. 1 .

91 10 3
                                    

• • •

Alam menyangklongkan tas ranselnya. Menatap cermin di depan sembari membenahi tatanan rambut yang belum sempat ia bentuk.

Di ambang pintu, Bintang menatapnya dengan jengah. Hampir setengah jam menunggu Alam bersiap padahal sebentar lagi mereka akan segera berangkat.

"Lama banget" keluhnya membuat Alam menoleh sambil menyengir.

"Sabar mas," ujarnya. Kemudian ia menggeret koper yang berada di pojok kamar, menatap setiap inci kamar dengan wajah yang sulit di artikan. Ia tengah merekam, merekam segala hal indah yang pernah ada disini.

Sebelum pintu tertutup, ia sekali lagi menatap lurus kearah play station.

Dulu itu tempat favorit kita.

Ia menghela napas. Menutup pintu dengan rapat. Berharap dengan tertutupnya pintu kamar, segala kenangan buruk di otaknya turut menghilang. Kenangan saat dirinya menemukan raga tanpa nyawa yang tergeletak kaku dengan bermandi darah.

Bumi, gue pergi dulu.

***

"Lama banget sih?!" di ruang tengah, Langit bersengut begitu melihat Bintang dan Alam yang baru saja keluar dari kamar.

"Kayak gak tau Alam aja. Hobinya mengulur waktu" sahut Bintang. Tangannya denga cepat mengambil alih ransel milik si bungsu.

Ketiganya menatap rumah sederhana itu dengan seksama seolah masih sda berat untuk pergi angkat kaki dari sini. Ada banyak kenangan indah, dan kenangan buruk yang sudah tercipta.

"Ayo," ajak Bintang. Enggan berlama-lama terlarut. Takut hatinya kembali sesak untuk sekedar mengingat. Benar, ia sudah berusaha melupa jangan sampai usahanya sia-sia.

Alam menjadi yang terakhir keluar. Matanya samar bisa melihat bayangan seseorang yang sudah lama tak muncul.

Selamat berusaha bangkit, Alam.

Begitu mulutnya bergerak tanpa suara. Alam tak paham yang ia lakukan hanya tersenyum sambil menutup pintu. Mengunci segala luka di dalam rumah.

Meninggalkan sosoknya yang melebur bersama angin.

Baik Alam, Bintang, maupun Langit bukan bermaksud untuk mengabaikan segalanya mereka hanya mencoba untuk sembuh lebih dulu. Mencoba menerima kenyataan berkilah rela yang orang-orang bilang, ikhlas namanya.

Gak apa-apa kan bum? Kami sedikit terlambat.

***

"Bum gimana kalo seandainya gue pergi duluan?"

Di angkringan pah ahmad yang beratap terpal biru, sambil menunggu es kopi mereka datang, Alam tiba-tiba bertanya. Pertanyaan yang sejujurnya membuat Bumi merasa sedikit sesak di ulu hati.

"Tiba-tiba amat nanya begitu?" katanya, masih dengan nada jenaka.

Alam mengendikkan bahu. "Gue tiba-tiba kepikiran aja. Kan pada akhirnya kita gak selalu bareng-bareng entah gue, lo, mas bintang atau Langit yang bakal pergi duluan. Tapi gue harap gue yang pergi duluan sih karena rasanya gak sanggup ditinggal kalian" Sahutnya.

Kemudian Bumi sedikit menimang. Badannya sedikit condong kedepan. Seratus persen menghadap kearah Alam. "Perasaan begitu wajar kok, dan banyak orang yang ngerasain itu. Mikirin tentang kehilangan orang yang kita sayangi bisa sangat menakutkan. Rasanya berat kalau harus ditinggal oleh orang-orang terdekat, terutama yang udah banyak berbagi kenangan bareng kita.
Tapi Al, setiap momen yang kita lalui bareng bakal selalu hidup dalam kenangan. Kita bisa saling mendukung dan menjaga hubungan meski ada jarak atau waktu yang memisahkan. Kalo suatu saat nanti ada yang harus pergi, kita  masih punya kenangan indah dan pelajaran yang bisa kita bawa. Jadi siapapun yang pergi dulu, gak jadi penghalang buat kita kembali hidup, bahkan jauh lebih baik. Lo paham kan maksud gue"

Saat itu, bohong kalau Alam bilang dia tidak terharu. Nyatanya ia menahan tangis bahkan ketika sekedar mengingatnya secara tiba-tiba marena nyatanya Mas Bintang menyempatkan diri untuk mampir ke angkringan pak ahmad. Pamit bahwa mereka mungkin tidak akan lagi kembali ke Jogja.

Langit memerhatikan wajah keruh Alam. Tangannya menepuk pundak yang lebih tua, menenangkan.

"Sudah lama ndak mampir. Apa kabar?" Pak Ahmad semakin renta, namun badannya masih segar sekali. Ia mempersilahkan agar Bintang, Alam, dan Langit duduk sembari menunggu es kopi sedang dibuat oleh pegawainya.

Pria paruh baya itu duduk di hadapan Alam.

"Kalian mau kemana toh?" tanya pak Ahmad, sebab ia sempat melirik kedalam mobil dan menemukan beberapa tumpukan ransel.

Bintang meringis. "kita rencananya mau balik ke jakarta pak" sahutnya, sebagai perwakilan.

Raut wajah pak ahmad yang semula ceria berubah sedikit sendu. "Kenapa toh musti pulang ke jakarta?" tanyanya, sedikit tidak rela.

"Kami lagi belajar buat sembuh, pak" Alam menyahut dengan senyum kecil. Melihat itu mata pak ahmad jadi berkaca-kaca.

"Bapak jadi rindu bocah itu haha.." pak ahmad sedikit tergelak, berbanding terbalik dengan hatinya yang sedih bukan main. "Kayaknya baru kemarin ya liat dek Alam sama Bumi pake baju SMA, sekarang Langit aja sudah lulus, iyo kan? Yo wes kalo kalian mau ke jakarta, bapak harap kalian semua bisa bener-bener sembuh. Tak tunggu dolan maneh ke jogja"

Hari itu habis setelah bertemu pak ahmad dan mengobrol seputar masalampau.

Yang membuat mereka bertiga jadi sedikit terharu. Sudah lama juga mereka menetap di jogja. Hidup berempat di rumah petak milik Bintang. Yang semula sekedar orang asing bisa tinggal satu atap atas permintaan Bintang sendiri.

Setiap sisi jogja, selalu penuh tentang lo, Bumi. Adek gue.

***

Dear, Bumi Ku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang