the loneliness

15 7 0
                                    

KAMIS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KAMIS...

FANI:
ponakanmu tanding kapan?
Sabtu apa Minggu?

SAN:
Minggu pagi

FANI:
okee, aku Minggu kosong
paginya tuh jam berapa?

SAN:
Mulai tanding kayanya sekitar jam 9

FANI:
jadi kita berangkat jam berapa?
tujuh?

SAN:
jam 7 gapapa, kita bisa sarapan
dulu kalau kamu mau

FANI:
kita tiap ketemu kayanya kamu
ngajak makan terus ya? 🤧

SAN:
eh? emang kenapa? kamu lagi diet?

FANI:

FANI:enggak dingkadang-kadang sih ehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

FANI:
enggak ding
kadang-kadang sih ehe

SAN:
jadi gimana?

FANI:
apanya?

SAN:
kamu jadi ikut?

FANI:
berdua aja? atau sama kakakmu?

SAN:
kita berangkatnya ya berdua,
kakakku ya sama suaminya

FANI:
hooo okeee

FANI:
aku pikirin lagi ya, San

SAN:
hn? okee..

Stefani naruh ponselnya secara terbalik di atas kasur, dia yang lagi tengkurap itu cuma bisa mandang tembok kamarnya dengan muka melas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Stefani naruh ponselnya secara terbalik di atas kasur, dia yang lagi tengkurap itu cuma bisa mandang tembok kamarnya dengan muka melas. Beginilah nasib orang yang sudah gak punya teman untuk diajak bicara dan diskusi, segala sesuatu yang udah jelas di depan mata masih dia ragukan keasliannya.

Choi San, sikap dia yang sat set act of service begitu aja masih selalu dia ragukan. Dengan gak adanya sosok yang bisa meyakinkan dia kalau si Choi San ini beneran serius, Stefani cuma bisa diam dan kepikiran sampai kepala dia sakit sendiri.

Stefani tinggalin ponselnya, turun dari kasur dan sambil berjalan dia ngelepas atasan piyama yang dipakai buat dia ganti sama hoodie hijau neon yang dia sampirkan di sandaran kursi meja riasnya. Selesai sama hoodienya, dia ambil kacamata bundarnya yang juga ada di meja rias, kalau gak pakai ini dia gak akan bisa lihat siapa-siapa, apalagi malam begini.

Tanpa ponsel dan hanya berbekal dompet Stefani jalan keluar dari rumah, padahal sudah jam delapan malam lewat, tapi dia tetap keluar dengan harapan pikirannya bisa lebih cerah setelah terkena hembusan angin malam.

Dari rumah dia mengayuh sepedanya menuju toko swalayan terdekat, mau beli susu kotakan sambil duduk-duduk sengsara di kursi besi depan toko.

Harapannya dia bisa dapat sedikit pencerahan, kenyataannya pikiran Stefani malah jadi kosong melompong waktu duduk sambil lihatin kendaraan yang lalu-lalang.

Sepuluh menit lebih Stefani duduk di sana, hembusan angin malam ini pun jadi berubah lebih dingin dari beberapa menit sebelumnya. Stefani menghirup udara di sekitarnya, aroma yang gak asing ini jelas sebuah pertanda, pertanda kalau sebentar lagi akan turun hujan deras tanpa gerimis sebagai pembuka. Dan biasanya akan berlangsung cukup lama.

Dan benar saja, tak sampai satu menit, hujan yang begitu deras turun dari langit, buat Stefani memundurkan kursi, menjauh dari cipratan air.

Karena gak tahu kapan hujannya akan berhenti, Stefani pun masuk lagi ke dalam toko, dia beli jas hujan sekali pakai untuk jaga-jaga kalau saja toko ini enggak beneran buka 24 jam.

Stefani kembali lagi ke kursinya, di kursi lain juga ada mas-mas yang sepertinya juga sedang beristirahat dari sibuknya dunia. Stefani taruh jas hujan yang baru dia beli di atas meja, dan kembali mengosongkan pikiran seperti sebelumnya.

Di lain tempat ada San yang juga lagi bimbang sama hidupnya, terutama soal Stefani. Dia udah lama coba untuk ngejar Stefani, tapi ya begitu, perempuan itu selalu menghindar dari segala hubungan romantis dan sejenisnya. San bingung, dia mikir apakah harus terus ngejar Stefani atau berhenti aja? Karena sampai sini pun San belum ngelihat titik terang kapan kira-kira Stefani mau ngebuka hati buat dia.

San udah berusaha semampu dia, dia juga selalu berusaha untuk enggak memaksakan kehendaknya. Dia selalu sabar, selalu ngikutin tempo Stefani yang beneran lebih lambat dibandingkan siput. Dia juga selalu ngikutin pura-pura bodonya Stefani, San selalu mastiin kalau langkah dia selalu sama dengan Stefani, gak pernah lebih lambat ataupun lebih cepat. Dia selalu menyamakan temponya seperti yang Stefani mau.

Sekarang, San gak tau harus gimana lagi. Di sini rasa menyerah itu udah kelihatan di ujung matanya. Dia gak tau apakah dia akan sanggup untuk terus ngehadapi Stefani yang selalu bersikap plin-plan sama keputusannya.

Meskipun gak yakin, San akan tunggu sampai di penghujung Sabtu. Kalau di saat itu gak ada kabar lain dari Stefani, mungkin San akan memilih untuk berhenti mengejar Stefani.

friend. ft. choi sanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang