Bab 1

6K 284 51
                                    

Rafa meringis menahan sakit ketika tubuhnya jatuh menghantam tanah akibat pukulan yang baru saja ia terima. Belum sempat bangkit dari tempatnya, seseorang lebih dulu menginjak perut Rafa hingga membuat pemuda itu memejamkan mata, menyerap rasa sakit dan nyeri yang datang bersamaan.

Dirinya kini tengah berada di belakang sekolah dengan tiga orang siswa yang sedang merisaknya. Dua di antaranya hanya memperhatikan sembari sesekali melemparkan ejekan serta makian kepada Rafa, sedangkan satunya lagi yang sedang menginjak perutnya.

"Udah berapa kali gue bilang gak usah ngadu ke guru?! Lo tuli atau gimana?!" Noah, pemuda yang tadi menginjaknya itu semakin menekan perut Rafa dengan kaki hingga membuat sang empu kembali meringis.

"Kayaknya emang beneran budek deh, buktinya lu ngomong aja gak dijawab," celetuk salah satu perundung bernama Sandi.

"Kalo ngomong suka bener," timpal perundung lainnya bernama Raka yang sedang asyik menyesap sebatang rokok.

Noah menyingkirkan kakinya kemudian berjongkok di hadapan Rafa. Ia mencengkeram dagu Rafa sambil menatapnya lekat, maniknya seolah memancarkan kebencian yang teramat dalam ketika melihat pemuda itu.

"Gue peringatin sekali lagi. Kalo lu berani bawa-bawa guru lagi, jangan harap lu bisa berkeliaran di sekolah ini dengan tenang." Noah menghempaskan tangannya dengan kasar hingga membuat wajah Rafa tertoleh ke samping.

Noah berdiri lalu beranjak dari sana. Sebelum benar-benar pergi, pemuda itu kembali berbalik menatap Rafa yang masih tergolek lesu.

"Jangan mecem-macem kalo lu gak mau dapet masalah. Inget, sekolah ini punya keluarga gue, jadi gue bisa ngelakuin hal yang lebih dari ini." Noah kembali memperingati pemuda itu.

Setelah merasa puas, ketiganya pergi meninggalkan Rafa yang masih merintih kesakitan.

Pemuda itu mengusap sudut bibirnya yang berdarah sebelum akhirnya berusaha bangkit dan berjalan ke toilet dengan tertatih-tatih.

Sesampainya di toilet, Rafa segera membasuh tangannya yang kotor di wastafel, lantas memandang pantulan dirinya di cermin. Senyum miris terukir diiringi dengan setitik air mata yang jatuh membasahi wajah manisnya.

Menjadi korban perisakan bukanlah hal yang Rafa inginkan. Selalu mendapat umpatan serta kekerasan fisik setiap harinya seolah membuat dirinya menjadi makhluk paling hina di mata semua orang.

Untuk sekadar membuka suara dan melaporkan perisakan yang terjadi tidaklah mudah, karena memang tak ada yang benar-benar peduli dengan apa yang dialami oleh korban perisakan sepertinya. Bahkan ketika ia melapor ke para guru pun, mereka seolah membutakan pengelihatan dan menulikan pendengaran.

Jika kalian bertanya mengapa tidak ada yang peduli dengan nasib korban perisakan? Jawabannya cukup sederhana. Karena memang tidak ada yang berani menghadapi orang berkuasa di balik si pembuat onar.

Sama halnya seperti yang terjadi di Pradipta High School. Tidak ada satu orang pun yang berani pasang badan untuk membela korban perisakan di sekolah ini, sebab sang perundungan sendiri merupakan anak dari pengusaha paling berpengaruh di dalam negeri, serta neneknya yang merupakan pemilik sekolah tersebut. Jadi tidak heran jika pelaku rusaknya mental seseorang ini tidak mendapatkan sanksi apa pun yang dapat memberikannya efek jera.

Tak hanya sampai di situ, para perundung yang merasa tidak terima pun akhirnya melampiaskan kekesalan mereka kepada korban, bahkan jauh lebih parah dari sebelumnya. Sama seperti yang tadi dilakukan Noah dan kedua temannya saat mengetahui Rafa melaporkan tindakan mereka kepada guru.

