🎀02: Terus Memikirkan

283 48 10
                                    

🌸‧₊˚💕✩₊˚🎀

“Lo nggak apa-apa?”

Asya spontan mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan dari orang yang telah menolongnya tersebut. Benar saja, seorang lelaki. Membuat perasaan Asya mendadak porak poranda dan tidak bisa dijelaskan. Jantungnya berdebar-debar seperti orang yang baru saja jatuh cinta.

“I-iya, aku enggak apa-apa. Makasih udah nolong aku,” ujar Asya terdengar gugup. Dia jarang sekali berinteraksi dengan lelaki sampai sedekat ini.

“Sama-sama.” Askara berdeham canggung, dia mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Lo santriwati di sini, kan? Kenapa bisa masuk gudang?”

Mendadak Asya terdiam, dia mengingat kejadian beberapa saat lalu ketika Lidia mengatakan bahwa ustazah Nila ingin bertemu dengannya. Tidak disangka, Lidia sengaja melakukan itu untuk mengurungnya di dalam gudang.

“Aku enggak sengaja masuk gudang ini.” Asya meminta maaf dalam hati karena telah berbohong, dia tidak mau masalah ini sampai tersebar. Pun dia tidak mengenal lelaki di hadapannya.

“Bukan karena dijebak sama teman lo?”

Pertanyaan dari Askara berhasil membuat Asya diam untuk kedua kalinya. Bagaimana laki-laki itu bisa tahu?

“M-maaf, tapi aku harus pergi. Aku harus ngisi acara, bentar lagi giliran aku. Sekali lagi terima kasih, ya?” Asya menundukkan kepala tanda pamit, dia tidak mau menjawab pertanyaan Askara. Namun, baru tiga langkah, Asya kembali berbalik badan dan melirik Askara singkat. “Maaf, kalau boleh tahu nama kamu siapa? Kamu santriwan di sini juga?”

Giliran Askara yang dibuat diam. Walaupun jarang menginjakkan kaki di pesantren ini, tetapi hampir semua santriwan ataupun santriwati mengenal dirinya sebagai salah satu cicit pemilik pesantren. Lalu bagaimana bisa perempuan ini tidak mengenalinya? Askara sungguh dibuat heran.

“Lo enggak kenal gue?” tanya Askara dibalas gelengan kepala polos oleh Asya. “Beneran enggak kenal dan enggak tahu gue?”

“Aku enggak tahu, aku enggak pernah lihat kamu.” Asya termasuk santriwati pendiam, lebih senang mengurung diri di asrama jika tidak ada kepentingan. Pun dia hanya memiliki satu teman saja.

“Gue Askara, Naimar Askara. Yakin enggak kenal?”

“Askara?” Merasa tidak asing dengan nama yang disebutkan, Asya tampak berpikir. Sedetik kemudian dia membulatkan kedua matanya lebar-lebar. “K-kamu Gus Askara? Astaghfirullah, maaf saya enggak tahu!”

Asya langsung merasa canggung dan tidak enak hati. Dia merasa telah berlaku tidak sopan pada salah satu Gus di pesantrennya ini. Selama di pesantren, Asya tidak pernah bertemu. Ah, jangankan bertemu, melihat wajahnya saja tidak pernah. Baru sekarang ini dia melihat langsung wajah Askara yang sering dibicarakan para santriwati. Gaul, tapi paham agama. Begitu kata orang-orang.

“Saya minta maaf karena enggak mengenali Gusnya, saya juga berterima kasih banyak karena Gus sudah menolong saya. Saya pamit dulu, ya, Gus, assalamualaikum!”

Tanpa mendengar balasan dari Askara, Asya sudah berjalan dengan langkah cepat. Lebih tepatnya Asya merasa malu lantaran tidak mengenali Askara yang merupakan orang penting di pesantren tempatnya mengajar.

Askara memandangi punggung Asya yang sudah menghilang dari pandangannya dengan tatapan sulit diartikan. “Aneh,” gumam Askara.

🌸‧₊˚💕✩₊˚🎀

“Baiklah, kita lanjut ke acara selanjutnya yaitu pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang akan dibacakan oleh saudari Syazani Janeisha Azzahra.”

Suara pembaca acara yang memanggil namanya terdengar di telinga Asya bersamaan dirinya yang tiba di belakang panggung. Ustazah Nila yang dari tadi mencari-cari keberadaan Asya sontak menghampirinya dengan wajah panik, sedangkan Lidia dan kedua temannya tampak terkejut melihat keberadaan Asya.

Cinta yang TerjagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang