Suasana sejuk mengalir serta embusan angin yang menyapa raga seolah memberikan jeda untuk kedua insan tersebut. Saling bertatapan namun berjarak, tetap pada posisi masing-masing. Kedua bola mata lentik gadis itu bimbang, kadang kala ia menutup mata memejam dalam atau menghela napas. Gundah menyelimuti, entah perasaan kali ini benar atau tidak. Bagaimana mungkin ia masih terpikirkan masa lalu saat bersama dengan orang yang berbeda.
"Maaf..."
Wajar jika seseorang itu berpaling, bahkan pergi dari dirinya. Sosok yang sudah dari awal terang-terangan menyukainya bahkan menganggapnya lebih dari seorang teman, dan perlahan jiwa itu tertarik singgah di tempat yang kosong untuk memberi setiap rasa sayang. Namun, tempat seluas itu, terdapat ruang kecil yang sudah terlalu lama tinggal di sana, itu seperti benda yang tak bisa tergantikan oleh apapun dan sangat berarti untuk pemiliknya.
"Aku tau, tapi... bisakah kamu memberi kesempatan untukku?"
Saat seseorang sudah pada titik jurang miliknya, sebuah rasa pertimbangan muncul di tengah situasi genting ini. Haruskah katakan 'Ya' dengan ketidakyakinan atau katakan dengan tegas 'Tidak' padanya. Semua akan selesai jika menerimanya, bahkan ia bisa bahagia, mungkin? Tetapi kenapa hati terus menolak, seakan permintaan itu adalah sebuah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Gejolak itu terus menghantuinya, keputusan mana yang harus terpilih, yang baik untuk semuanya, atau baik untuk hidupnya.
Tiga tahun yang lalu
Sorak riuh datang dari arah sekitar, sebuah tempat di dalam ruangan dengan lampu berwarna-warni di sekitar. Banyak mulut menggebu-gebu untuk mengutarakan kesenangan pada pesta perayaan kelulusan bersama satu angkatan. Meski kadang berdesakan, manusia di ranah tersebut menikmatinya. Berjoget ria serta alunan musik yang berenergi membuat gendang telinga merespon lambat. Kadang ada yang berbicara hingga terlihat urat mereka supaya bisa terdengar. Meski berdekatan, nyatanya suara mesin pengeras suara tersebut lebih dominan.
Bermodal suara emas, namun mampu menggetarkan hati. Di tengah ramainya suasana tersebut, ujung ruangan menjadi tempat konser mereka berdua. Terbatas suara tetapi tak memberhentikan mereka untuk menyanyi lagu yang berbeda genre sekalipun. Gadis itu memulai dan bergantian menyanyi dengan lawan mainnya.
"Semua kata rindumu semakin membuatku..."
"Tak berdaya."
"Menahan rasa,"
"Ingin jumpa."
"Percayalah padaku, aku pun rindu kamu!"
"Ku akan pulang."
"Melepas semua kerinduan, yang terpendam."
Setelah selesai menyuarakan lewat lagu, gadis itu mencoba mencari peluang atas tindakannya. Ia memilih untuk tampil berbeda dibanding teman lainnya yang mabuk-mabukan. Semasa muda memang waktunya mencoba banyak hal, karena remaja hanya satu kali dalam hidup. Ia akan membuat keputusan di usia muda, tentang kebenaran rasa di dada.
"EHEM."
"Apa?!"
"Aku menyukaimu."
"COBA ULANG LAGI?!"
Ia tersenyum, nampaknya lelaki itu tak bisa mendengarnya, terlihat dari raut wajahnya bingung. "Gajadi kok, hehe." Entah mengapa itu terasa lega. Begitu menyadari perasaan untuk lelaki di hadapannya, seketika pengakuan pun terjadi. Tak ada tuntutan atau balasan, tapi itu mampu membuat hatinya tenang.
Ya, ini adalah keinginannya. Biarkan ia menyukai dalam kesendirian, hanya ia yang menyadari. Walaupun saat ini bukan masalah yang begitu besar tetapi setiap perbuatan akan ada pertanggungjawaban di masa mendatang.
YOU ARE READING
Rangkulan Rasa
Short Story"Aku tidak bisa tersenyum selebar dulu, sehingga mataku tidak akan menyipit saat itu." "Pada awalnya kita baik, lalu kembali runtuh." Di masa lalu, Liliana Seraphine, memiliki kenangan yang hitam dan putih. Ia ingin mengingat momen berharga itu, tid...