Di malam harinya, setelah seharian bekerja keras di bawah terik matahari, Nandru duduk di kamarnya yang sederhana. Ia menatap gantungan kayu kecil yang diberikan Handara dengan penuh kekaguman. Cahaya lampu minyak yang redup membuat ukiran naga pada gantungan itu tampak semakin hidup. Setiap detail ukirannya terlihat sangat halus, dan Nandru teringat bagaimana Handara menceritakan bahwa gantungan itu berasal dari seorang pedagang Tang. Nandru merasa ada sesuatu yang istimewa dengan benda ini-seolah-olah gantungan itu membawa semacam keberuntungan dan harapan di dalamnya.
Sambil terus memandangi gantungan itu, Nandru tidak menyadari bahwa ayahnya sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Ayahnya, yang baru saja selesai membersihkan diri setelah bekerja seharian, memperhatikan putranya dengan raut wajah tenang. Ia mengenal betul putranya, dan bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Nandru. Akhirnya, dengan nada hangat, sang ayah bertanya, "Apa yang kau lihat, Nandru? Sepertinya kau sangat terpukau oleh benda kecil itu."
Nandru tersentak sejenak dari lamunannya dan tersenyum kepada ayahnya. "Ini gantungan kayu di berikan seseorang, ia bilang gantungan ini berasal dari orang-orang Tang, dari negeri yang jauh," jawab Nandru sambil menyerahkan gantungan itu ke tangan ayahnya. Ayah Nandru mengambil gantungan itu dan mengamatinya dengan seksama. Ia memutar-mutar gantungan di tangannya, memperhatikan ukiran naga yang tampak begitu rumit namun indah. Ada kehalusan seni dan keterampilan yang luar biasa dalam setiap detailnya.
Sang ayah mengangguk pelan, seolah memahami makna di balik pemberian itu. "Orang-orang Tang," gumamnya. "Mereka dikenal sebagai bangsa yang mahir dalam seni ukir dan barang-barang kerajinan seperti ini. Barang kecil seperti ini bisa memiliki makna yang besar di baliknya." Ayah Nandru mengembalikan gantungan itu kepada putranya, lalu duduk di sampingnya. "Kenapa dia memberikan ini kepadamu?" tanyanya dengan nada yang lebih serius.
Nandru berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak begitu tahu, Ayah. Dia bilang ini sebagai kenang-kenangan dari pertemuan kami. Ia sepertinya ingin membangun persahabatan denganku. Tapi selain itu, aku tidak yakin," jawabnya jujur. Nandru teringat saat mereka bertemu di lembah Segaru. Meskipun pertemuannya dengan Handara singkat, ada sesuatu yang terasa istimewa. Handara terlihat seperti seseorang yang menghargai seni dan tradisi, sama seperti Nandru. Mereka sama-sama berasal dari latar belakang yang berbeda, namun terhubung oleh sesuatu yang lebih dalam-keindahan seni dan rasa hormat pada nilai-nilai budaya.
Ayah Nandru terdiam sejenak, memandangi putranya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Kau harus berhati-hati, Nandru," ujarnya dengan nada pelan. "Tidak semua pemberian itu hanya sekadar hadiah. Terkadang, ada harapan atau niat yang tersembunyi di baliknya. Kau adalah pemuda yang cerdas, aku percaya kau bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak." Nandru mengangguk, merenungi nasihat ayahnya. Ia memahami maksud ayahnya, namun ia juga merasa bahwa Handara adalah seseorang yang bisa dipercaya.
Malam itu, setelah percakapan mereka berakhir, Nandru tetap terjaga di kamarnya. Ia menggantung gantungan kayu itu di dekat jendela, membiarkannya berayun pelan diterpa angin malam. Dalam keheningan malam, Nandru kembali memikirkan perjalanan hidupnya. Dari seorang anak buruh yang bekerja keras di bawah panas matahari, kini ia terlibat dalam dunia yang lebih besar-dunia seni, persahabatan, dan mungkin juga politik yang lebih luas. Gantungan kecil itu kini terasa seperti simbol dari perjalanannya. Perjalanan yang penuh misteri, tetapi juga penuh dengan harapan.
Sebelum tidur, ia menatap gantungan itu sekali lagi dan berkata pelan kepada dirinya sendiri, "Apa pun yang terjadi, aku akan menjaga ini. Ini mungkin lebih dari sekadar kenang-kenangan. Ini bisa menjadi pengingat bahwa aku tidak sendirian dalam perjalanan ini." Dengan pikiran itu, Nandru akhirnya memejamkan matanya, membiarkan mimpinya membawa dia ke dunia yang penuh dengan tarian, pertemuan, dan masa depan yang masih misterius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuju Padamu (BL) Ongoing☑️
Ficción históricaSebelum fajar, angin bertiup di pipiku Suara mu Aroma mu membungkus dan mengisi segalanya "Aku mulai mencintaimu tepat di pertemuan kedua kita, kamu mungkin tidak mengingat aku pada waktu itu tetapi tanpa kau sadar bahwa mata kita pernah menatap sa...