Beginning.

56 6 0
                                    

Sekolah menengah adalah tempat di mana segala sesuatu bisa terjadi—teman, musuh, cinta, dan benci. Di sebuah sekolah besar di kota, dua gadis yang tampaknya berbeda dunia, Hanni dan Minji, memiliki sejarah yang penuh dengan gesekan dan ketegangan. Mereka tak pernah berhubungan baik, bahkan sejak hari pertama mereka bertemu di kelas sepuluh.

Minji adalah gadis populer dengan lingkaran pertemanan yang terdiri dari Karina, Jake, Hyunjin, dan Ryujin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minji adalah gadis populer dengan lingkaran pertemanan yang terdiri dari Karina, Jake, Hyunjin, dan Ryujin. Kelompok ini selalu tampak seperti inti sosial sekolah, sering terlihat di kantin, berbicara tentang acara-acara, pesta, dan segala sesuatu yang tampaknya jauh dari urusan Hanni.

 Kelompok ini selalu tampak seperti inti sosial sekolah, sering terlihat di kantin, berbicara tentang acara-acara, pesta, dan segala sesuatu yang tampaknya jauh dari urusan Hanni

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sisi lain, Hanni adalah bagian dari kelompok yang sedikit lebih kecil, lebih tertutup. Teman-teman dekatnya termasuk Danielle, Minjeong, Jungwon, dan Haerin. Mereka lebih suka berkumpul di perpustakaan atau di ruang klub seni, berbicara tentang musik, buku, dan proyek-proyek kreatif.

Permusuhan antara Hanni dan Minji dimulai dengan sesuatu yang sepele. Sebuah kesalahpahaman tentang siapa yang mendapatkan nilai terbaik dalam ujian matematika di kelas sepuluh. Hanni, yang selalu tenang dan penuh perhitungan, merasa Minji sengaja menyombongkan diri saat mendapatkan nilai sempurna, sementara Hanni hanya tertinggal satu poin. Minji, di sisi lain, merasa bahwa Hanni tidak punya alasan untuk merasa iri dan menganggapnya sebagai sikap yang kekanak-kanakan.

Di hari pertama mereka saling berinteraksi, percikan api segera terlihat.

---

Suatu siang di kantin sekolah

Hanni dan teman-temannya duduk di meja dekat jendela, berbicara tentang proyek seni mereka. Minji, bersama Karina dan Jake, duduk di meja sebelah, mengobrol tentang rencana pesta akhir minggu.

“Kenapa harus selalu mereka yang dapat perhatian?” gumam Hanni pada Danielle, memandangi Minji dari kejauhan.

“Apa? Mereka cuma populer, nggak usah dipikirin,” balas Danielle sambil menyuap makanannya.

Tapi Hanni tak bisa mengalihkan pandangannya. Dia merasa bahwa Minji selalu punya cara untuk membuat dirinya terlihat lebih hebat, lebih pintar, dan lebih baik dalam segala hal.

Sementara itu, di meja sebelah, Minji merasakan tatapan tajam Hanni dan langsung menanggapi dengan tatapan sinis.

"Kenapa dia selalu kayak gitu?" Minji mendesah pelan pada Karina.

“Kayak apa?” tanya Karina, bingung.

“Lihat deh, dia ngeliatin aku seolah-olah aku yang salah karena dapet nilai bagus di ujian. Padahal, aku kerja keras juga buat itu.”

“Ya ampun, Minji. Jangan terlalu diambil hati. Biarin aja,” kata Karina sambil tertawa, mencoba menenangkan temannya.

Namun, kata-kata itu hanya memperburuk suasana hati Minji. Dia merasa Hanni selalu menyimpan dendam tanpa alasan jelas.

---

Beberapa minggu kemudian

Di lorong sekolah, Hanni berjalan cepat menuju ruang kelas, tetapi tiba-tiba dia bertemu dengan Minji yang keluar dari arah berlawanan. Tanpa disengaja, bahu mereka bersenggolan cukup keras.

