• • •
Setelah diantar pulang oleh Bintang dan Langit, sesaat Alam menatap rumah besarnya yang tinggi menjulang. Sudah berapa lama ia tak singgah? Kiranya sudah tujuh tahun sejak terakhirnya kali ia kemari. Bahkan rumahnya ini terasa sangat asing. Pun dengan bangunan baru yang berada di depan rumahnya.
Kenapa rasanya justru semakin menyesakkan? Bukankah ini keputusannya untuk pulang?
Sakit, bumi.
Dengan berat hati ia mulai menggeret koper. Seakan setiap langkahnya diisi damai. Iya, dirinya harus berdamai agar bisa sembuh.
Bell ia pencet beberapa kali hingga pintu dibuka dan muncul wanita paruh baya yang sudah lama tak ia sapa. Itu Manuella, ibu tirinya.
"Alam?" beonya. Seolah tak percaya bahwa kini Alam benar-benar menginjakkan kaki dirumah setelah nyaris 7 tahun tak pernah singgah.
Raganya di peluk, namun Alam tetap merasa asing meskipun pelukan ini hangat.
Tangan keriput ini membantu menggeret koper milik Alam. Menuntun sang anak agar segera masuk kedalam rumah. Kebetulan sekali mereka baru akan melakukan makan malam.
Tatapan Alam bertemu dengan mata tajam Ayahnya. Pria itu yang sering mengisi rekeningnya, namun tak pernah ia sama melalui telpon kecuali hanya sebuah pesan singkat.
Lalu ada Guntur, adik tirinya yang menatapnya dengan antusias."Abang!" bocah itu memeluknya dengan erat, melepas rindu setelah bertahun-tahun tidak bertemu.
Tak ada yang tahu dimana Alam tinggal setelah memutuskan pindah ke rumah petak Bintang. Ia membatasi diri sebab merasa dunianya sudah hancur ditangan sang ayah.
"Abang pulang beneran kan? Gak main aja?"
Suara Guntur tak lagi terdengar. Kabur sekali. Ketika langkah tegas itu mendekat. Mendekap raganya dengan erat, Alam seolah hilang bobot tubuh. Hangat. Alam rindu. Sudah lama ia tak pulang. Pada rumah yang senantiasa menangi kepulangannya.
"Kamu pulang, nak. Kamu beneran pulang." ucapan ayah diiringi tangis. Seolah nyawanya turut kembali. Pada putra kandungnya yang lama pergi, kini berhasil ia dekap dengan erat. Ia tak lagi menanti, sebab Alam akhirnya kembali.
"Ayah..."
Setelah sekian lama, ia kembali bersuara. Memanggil pria tua yang tanpa sadar sudah ia sakiti hatinya dengan rindu yang besar. "maaf..." sambungnya kemudian membalas pelukan itu tak kalah erat.
Bumi, gue ternyata memang cengeng.
Pada akhirnya, Alam yang mengira dirinya kekeringan air mata, rupanya kembali menangis hari ini.
Bumi, gue udah pulang ke rumah. Gue udah damai, Bumi.
***
Alam terbangun dengan pemandangan Manuella yang menatapnya dengan teduh.
"Abang demam, tapi panasnya udah turun. Mau makan sekarang?" wanita itu baik, baik sekali. Hanya saja saat itu Alam enggan dekat. Merasa bahwa sampai dunia runtuh ibunya hanya satu. Hanya Ibu Kartika.
Alasan mengapa akhirnya ia memilih pergi ke jogja demi menjauh dari Ayah dan keluarga barunya.
Kepalanya mengangguk sebagai jawaban.
"Ya udah abang tunggu sini biar bunda ambilin—"
Belum sempat ia beranjak, Alam lebih dulu menggenggam tangannya. "Abang turun," katanya dengan lirih.
Manuella tersenyum, mengusak pelan surai legam Alam. "Ayo" ia menuntun Alam yang sebenarnya masih lemas untuk berjalan. Menurunk tangga hingga di ruang makan.
Ada Guntur yang sedang makan pula. Untuk Ayah, tidak ada sebab pria itu tentu masih berada di kantor.
"Abang mau lauk apa?" ditanya begitu, mata Alam menjelajah hampir seisi meja makan. Semuanya tampak nikmat. Hingga matanya tertuju pada satu menu.
Opor ayam. Itu makanan kesukaan Bumi.
Gue bakal gantiin lo untuk opor ayamnya, bum.
"Opor ayam" ia menyahut.
"Abang udah enakan?" Guntur bertanya dengan fokus yang seratus persen menyorot kearah Alam yang masih pucat.
"Udah, dek."
Guntur menutup mulutnya. Dramatis begitu mendengar Alam memyebutnya adek. Pun dengan Manuella yang sedang menahan air mata agar tidak jatuh.
Impiannya sudah terwujud.
Alam sudah menerima.
Guntur berdiri, memeluk Alam dari samping. "Aku sayang abang" katanya.
Makan siang itu terasa lebih menyenangkan untuk ketiganya. Alam seolah kembali mendapatkan tempat, Guntur dan Manuella yang akhirnya bersyukur.
Keadaan mulai membaik.
Makasih, bumi.
***
Hujan turun dengan deras. Di teras rumah Alam dan Bumi saling duduk berhadapan dengan dua gelas kopi good day di tengah-tengahnya.
Sedangkan Mas Bintang tentu berpacaran dengan kasur kesayangan begitu juga dengan si bungsu yang sudah bercengkrama dengan kasur bahkan jauh sebelum hujan turun.
"Menurut lo, hidup ini adil gak bumi?" Alam lagi-lagi bertanya.
Bumi menoleh, menghela napas sebelum menjawab. "Hidup sering kali kerasa gak adil sih. Kadang, kita ngeliat orang-orang yang kayaknya gak berusaha keras tapi bisa dapetin segalanya, sementara kita yang berjuang sekuat tenaga ngerasa gak dihargai dan gak dapet apa-apa. Di sisi lain, ada juga momen-momen indah yang buat kita merasa bersyukur, meski hidup gak selalu berjalan sesuai rencana.
Setiap orang mengalami suka dan duka, dan bisa jadi itu bagian dari proses belajar dan tumbuh. Kadang kita harus menghadapi tantangan untuk ngebuat kita lebih kuat dan bijaksana. Intinya sih hidup itu bukan soal adil atau enggak, tapi soal kita yang kuat gak bertahan sampe akhir.""Puitis amat" Alam meledek hingga wajah Bumi berubah kusut.
"Gue serius tolol" hardik Bumi main-main.
"Iyaaa! Paham kok, makasih ya motivasinya Bum. Kalo gak ada lo, gue rasa gue masih jadi remaja stres yang hobinya mabok di luar sana."
"Justru gue yang makasih karena lo, mas bintang sama Langit udah dateng di hidup gue. Kalo gak ada kalian mungkin sekarang Bumi udah di kebumikan."
***
•note;
Guntur= Gunwook
Langit adek kandungnya Bintang. Dan Guntur sama Langit itu seumuran.Sorry kalo kebanyakan basa-basi:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Bumi Ku✓
Short Story"Teruntuk Bumi yang sudah sudi memeluk raga rapuh ini, teruntuk Bumi yang sedia merentangkan tangan untuk mendekap ku ditengah kegelapan." DILARANG PLAGIAT #spearluvjr 2O24 #brothership