Chapter 29 : Jejak yang tak terlupakan

1 0 0
                                    


Beberapa minggu setelah pameran yang sukses, Nabila merasa hidupnya semakin berwarna. Karya-karya yang dipamerkan mendapat tanggapan positif, dan tawaran kolaborasi berdatangan dari berbagai kalangan. Namun, meskipun semuanya berjalan baik, Nabila merasa ada sesuatu yang belum sepenuhnya teratasi dalam dirinya. Terutama tentang Haikal.

Pagi itu, Nabila duduk di teras rumahnya sambil menikmati secangkir kopi hangat. Dia membuka laptop dan melihat email masuk. Salah satu email itu berasal dari seorang kolektor seni yang tertarik dengan karyanya. Nabila merasa semangat, tetapi pikirannya kembali melayang ke Haikal. Ia teringat saat mereka berbicara di pameran, bagaimana Haikal tampak lebih tenang dan penuh harapan.

Setelah beberapa saat, Nabila memutuskan untuk menghubungi Rina. Dia ingin berbagi tentang perkembangan terbarunya dan bertanya apakah Rina ingin bertemu. Beberapa menit kemudian, Rina membalas pesan dan setuju untuk bertemu di kafe tempat mereka biasa nongkrong.

***

Saat Nabila tiba di kafe, Rina sudah menunggu di sudut dengan segelas latte di tangan. "Nabila! Selamat ya untuk pameran! Aku dengar banyak orang membicarakannya," ucap Rina dengan antusias.

"Terima kasih, Rina. Aku juga senang sekali bisa berbagi karya-karyaku," jawab Nabila sambil tersenyum.

Mereka mulai berbicara tentang pameran dan berbagai tawaran yang datang setelahnya. Nabila merasa bahagia bisa berbagi momen ini dengan Rina, tetapi dalam hatinya, dia masih menyimpan perasaan yang rumit terkait Haikal.

Setelah beberapa waktu, Rina menangkap ketegangan di wajah Nabila. "Kamu terlihat sedikit pusing. Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Nabila menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Sebenarnya, aku merasa baik-baik saja dengan semua ini. Tapi aku masih teringat tentang Haikal. Meskipun kita sudah bicara dan semuanya terasa lebih baik, aku tidak bisa sepenuhnya melepaskan kenangan itu."

Rina mendengarkan dengan seksama. "Itu wajar, Nabila. Hubungan yang dalam memang tidak bisa dilupakan begitu saja. Mungkin kamu perlu memberi dirimu waktu untuk benar-benar menghadapinya."

"Ya, aku tahu. Tapi kadang aku merasa bingung. Apakah aku sudah melakukan yang benar dengan menjauh darinya?" Nabila bertanya, matanya penuh harap akan jawaban.

"Kadang kita harus membuat keputusan yang sulit untuk diri kita sendiri. Menjauh dari seseorang tidak selalu berarti mengabaikannya. Itu bisa berarti memberi diri kita kesempatan untuk tumbuh," jawab Rina.

Nabila merenungkan kata-kata Rina. "Aku ingin percaya bahwa ini adalah langkah yang tepat, tetapi ada kalanya aku merasa bersalah."

Rina menepuk tangan Nabila. "Jangan menyalahkan dirimu. Kamu melakukan yang terbaik untuk dirimu sendiri. Dan ingat, jika suatu saat kamu merasa siap untuk berbicara lagi, kamu bisa melakukannya."

***

Setelah pertemuan itu, Nabila merasa lebih tenang. Ia mulai mengerjakan proyek baru yang telah ditawarkan oleh kolektor seni, sambil tetap mengembangkan gaya dan tekniknya. Ia juga berusaha untuk lebih terbuka terhadap kemungkinan baru, meskipun bayangan Haikal masih kadang menghantui pikirannya.

Suatu malam, saat sedang mengedit foto, Nabila menerima pesan dari ibu Haikal. "Nabila, apakah kamu punya waktu untuk berbicara? Aku ingin mendiskusikan sesuatu yang penting tentang Haikal."

Nabila merasa sedikit ragu. Meskipun hubungan mereka baik, dia merasa masih ada ketegangan yang belum sepenuhnya teratasi. Namun, setelah berpikir sejenak, ia memutuskan untuk merespons. "Tentu, Bu. Kapan Ibu ingin bertemu?"

Mereka sepakat untuk bertemu di kafe yang sama. Nabila tiba lebih awal, merasakan ketegangan di dadanya. Ketika ibu Haikal tiba, senyumnya yang hangat membantu mengurangi kecemasannya.

"Terima kasih sudah mau bertemu, Nabila. Aku sangat menghargainya," ucap ibu Haikal, duduk di hadapannya.

"Tidak masalah, Bu. Ada yang ingin Ibu bicarakan?" tanya Nabila.