“Aduh!” seru Hanni, berhenti dan menatap Minji dengan tajam. “Hati-hati kalau jalan.”

Minji mendengus, “Kamu yang harusnya hati-hati. Liat jalan, dong.”

Hanni merasa darahnya mulai mendidih. “Kenapa sih kamu selalu sok penting?”

Minji menyilangkan tangannya di dada. “Sok penting? Kamu yang selalu lihat aku seolah-olah aku musuh besar kamu.”

“Saya? Musuh besar kamu? Jangan geer deh.”

“Oh, tolonglah. Kamu nggak bisa sembunyiin rasa iri itu, Hanni.”

“Apa? Iri? Kamu pikir kamu siapa?”

Minji tersenyum tipis, sinis. “Nggak usah pura-pura. Aku tahu kamu selalu ingin jadi yang terbaik di kelas, tapi sayangnya aku ada di sini.”

Percakapan itu berakhir dengan Hanni yang meninggalkan Minji dengan geraman kecil, sementara Minji hanya tersenyum, merasa puas karena dia berhasil mengganggu pikiran Hanni. Begitulah hubungan mereka terus berlanjut—perselisihan kecil di sana-sini, tatapan tajam di setiap pertemuan, dan persaingan diam-diam di kelas.

---

Suatu hari, sekolah mengadakan proyek besar untuk acara festival seni. Semua siswa diharuskan berpartisipasi dalam proyek kelompok, dan takdir—atau mungkin nasib buruk menurut mereka—memasukkan Hanni dan Minji ke dalam satu kelompok yang sama.

Teman-teman mereka tertawa saat tahu mereka harus bekerja sama.

“Kamu serius? Hanni sama Minji satu kelompok?” tanya Hyunjin pada Jake sambil tertawa kecil.

Jake hanya mengangkat bahu. “Ini bakal seru sih. Aku bahkan nggak yakin mereka bisa ngomong tanpa berantem.”

Sementara itu, di sisi Hanni, Jungwon mencoba menenangkan suasana. “Mungkin ini kesempatan buat kalian berdua buat... ya, kenal lebih baik?”

Hanni hanya menatap Jungwon seolah-olah dia gila. “Kenal lebih baik? Aku lebih milih buat gak ngomong sama sekali daripada kerja bareng dia.”

Namun, peraturan adalah peraturan. Mereka harus bekerja sama selama beberapa minggu untuk menyelesaikan proyek seni mereka. Hanni dan Minji terpaksa mengatur waktu pertemuan, berbagi ide, dan mencoba untuk tidak saling mengganggu.

---

Hari pertama kerja kelompok

Mereka duduk di ruang seni, Hanni di satu sisi meja dan Minji di sisi lain, diapit oleh teman-teman mereka.

“Baiklah,” kata Minji dengan nada formal, “aku pikir kita harus mulai dengan menentukan konsep utama dulu.”

Hanni mengangguk, tapi tidak menatap langsung ke arah Minji. “Ya, aku setuju. Aku punya beberapa ide tentang penggunaan warna dalam lukisan mural.”

“Warna cerah?” Minji mengangkat alis. “Menurutku kita butuh sesuatu yang lebih dramatis, mungkin warna gelap untuk menekankan tema yang lebih kuat.”

Hanni mendesah. “Tentu saja kamu suka warna gelap.”

“Kenapa? Ada masalah?” Minji menantang, sambil menatap Hanni.

“Tidak, hanya saja... yah, tidak semua hal harus dramatis sepanjang waktu.”

Teman-teman mereka menatap mereka dengan canggung, berharap ini tidak berubah menjadi perdebatan lain.

“Okay, kenapa nggak kita coba gabungin ide kita?” Danielle mencoba melerai.

Minji dan Hanni saling tatap sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan enggan.

---

Let me love you. | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang