Jakarta, 07 Oktober 2050
Sudah lewat sebulan sejak terakhir kali kutampakkan diri ini pada peristirahatan terakhir orang tuaku. Jujur, sampai detik ini, aku masih merasa terikat oleh rasa penyesalan karena tak berada pada sisi mereka untuk yang terakhir kalinya. Terlebih lagi karena aku tak bisa berbuat apa-apa, dan Ibu harus meregang nyawa di sisi pria yang tak mencintainya.Setiap aku pulang dari kantor menuju rumah, selalu saja terbayang akan hal yang sama terjadi dua kali atau bahkan berkali-kali.
Di tengah lamunan, segerombolan rekan kerja melewatiku dan salah seorangnya tampak sengaja menyenggol bahuku. Kuamati orang itu dari punggungnya yang membelakangiku. Aku menghela nafas ketika menyadari pemilik punggung itu.
Memang siapa lagi kalau bukan Han?
Banyak hal yang mengganggu pikiranku sehingga kekesalanku pada Han terlupakan sejenak. Dia gigih untuk bertahan mengabaikanku sejak terakhir kali aku menolaknya. Syukurlah.
Sesaat sampai di depan mobilku yang terparkir rapi di parkiran kantor, aku tidak lupa melihat ponsel untuk memastikan notifikasinya menyala. Kebiasaan ini berulang kulakukan sejak hari itu.Setelah dirasa semuanya telah diperiksa, aku pun pergi mengendarai mobil untuk segera pulang ke rumah. Tak lupa juga mendengarkan musik selama perjalanan untuk menemaniku.
Kakiku melangkah masuk pada rumah dengan cat hitam dan putih yang menjadi satu-satunya tempatku untuk pulang dan melepas penat setelah berkelahi dengan sibuknya dunia orang dewasa.
Baru selangkah masuk, aku teringat dengan buku diary yang kubeli bulan lalu. Kalau tidak salah kuletakkan di rak buku kamarku. Penasaran dengan buku itu, dengan semangat, aku bergegas menuju kamar.
"Bukunya kayak buku bekas pakai, deh, tapi nggak ada halaman yang udah terisi," ucapku sambil mengamati setiap inci dari buku tersebut, membuka semua halamannya.
Tak sabar ingin mencoba menulis di buku itu, aku merogoh pulpen dari tempat alat tulis di meja dan berpikir untuk menulis sesuatu. Terbesit dalam pikiranku untuk menuliskan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini selalu membuatku jengkel.
Halaman pertama buku diary yang baru kubeli ini diakhiri dengan keinginanku untuk memakan seporsi mie ayam komplit favoritku. Biasanya, makanan adalah obat paling ampuh saat suasana hatiku sedang buruk.
Sehabis menulis kata terakhir, aku menutup buku diary baru itu dan meletakkannya di laci meja. Tak lupa juga mengambil jaket dan kunci motor untuk segera pergi menuju pedagang mie ayam langgananku. Sebenarnya sedikit malas karena tempatnya yang lumayan jauh dari istana kecilku ini, tapi demi mie ayam, apapun akan kulakukan.
Baru saja aku memutar gagang kunci pintu, terdengar suara ketukan khas pedagang gerobak, Kulihat dari jendela rumahku dan rupanya suara itu berasal dari pedagang gerobak mie ayam. Jarang sekali pedagang keliling lewat di depan rumah.
Apakah ini keajaiban dunia?
Tak ingin melewatkan kesempatan sekali seumur hidup ini, aku segera memberhentikan penjual itu dan bergegas mengambil mangkuk dari dapur. Segera pula kuhampiri penjual mie ayam dengan gerobak berwarna biru yang sudah berhenti tadi.“Neng, mie ayamnya sisa 1 porsi, nih,” kata Abang penjualnya sambil membuka tutup panci yang berisi kuah mie ayam. Aku bisa merasakan harumnya sudah menyebar hingga ke komplek sebelah.
“Iya, Bang. Mau 1 porsi aja,” jawabku.
“Oke, Neng. Tunggu, ya,” pintanya dengan sigap mengambil mangkuk dari tanganku.
Dengan lihai, ia membuat seporsi mie ayam pesananku menjadi terlihat semakin nikmat untuk disantap.
“Nih, Neng. Nggak usah bayar, ngabisin porsi terakhir biar saya pulang cepet,” kata penjual mie ayam sembari menyerahkan semangkuk mie ayam yang lezat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Tomorrow and Yesterday
FantasyIngin memperbaiki kehidupannya yang berakhir berantakan sampai sekarang, Sahna Sahila menulis harapannya "ingin kembali ke masa lalu" pada sebuah buku diary yang baru ia beli. Harapannya terkabul, namun, ia malah kembali pada masa orang tua-nya saat...