Ibu Haikal mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Haikal sedang berjuang, Nabila. Dia berusaha keras untuk bangkit, tetapi ada saat-saat di mana dia merasa terpuruk kembali. Dia terus menyebut namamu dan merindukanmu."

Hati Nabila bergetar mendengar kata-kata itu. "Aku sudah melakukan yang terbaik untuk memberikan dia ruang, Bu. Aku ingin dia bahagia, tetapi aku juga perlu memikirkan diriku sendiri."

"Ibu tahu itu, dan ibu tidak ingin kamu merasa tertekan. Tapi aku percaya, jika kalian bisa berbicara lagi, mungkin itu bisa membantunya lebih baik," lanjut ibu Haikal.

Nabila merasa terjebak dalam dilema. Ia ingin membantu Haikal, tetapi ia juga tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. "Bu, saya akan mempertimbangkan untuk berbicara dengannya. Tapi saya perlu memastikan bahwa saya siap."

Ibu Haikal mengangguk. "Aku mengerti, Nabila. Yang penting adalah kamu merasa nyaman dengan keputusanmu."

***

Setelah pertemuan itu, Nabila merasa kebingungan. Ia tidak ingin kembali ke masa lalu, tetapi ia juga merasa bahwa ada tanggung jawab yang harus dihadapinya. Pikirannya terus berputar, dan saat berbaring di tempat tidurnya, ia tidak bisa tidur. Hatinya berkonflik antara keinginan untuk melanjutkan hidup dan rasa sayang yang masih ada untuk Haikal.

Keesokan harinya, Nabila memutuskan untuk pergi ke studio dan berkonsentrasi pada proyek yang sedang dikerjakan. Dia perlu memfokuskan pikirannya pada seni dan apa yang membuatnya bahagia. Ketika dia sampai di studio, suasana terasa menenangkan. Arman sudah menunggu di sana.

"Nabila! Bagaimana kabarmu?" tanya Arman dengan senyuman cerah.

"Baik, Arman. Aku hanya sedikit bingung," jawab Nabila sambil mulai mengatur peralatannya.

"Apa yang terjadi?" tanya Arman dengan penuh perhatian.

Nabila menghela napas. "Aku baru saja bertemu dengan ibu Haikal. Dia memberi tahu bahwa Haikal sedang berjuang dan merindukanku."

Arman menatap Nabila, tampak memahami. "Itu pasti sulit. Bagaimana perasaanmu tentang itu?"

"Aku ingin membantunya, tetapi aku tidak ingin kembali ke situasi yang sama. Aku juga ingin melanjutkan hidupku," ungkap Nabila.

"Penting untuk menemukan keseimbangan. Kamu tidak harus memutuskan semuanya sekarang. Mungkin ada cara untuk tetap mendukungnya tanpa harus terlibat lebih dalam," sarankan Arman.

Nabila berpikir sejenak. "Kamu benar. Mungkin aku bisa memberi tahu ibu Haikal bahwa aku siap untuk berbicara, tetapi tidak untuk kembali ke hubungan seperti sebelumnya."

Arman tersenyum bangga. "Itu adalah langkah yang bijak. Beri dirimu kesempatan untuk merasakan apa yang kamu inginkan."

Nabila merasa lebih tenang. Dia mulai bekerja dengan semangat baru, dan dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Dia akan selalu memiliki Arman dan sahabat-sahabatnya yang mendukungnya.

***

Beberapa hari kemudian, Nabila mengirim pesan kepada ibu Haikal, memberi tahu bahwa dia bersedia untuk berbicara dengan Haikal. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe yang sama. Nabila merasa campur aduk, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang perlu diambil.

Hari pertemuan tiba, dan Nabila tiba lebih awal. Ketika Haikal masuk, ada rasa tegang di udara. Dia terlihat lebih baik dibandingkan sebelumnya, tetapi masih ada nuansa kesedihan di matanya. Mereka berdua saling menatap, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Terima kasih sudah mau bertemu, Nabila," kata Haikal, suaranya bergetar.

"Tidak masalah, Haikal. Aku ingin kita bisa bicara," jawab Nabila dengan lembut.

Mereka duduk dan mulai berbicara. Nabila merasakan campuran antara kerinduan dan ketegangan. Dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk mendiskusikan semua yang telah terjadi, dan untuk melangkah maju dengan cara yang lebih sehat.

***

Saat percakapan berlangsung, Nabila merasa ada harapan baru. Mungkin mereka tidak harus kembali seperti sebelumnya, tetapi mereka bisa saling mendukung dalam perjalanan masing-masing. Dalam hati, Nabila berdoa agar mereka bisa menemukan cara untuk menjadi lebih baik—baik untuk diri mereka sendiri maupun satu sama lain.

---

Tatapan Yang Membekukan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang