kalimatku barusan. Ia tiba-tiba terkekeh,
“Apa, sih? Gue nanya baik-baik.” jawabnya.
Cahaya rembulan mulai menunjukkan wajah dari orang tak dikenal itu, sosok wajahnya yang elok dengan alis tebal membuatku mematung. Dilihat dari penampakan wajah dan penampilannya, sepertinya ia juga tak jauh dari umur yang masih belasan tahun.
Aku yang salah tingkah pun dengan sengaja berdeham, kemudian kembali menjawab.
“Eh, maaf. Saya panik, jadi ngomong sembarangan.”
Lagi-lagi, ia terkekeh mendengar jawabanku, sebelum kembali bertanya arah tujuanku.
“Saya nggak tahu ini dimana, Saya nyasar dan juga nggak tahu nama daerah rumah saya.”
“Nggak usah formal banget, dong. Kayaknya kita seumuran, deh.” Ia malah mengalihan pembicaraan.
“Yaudah, aku lagi nyari jalan pulang. Kira-kira kamu bisa antar aku nggak?” tanyaku.
“Nah, gitu, dong. Tenang, gue hafal semua jalan di daerah sini, bisa dibilang kalau gue penguasanya,” jawabnya sambil bercanda, melipat kedua lengannya di depan dada.
Mendengar jawaban nyeleneh darinya membuatku mengangkat alis keheranan.
“Eh, tapi, lo beneran nggak tahu nama daerah rumah lo sendiri? Terus gimana caranya gue nunjukin jalannya?” tanyanya.
Aku yang dari kemarin hanya sibuk memikirkan orang tuaku yang kini menjadi remaja, tidak sempat mencari tahu tentang nama daerah yang kutinggali. Belakang leherku yang tak gatal pun kugaruk, menanggapi dengan canggung pertanyaannya, “Hehe, kalau nggak mau bantu, nggak apa-apa.”
Ia terdiam sejenak. “Nggak, kasihan udah mau malam gini, diantar aja biar cepat.”
Aku tidak menyangka bahwa ia akan tetap setuju untuk mengantarku pulang, meski tak tahu jalannya, kucoba mengingat beberapa bangunan di sekitar. Kami berdua masih terus menyusuri jalan untuk mencari rumahku. Walau tadinya aku ragu untuk mengiyakan ajakannya, namun sepertinya dia benar-benar tidak akan macam-macam. Jadi, kupercayakan saja hal ini padanya.
Setelah beberapa kali memutari jalanan, akhirnya, Aku merasa seperti mengenali jalanan ini, dan benar saja ternyata lumayan dekat dengan rumah yang menjadi tempat singgahku untuk sementara.
Aku menghadap orang yang sedari tadi bersedia menemaniku mencari rumahku. “Ini udah dekat, makasih, ya.”
Ia menoleh ke sekitar dan menjawab, “Lha, ini dekat dari rumah gue juga.”
Kebetulan yang tiba-tiba muncul itu membuatku tak habis pikir. Ia pamit tanpa sempat memberitahukan namanya, meninggalkanku sendiri di tepi jalan yang hampir dekat dengan rumah. Aku ragu untuk berhenti tepat di depan rumah bersamanya, sekadar berjaga-jaga.
Kumasuki rumah itu, melepas seluruh penat dengan berbaring di lantai ruang tengah beralaskan tikar.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, saatnya untuk mandi. Akhir-akhir ini aku kembali ke aktivitasku saat masih sekolah, bangun tidur, sekolah, lalu tidur lagi. Setidaknya memang lebih baik dari berkelahi dengan dunia orang dewasa. Walau hanya sementara, kucoba menikmati setiap waktu yang ada untuk mengingat kembali masa remaja, meski harus ditemani oleh beban pikiran dari teka-teki yang ditinggalkan oleh orang misterius.
Mengingat soal orang misterius, terbesit soal buku diary ajaib berwarna biru tua yang tak kupedulikan, sibuk dengan fakta bahwa aku kembali ke masa orang tuaku masih remaja.
Aku bergegas bangun dan mencari ke kamar, kutemukan buku itu di laci meja belajar yang berwarna pink. Namun, sekarang buku diary yang kubeli sebelumnya, entah kenapa tiba-tiba memiliki gembok yang menutupinya.
Panik bukan main, kucoba cari kunci untuk membukanya di sekitar. Hampir satu ruangan ini sudah kubongkar untuk mencari kuncinya, pun tetap tak kujumpai. Menyerah untuk mencari, aku terduduk di lantai, meratapi nasib dengan buku diary yang tak bisa lagi kuandalkan.
Kepasrahkan semuanya, dan memutuskan untuk kembali memikirkan hal yang lebih penting untuk mendekati Ibu dengan tak dicurigai. Kuterlelap dalam buaian dinginnya malam yang sunyi dan bersiap menyambut datangnya hari esok sebagai murid SMA. Dengan membawa bekal seadanya dan buku, aku berangkat dengan kedua kakiku melewati jalan yang sudah kuhafalkan.
Di sekolah, aku menyadari bahwa beberapa hari ini, laki-laki yang merupakan ayahku saat masih remaja, sering sekali datang menghampiri Ibu ke kelasnya. Makan, tertawa, dan menghabiskan waktu istirahat bersama, layaknya remaja yang sedang dimabuk asmara, tidak seperti mereka yang kukenal di rumah. Mereka di masa depan tidak pernah sekalipun kulihat bermesraan layaknya suami dan istri, keduanya selalu sibuk, bahkan untuk sekadar memberi kabar.
Kurasa benar kata orang, saat sudah menikah dan hidup bersama, perasaan seseorang bisa saja berubah, apalagi menjadi bosan. Jujur, aku selalu merasa kasihan pada Ibu yang terlihat tak mendapat kasih sayang dari suaminya sendiri. Aku penasaran bagaimana akhirnya Ayah yang di masa lalu terlihat begitu menyukai Ibu, berubah menjadi dingin saat menikah. Apa mungkin kalau orang yang menyukai lebih dulu bisa saja perasaannya menghilang seiring dengan berjalannya waktu?
Tiba-tiba teringat perkataan orang misterius pada awal aku berpindah ke masa lalu, kalau tidak salah, ia berkata soal memperbaiki sesuatu. Apa yang ia maksud adalah memperbaiki hubungan orang tuaku? Tapi, bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Tomorrow and Yesterday
FantasyIngin memperbaiki kehidupannya yang berakhir berantakan sampai sekarang, Sahna Sahila menulis harapannya "ingin kembali ke masa lalu" pada sebuah buku diary yang baru ia beli. Harapannya terkabul, namun, ia malah kembali pada masa orang tua-nya saat...