✭ 𝐡𝐞𝐲𝐲𝐨! 𝐜𝐨𝐦𝐞 𝐨𝐧, 𝐬𝐮𝐩𝐩𝐨𝐫𝐭 𝐦𝐞! 𝐠𝐢𝐯𝐞 𝐯𝐨𝐭𝐞-𝐜𝐨𝐦𝐞𝐧𝐭-𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐢𝐟 𝐲𝐨𝐮 𝐰𝐚𝐧𝐭! ✭
❀
❀
❀
❀Di depan teras kecil, ada seorang gadis tengah duduk dengan tatapan yang hampa. Rasa sesak di dada pun semakin dirasa, bahkan sekedar tersenyum pun rasanya begitu sulit. Beberapa menit kemudian tatapannya beralih ke atas dan menatap langit yang cerah dengan tatapan semu. Bibirnya mendadak mengerucut, matanya pun mulai terasa panas karena menahan air mata.
"Kangen." Hanya itu yang ia katakan sembari merasakan pipinya yang mulai basah, dia menangis tanpa suara.
Kejadian itu sudah lama terjadi namun hatinya masih tak rela jika seseorang itu telah pergi, namun takdir menyuruhnya untuk mengikhlaskan apa yang telah pergi. Dengan cepat Aluna mengusap wajahnya dan menetralisir detak jantungnya yang mulai tak karuan. Jika dibiarkan terlalu lama dia bisa gila karena terlalu rindu. Aluna bangun dari kursi sembari terus mengusap wajahnya yang mungkin sedikit merah dan bengkak karena menangis. "Kuat, ya? Nanti lagi nangisnya." gumamnya.
Aluna pergi ke dalam menuju dapur, begitu di dapur ia langsung mengambil teko dan gelas. Duduk seraya meneguk air putih sangat banyak agar pikirannya menjadi lebih tenang. Tidak lupa dengan camilan kesukaannya yaitu permen jeli, Aluna mengambil toples kaca di dalam lemari dan mengambil beberapa permen. Sore-sore begini enaknya makan permen sembari menonton acara televisi kesukaannya. Namun, hari ini sepertinya mood Aluna sedang berada di bawah. Dia lebih memilih tidur ataupun termenung seperti tadi, orang tuanya pun bingung dengan sikap putrinya yang berubah-ubah. Terkadang Aluna bisa menjadi gadis yang ceria, bahkan bisa berubah dalam semenit menjadi gadis pemurung.
"Dek, tidak baik terlalu sering memakan permen. Kamu belum makan nasi." ucap Ghina, ibunya Aluna.
Aluna menoleh ke belakang dengan ekspresi terkejutnya, dia cemas jika ibunya akan memarahinya karena diam-diam mencuri permen lagi.
Dengan tenang Aluna pun menjawab, "sudah kok, Ma. Tadi siang aku sudah makan nasi, bukannya Mama sudah masak sayur sop kesukaanku?"
"Iya, tapi Mama tidak lihat piring warna biru yang biasa kamu pakai untuk makan. Mama pikir kamu berbohong, hahaha." ujar Ghina seraya terkekeh.
Aluna menepuk jidatnya. "Aduh, Mama... Memangnya setiap makan aku harus pakai piring berwarna biru? Piring di rumah kita banyak, Ma." Ia pun menaruh toples permen tersebut. "Yasudah, nanti aku makan pakai piring warna-warni saja." lanjutnya.
Ghina tertawa mendengar ucapan anaknya. Dia percaya jika Aluna pasti sudah makan, anak itu tidak akan bertahan hidup jika dalam 24 jam tidak bertemu dengan nasi. Akan tetapi, di sisi lain Ghina juga masih meragukan hal itu. Karena akhir-akhir ini nafsu makan Aluna mulai berkurang dan itu membuat Ghina dan Yuda sangat cemas. "Bagaimana dengan sekolah barumu, Sayang?" tanya Ghina sambil menyiapkan roti isi. Aluna melirikkan matanya ke atas dan berpikir sejenak. "Tidak buruk." jawabnya singkat.
Awalnya Aluna dan keluarganya tinggal di Surabaya, namun karena Yuda mempunyai kepentingan mendesak, akhirnya ia membawa semua keluarganya pindah ke Bogor. Dengan hati yang berat Aluna menuruti keinginan orang tuanya walaupun ia sangat kesulitan melepas semua temannya di Surabaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naluna | On Going
Teen FictionAluna si gadis lugu selalu memberikan kehangatan dan kasih sayangnya kepada setiap orang sekalipun terhadap seseorang yang pernah menyakitinya. Ia senantiasa bermurah hati walaupun di saat dirinya juga membutuhkan seseorang untuk dijadikan sandaran...