epilog

34 4 0
                                    

• • •

Bintang kembali merasa dingin. Meskipun kepulan asap dari kopi panas itu berada tepat di depannya, sama sekali tak menghangatkan. Seolah ada kebekuan yang mendera.

Biru sekali suasananya.

"Mas," suara itu bergema ditengah luasnya rumah.

Bintang menoleh. Raut wajahnya sulit di terka. Seolah ia membatasi diri untuk tidak begitu hanyut dalam situasi aneh ini.

"Jangan asing sama Alam. Adeknya, bisa buat gantiin gue"

Mendengar itu yang lebih tua terkekeh meskipun kini matanya memanas. Luka itu seakan muncul kembali ke permukaan, menggerogoti hatinya tanpa henti sehingga dadanya terhimpit ratusan racun yang kasat mata. Sesak.

"Gue benci sama lo" tutur Bintang alih-alih menjawab ucapan Bumi.

Bumi terjekeh. Wajah pucatnya tampak sayu memandangi Bintang, "maaf ya mas, gue hancurin semuanya. mimpi lo, mimpi Alam, mimpi kita. Karena keegoisan gue kalian semua jadi hancur. Tapi gue gak menyesal mas udah pilih jalan ini, gue jadi sadar kalo ternyata mati itu bukan jalan keluar—"

"Lo memang egois!" cerca Bintang.

"Kita disini, ada buat lo. Kita bukan lagi cuma temen, Bumi. Kita lebih dari itu. Jiwa kita udah saling terikat, harusnya lo cerita. Lo selalu mengusahakan yang terbaik buat kami bertiga, tapi kami gak mampu buat lo merasa demikian. Kami ngerasa gagal, Bumi." Bintang menepuk dadanya. Seluruh kata-katanya seolah tertahan di tenggorokan. Tak lagi mampu bersuara.

"Mas, maaf" Bumi menunduk dengan suara yang lirih

"Gak pa-pa, Bumi. Gak pa-pa, ini udah takdirnya" sahut Bintang tak kalah lirih. Kepalanya semakin merunduk seolah enggan melihat wajah penyesalan milik adiknya.

"Mas gue—"

"Pergi Bumi, pergi. Ini bukan tempat lo lagi. Gak pa-pa, gue bakal sembuh kok bareng Alam dan Langit. Lo harus nyenyak."

.
.
.

"Abang kok disini?"

Bumi tersenyum tipis begitu Langit bertanya saat dirinya mendekat.

Cuaca sangat cerah dimana matahari tak sepenuhnya menampakkan diri. Bumi menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya. Tak mengindahkan pertanyaan dari Langit yang tak terjawab.

"Gak nyangka lo udah lulus aja cil" gumam Bumi

Langit tersenyum miring. "Jelas!" ujarnya sombong.

"Jangan cepet gede ah, nanti mas Bintang gak bisa bayiin lo lagi"

"Ya lagian ngapain orang aku udah gede" sungut Langit

"Tapi dimata kami, lo masih kecil"

Mendengar kata kami, Langit seolah merasakan dadanya sakit. Tenggorokannya terasa tercekat, pun dengan tatapan matanya yang nanar kearah Bumi.

"Semalem aku mimpi abang meninggal" begitu katanya.

Bumi lantas menipiskan bibirnya menahan suara.
Sejujurnya itu sangat menyakitinya, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Itu cuma mimpi kok" sahutnya

"Tapi kayak nyata, bang. Aku gak mau ah, gak mau ditinggalin abang-abang ku. Rasanya sedih, kayak dunia ku hancur hari itu juga"

Bumi menoleh dengan cepat. Tangannya mengusak surai Langit dengan lembut.

"Lo harus tau ini, cil. Kematian itu gak terprediksi, siapapun dan dimanapun seseorang bakal kembali ke penciptanya. Sedih boleh tapi jangan lama-lama. Kalo pun gue meninggal, gue gak sepenuhnya pergi kok. Gue masih abadi selagi lo gak lupain momen sewaktu bareng gue. Mungkin sedih, dunia kita jadi kerasa hancur. Tapi rasa sedih itu gak boleh nguasain lo sampe dunia lo bener-bener hancur. Lo harus lanjutin hidup, benahi apa yang bisa di benahi, dan berjalan di jalan yang masih layak untuk lo pijak. Gue yakin lo bisa"

Kata-kata Bumi entah mengapa menghantam perasaan Langit dari dalam. Seolah ada sebagian dari dirinya yang turut hilang.

Ketika bus berhenti di depan mereka dan Bumi beranjak menaikinya, Langit tak bisa untuk tidak mengeluarkan air mata.

"Abang, Abang mau kemana? Arah pulangnya bukan kesana!" ia berteriak histeris ketika Bumi semakin dekat dengan bus tersebut. Badannya seolah kaku tak bisa bergerak bahkan hanya untuk berdiri.

Bumi menoleh seraya tersenyum lebar, "bener kok. Ini arah pulangnya abang" sahutnya.

Di pintu bus yang belum tertutup, Bumi melambaikan tangannya. "Sampai jumpa lagi, Langit, adikku. Tolong hidup dengan baik ya? Abang sayang Langit!"

Pintu tertutup sepenuhnya. Dan bus melaju dengan tenang di persimpangan.

Langit menangis dengan kencang. Ia enggan di tinggalkan. Itu terlalu menyakitkan.

"Abang.."

.
.
.

Alam terkejut begitu Bumi yang datang tiba-tiba memeluk dirinya dengan erat.

Ia masih berada di kamarnya yang artinya ia tengah bermimpi.

"Gue bangga sama lo, Al"

Mendengar itu Alam berdecih. "Dan gue kecewa sama lo" sahutnya sinis.

Bumi terkekeh.

"Gue paling banyak ngabisin waktu itu sama lo ya dulu soalnya Mas Bintang sering keluar terus si Langit sekolah. Jadi gue apa-apa sama lo. Wajar lo yang paling kecewa karena gue gak pernah bilang apa-apa, dan yang terakhir— lo juga yang nemuin gue pertama kali"

"Bacot"

"Makasih ya Al, atas semua yang udah lo lakuin. Lo itu keren, selalu keren. Gue bener-bener bangga karena pada akhirnya lo tetep mencoba buat hidup meskipun luka yang gue kasih gak sepenuhnya bakal sembuh. Ah iya, lo harus ceritain gimana kerennya gue nanti ke anak cucu lo"

Alam termangu. Kepalanya menunduk seolah enggan menatap Bumi yang raganya semakin pudar.

"Gue mau pamit, Al. Pamit yang bener-bener pergi. Setelah ini lo harus hidup dengan baik, rangkul Langit dan Mas Bintang. Ajak adek lo buat gabung, setidaknya itu bis gantiin tempat gue meskipun mungkin beda"

"Bum—"

"Maaf, Al. Gue harap kita masih bisa ketemu lagi dengan takdir yang jauh lebih baik dari saat ini. Gue sayang lo, sahabat sekaligus saudara gue, Alam. Sampai jumpa ya? Jangan lupa jenguk gue di rumah baru gue, Al."




***

ENDING

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear, Bumi Ku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang