Amar mengajak Nandru berburu sambil menunjuk busurnya yang terbuat dari kayu yang diukir indah, namun Nandru hanya mengernyitkan keningnya dengan lucu, menandakan kebingungannya.
"Kau serius? Kita mau berburu apa, burung atau mungkin tikus?" tanyanya sambil tertawa kecil, menciptakan suasana yang sedikit canggung di antara mereka.
Amar, dengan semangatnya, berusaha meyakinkan Nandru bahwa berburu bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan dan mendebarkan, tetapi Nandru masih merasa ragu dan tidak yakin apakah ia benar-benar ingin terlibat dalam petualangan tersebut.Selama perjalanan, Nandru bertanya dengan penasaran, "Busur itu terlihat mahal sekali. Apakah kamu dari keluarga yang berada?" Suara Nandru mengalun lembut, mencoba menggali informasi lebih lanjut tentang Amar. Dia ingin tahu lebih dalam mengenai latar belakang temannya, namun ada rasa ragu yang membuatnya tidak ingin terlalu menyinggung. Amar hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala, merespons pertanyaan itu dengan sikap santai, meskipun Nandru bisa melihat sedikit keraguan di matanya.
Amar tersenyum tipis, lalu dengan rendah hati menjawab, "Sebenarnya, ayahku adalah seorang pemimpin daerah di distrik timur." Nandru terkejut mendengar hal itu, karena selama ini Amar tidak pernah membicarakan keluarganya atau status sosialnya. Meskipun begitu, Amar tetap terlihat sederhana dan tidak pernah menunjukkan sikap yang berlebihan. "Tapi, aku tidak pernah ingin orang lain menilai diriku hanya dari itu," lanjut Amar, sambil terus berjalan, matanya fokus pada jalan setapak di depan mereka.
Sesampainya di tempat tujuan, mereka berdua langsung fokus pada target perburuan. Amar dengan sigap mengangkat busurnya, matanya tajam mengamati gerakan di semak-semak. Sementara itu, Nandru berusaha menyesuaikan diri. Mereka saling memberi isyarat diam-diam, menghindari suara agar tak mengganggu satwa liar di sekitarnya. Suasana di antara mereka mulai lebih tenang, penuh dengan konsentrasi, seolah perburuan ini menjadi cara untuk mendekatkan mereka tanpa banyak kata.
Namun, saat Amar melepaskan anak panahnya, tembakannya meleset dari sasaran. Anak panah itu hanya menancap di tanah beberapa meter dari target. Amar terlihat sedikit kesal, tetapi tetap berusaha tenang. Nandru menahan tawa, mencoba tidak membuat Amar merasa semakin gugup. "Tidak apa-apa, mungkin hewan itu terlalu gesit," ujar Nandru dengan nada ringan, berusaha menghibur. Amar hanya tersenyum tipis, menunduk untuk mengambil kembali busurnya, bersiap untuk mencoba lagi.
Amar menyerahkan busur panahnya kepada Nandru dengan senyum tipis, sedikit terkesan meremehkan. "Coba saja kalau kamu bisa lebih baik," katanya sambil melipat tangan di dada. Nandru menerima busur itu dengan tenang, tidak terpengaruh oleh nada Amar. Ia mengangkat busur dan menarik talinya perlahan, mengarahkan ujung anak panah ke sasaran yang jauh. Amar, yang berdiri di sampingnya, mengamati dengan raut wajah skeptis, seolah tak yakin Nandru mampu mengenai target.
Anak panah melesat cepat dan tepat mengenai seekor burung yang sedang terbang rendah di kejauhan. Amar terdiam, matanya melebar kaget. Nandru menurunkan busur dengan tenang, sedikit tersenyum puas, meski tidak berlebihan. "Tepat sasaran," ujarnya ringan. Amar, yang sebelumnya meremehkan, tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. "Aku tidak menyangka... kamu bisa melakukannya," katanya pelan, masih memandang burung yang jatuh ke tanah. Suasana yang tadinya canggung berubah menjadi kekaguman dalam diam, dan Amar mulai melihat Nandru dengan cara yang berbeda.
Saat duduk beristirahat setelah berhasil memanah burung, Nandru mulai bercerita kepada Amar tentang masa kecilnya. "Sejak kecil, aku sering diajak kakek ke hutan," katanya sambil tersenyum mengenang.
"Dia yang mengajariku memanah, bukan hanya tentang teknik, tapi juga soal kesabaran dan ketenangan." Amar mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan latar belakang Nandru yang tampaknya begitu sederhana, namun penuh keterampilan. "Kakek selalu bilang, memanah itu soal perasaan, bukan hanya kekuatan," lanjut Nandru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertuju Padamu (BL) Ongoing☑️
Fiction HistoriqueSebelum fajar, angin bertiup di pipiku Suara mu Aroma mu membungkus dan mengisi segalanya "Aku mulai mencintaimu tepat di pertemuan kedua kita, kamu mungkin tidak mengingat aku pada waktu itu tetapi tanpa kau sadar bahwa mata kita pernah menatap sa...