Rafa menyingkirkan helaian poni yang menutupi dahi. Terdapat luka di keningnya itu akibat pukulan dari Noah, ia menyentuh lukanya kemudian menghela napas lelah.

Sesaat kemudian, pintu kamar mandi dibuka, memperlihatkan seorang siswa tampan yang kini berjalan masuk dan berhenti tepat di samping Rafa. Kepala Rafa seketika tertunduk saat menyadari siapa siswa yang kini tengah mencuci tangannya itu.

Ezra, siswa pintar dan tak pernah membuat masalah yang dicap 'salah pergaulan' karena masuk ke circle-nya Noah yang notabenenya adalah siswa nakal. Walau tak pernah turut andil merisaknya, tetapi tetap saja Rafa tidak ingin mencari masalah dengan pemuda itu.

Rafa meremas celana yang ia kenakan ketika Ezra memandangnya dengan sorot mata yang sulit diutarakan.

"Mau gue anter ke UKS?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Ezra berhasil membuat Rafa menoleh ke arah sang empu.

"Um ... gak perlu, nanti diobatin di rumah aja. Lukanya juga gak begitu parah," tolak Rafa halus.

Mendapat respons seperti itu membuat Ezra menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Makasih ya," seru Rafa tiba-tiba, mengundang raut bertanya dari sang lawan bicara.

"Makasih buat?"

"Udah nawarin buat nganter aku ke UKS."

Jawaban Rafa mengundang senyum tipis Ezra untuk hadir. Namun, detik selanjutnya pemuda itu kembali merubah ekspresinya seperti biasa.

"Sama-sama," balasnya lalu pergi dari toilet setelah berpamitan dengan Rafa.

Setelah Ezra pergi dari sana, Rafa segera merapikan penampilannya kemudian berjalan keluar untuk kembali ke kelasnya.

Ia melangkah di sepanjang lorong yang sepi, sebab bel sekolah sudah berbunyi dan semua murid sudah kembali ke kelasnya masing-masing. Hingga langkah kakinya sampai di depan kelas XI MIPA 2 yang merupakan kelasnya.

Dipandangnya pintu itu dengan tatapan teduh. Semenjak berada di kelas ini semuanya berubah, kehidupan sekolahnya tidak lagi semenyenangkan dulu. Orang-orang menjauh dan tidak ingin berteman dengannya karena takut terkena imbas dan menjadi korban perisakan selanjutnya.

Dibukanya pintu kelas itu sebelum akhirnya ia melangkah masuk. Rafa mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas yang bising karena guru yang mengajar belum sampai di kelas, sehingga membuat para murid dengan bebas mengobrol dan bercanda bersama.

Atensinya beralih ke arah Ezra yang sedang duduk di kursi sembari fokus membaca buku.

Ada hal lain yang menyita perhatian Rafa, yaitu tiga kursi kosong milik kelompok perundung. Ketiga kursi itu kosong yang dapat disimpulkan bahwa pemiliknya membolos di jam pelajaran terakhir.

Rafa menghela napas lega, setidaknya ia tidak harus melihat para perundung lagi untuk saat ini.

Rafa duduk seorang diri di meja yang seharusnya diisi berpasangan, ia mengerutkan kening ketika mendapati sebuah plester dan Repero rasa almond di atas mejanya.

Diraihnya kedua benda itu. Senyum tipis terpatri di wajah manisnya, bukan sekali dua kali ia mendapat hadiah seperti ini.

Walaupun tidak mengetahui siapa yang memberikannya, tetapi Rafa ingin sekali berterima kasih kepada orang itu, karena pemberiannya sangat berarti untuknya.

Di sisi lain, seorang pemuda tidak dapat menahan senyumnya ketika melihat Rafa menerima hadiahnya. Ia berjanji, walaupun dirinya tidak bisa melindungi Rafa secara langsung, tetapi setidaknya ia ingin membuat sang pujaan hati menerbitkan senyum manis yang menjadi candunya sejak dulu.






TBC



Instagram: drefisaa

_
_
_

Mata Kembar Buta [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang