17

0 0 0
                                    

Enjoy!

***

Saat memasuki SMA, hidupku masih terasa sama, penuh perjuangan dan rasa sakit. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sebuah titik terang yang datang dari seseorang yang tak pernah kusangka—Fey.

Gadis itu muncul di hidupku seperti cahaya di tengah kegelapan yang tak pernah kunjung hilang. Di mataku, Fey adalah pahlawan yang muncul pada saat yang tepat, mengulurkan tangan padaku ketika aku hampir tenggelam dalam keputusasaan.

Aku tak ingat kapan tepatnya perasaanku berubah. Mungkin saat dia pertama kali menyapaku di lorong sekolah, tersenyum dengan ceria seolah dunia ini tak pernah membuatnya patah.

“Ezra, kau sendirian terus. Mau duduk bareng kita gak?” sapanya kala itu.

Suara lembutnya, senyuman yang seperti cahaya—itu membuatku merasa diakui. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang memperlakukanku seperti manusia, bukan hanya bayangan atau hantu dari masa lalu yang suram.

Fey memancarkan kebaikan dan kepedulian yang tak pernah kudapatkan dari siapa pun sebelumnya. Dia menawarkan sesuatu yang selama ini kurindukan—persahabatan.

Tapi di balik senyum dan rasa terima kasihku, ada sesuatu yang mulai berkembang. Sesuatu yang gelap, yang lambat laun menyusup ke dalam diriku tanpa aku sadari.

Rasa suka itu muncul perlahan, tumbuh dari perhatian kecil yang Fey berikan padaku. Namun, rasa itu berubah menjadi sesuatu yang lain.

Fey bukan hanya sekadar teman, dia adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup. Setiap kali dia tertawa, setiap kali dia berbicara padaku, dunia yang tadinya terasa sesak tiba-tiba menjadi lebih lapang.

Tapi seiring waktu, kehadiran Fey tidak lagi cukup. Aku mulai haus akan setiap detik dari hidupnya. Aku ingin tahu semuanya—setiap langkah, setiap senyum, setiap rahasia yang dia simpan di balik mata indahnya.

Awalnya, aku hanya memperhatikan dari kejauhan. Di kelas, aku memandangi punggungnya, mencoba menebak apa yang dia pikirkan, apa yang membuatnya tersenyum ketika dia tak menyadari aku mengamatinya.

Aku menjadi pengamat diam dalam hidupnya. Tapi pengamatan dari jauh tak lagi memuaskan. Aku ingin lebih. Aku butuh lebih.

Aku mulai mengikuti Fey setelah sekolah. Awalnya, hanya karena aku ingin memastikan dia aman, bahwa tak ada yang akan menyakitinya seperti dunia pernah menyakitiku.

Namun, segera saja alasan itu hanyalah kedok bagi obsesiku yang semakin dalam. Aku mulai mengetahui rutinitasnya—kapan dia berangkat sekolah, kapan dia pulang, ke mana dia pergi setelah jam pelajaran selesai.

Ketika Fey berhenti di kafe favoritnya, aku akan duduk di seberang jalan, menatapnya dari balik jendela, mengamati setiap gerakannya, setiap tawa yang dia bagi dengan teman-temannya.

Namun, hal itu tak cukup. Aku ingin lebih dari sekadar melihatnya dari jauh. Aku mulai mencari tahu lebih banyak tentangnya—di media sosial, di buku catatannya. Aku mengetahui alamat rumahnya. Dan di sanalah semuanya berubah.

Aku tak tahu apa yang mendorongku pertama kali ke rumahnya. Mungkin hanya rasa penasaran, atau mungkin kebutuhan yang semakin tak terkendali untuk lebih dekat dengannya, untuk menjadi bagian dari hidupnya dengan cara apa pun.

Malam pertama aku datang, aku hanya berdiri di luar pagar, menatap ke arah jendela kamarnya yang berkilauan di bawah cahaya lampu. Aku tahu ini salah. Aku tahu ini gila. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari akal sehatku, sesuatu yang menuntunku untuk terus mendekat.

Malam-malam berikutnya, aku datang lagi. Dan lagi. Kali ini, aku berani melangkah lebih jauh. Aku berjalan di sekitar rumahnya, mencoba melihat sekilas kehidupan pribadinya yang tak bisa kuakses di sekolah.

Aku berdiri di luar jendelanya, mengintip ke dalam, melihatnya duduk di meja belajar, terkadang tertawa saat berbicara di telepon. Fey tampak begitu damai, begitu jauh dari kegelapan yang selalu menghantui hidupku. Melihatnya dalam momen-momen itu membuatku merasa seolah aku adalah bagian dari dunianya, meskipun dia tak pernah tahu.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa puas itu mulai memudar. Aku tak lagi cukup hanya mengamati. Aku ingin lebih. Aku ingin Fey melihatku, benar-benar melihatku—bukan hanya sebagai teman di sekolah, tapi sebagai seseorang yang selalu ada untuknya. Seseorang yang memahami setiap detak jantungnya, setiap napas yang dia hembuskan.

Aku mulai mengikutinya lebih sering. Ketika dia pergi berbelanja, aku ada di sana. Ketika dia berjalan sendirian di taman, aku mengikuti dari bayang-bayang.

Setiap langkahnya seolah menjadi bagian dari hidupku, dan aku tak bisa berhenti. Setiap kali dia menyadari kehadiranku, aku akan menyembunyikan diriku, berpura-pura bahwa semuanya kebetulan. Namun, jauh di dalam diriku, aku tahu ini bukan kebetulan. Ini adalah bagian dari takdirku—takdir yang mengikatku padanya.

Rasa suka yang dulu manis berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam. Fey adalah segalanya bagiku, dan aku tak bisa membiarkan siapa pun, atau apa pun, menjauhkan dia dariku.

Tapi semakin aku terobsesi, semakin aku menyadari bahwa Fey bukanlah milikku. Dia adalah milik dunia, milik semua orang yang mengenalnya, yang mencintainya dengan cara yang tidak bisa kulakukan. Dan itu... itu menghancurkanku.

Pada akhirnya, aku tahu bahwa tak ada yang bisa menghentikanku. Jika aku tak bisa memiliki Fey, maka tak ada seorang pun yang boleh memilikinya.

Aku tak peduli lagi pada apa yang benar atau salah. Semua yang kulakukan, semua yang kualami—semua rasa sakit, semua pengorbanan—harus terbayar. Aku pantas untuk dia, aku pantas untuk berada di sisinya. Dan jika dunia tak mengizinkanku merasakannya dengan cara biasa, maka aku akan melakukannya dengan cara apa pun yang perlu.

Aku tak pernah merasa seputus asa ini, tapi di saat yang sama, aku juga tak pernah merasa sehidup ini.

Obsesiku pada Fey bukan lagi sekadar cinta yang terpendam—itu adalah dorongan yang tak bisa lagi kubendung, meskipun akhirnya akan membawaku ke tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

***

TBC!

Who's The Winner?Where stories live. Discover now