Prolog

261 117 133
                                    

halo kalian! terima kasih udah mampir dan baca cerita ini. kalau suka, jangan lupa buat vote dan comment ya karena itu adalah semangat buat aku ngelanjutin cerita ini. aku bener-bener apresiasi semua feedback dari kalian. semoga kalian enjoy dan feel connected sama ceritanya!

Ingetin kalo ada typo.

______________________________

Sore itu hujan turun perlahan, tidak cukup deras untuk menenggelamkan suara. Tapi cukup untuk menambah pedih di hati lelaki yang berdiri dengan payung birunya. Di bawah payung itu, Dipta terdiam. Memandang batu nisan yang ada di hadapannya. Rasa sakit itu masih sama, menyesakkan setiap kali kenangan tentangnya kembali.

Dua hari lalu, Dipta baru saja tersadar dari komanya. Kecelakaan itu membuatnya kehilangan banyak hal- bukan hanya Kak Janu, tapi juga sebagian dari dirinya sendiri. Kini, untuk pertama kalinya sejak terbangun. Dia berada di makam kakaknya. Om Damar mengantarnya ke sini, diam-diam berharap ini bisa membantu Dipta menerima kenyataan.

Kilatan petir membelah langit yang kelabu di kejauhan, dan hujan semakin deras. Meski begitu, Dipta tidak bergerak dari tempatnya. Dia tidak tahu sampai kapan akan berdiri di sana, tapi sepertinya tak ada yang bisa memaksanya pergi.

Sebagian dari hidupnya telah terkubur bersama sosok yang selalu menjadi panutannya. Kini, yang tersisa hanyalah kehampaan, sunyi... seperti raga yang kehilangan jiwanya.

"Dipta, aku tahu ini sangat berat bagimu. Tak ada yang bisa menggantikan Kak Janu."

Dipta hanya menatap nisan itu, air matanya bercampur dengan tetes hujan yang mengenai pipinya. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan hancur yang dia rasakan.

"Berita buruk ini pasti mengubah segalanya. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kak Janu selalu bangga padamu."

Meski tidak ada respon dari dipta, Om Damar melanjutkan, suaranya lembut namun tegas.

"Itu wajar. Jangan ragu untuk merasakan semua ini. Jangan biarkan rasa sakit ini menguasai hidupmu."

Angin membawa suara Om Damar, tetapi dipta tetap diam. Menunduk dalam keheningan. Hatinya masih berat, tetapi dia tahu Om Damar benar. Hanya saja, menerima kenyataan itu tidak semudah yang terlihat.

"Kak Janu ingin kamu melanjutkan hidup, menjalani impianmu. Dia percaya padamu, dan aku juga. Kamu bisa melakukannya."

Perlahan, Dipta menoleh kearah Om Damar. Matanya berkaca-kaca. Meski tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, tatapan itu cukup untuk memberi tanda bahwa ia mendengarkan. Namun, rasa sakit itu belum siap untuk dilepaskan.

Goresan Kisah PradiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang