Erlangga berdiri kaku di tengah kerumunan yang semakin riuh. Pandangannya masih tertuju pada ambulans yang perlahan bergerak menjauh. Segala sesuatu di sekitarnya seolah melambat. Suara orang-orang terdengar sayup, langkah-langkah mereka seakan tak berirama, dan dunia seolah terhenti.
Satu hal yang terus berputar dalam pikirannya: siapa yang ada di dalam ambulans itu?
Tiba-tiba, seorang petugas kepolisian mendekat. “Erlangga, gue minta maaf,” katanya pelan, menunduk. “Orang tua lo… mereka gak selamat.”
Hanya dengan beberapa kata itu, dunia Erlangga runtuh seketika. Semua suara yang tadinya kabur kini menghilang sepenuhnya. Jantungnya berdetak kencang, namun ia tak bisa merasakan apapun selain kekosongan yang menyakitkan.
Dia mundur beberapa langkah, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Tidak mungkin. Ini tidak nyata. Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk yang sebentar lagi akan berakhir. Tapi kenyataan menghantamnya dengan brutal.
Orang tua nya… sudah tidak ada.
Air mata yang tadinya ia tahan kini jatuh tanpa bisa dibendung. Erlangga jatuh terduduk di tanah, menggenggam erat kedua tangannya seolah mencari pegangan di tengah kehancuran ini.
Naomi, yang selama ini diam di sisinya, langsung merunduk, memeluknya erat. “Lang… gue tau ini berat. Lo gak harus kuat sekarang. Gak apa-apa untuk jatuh.”
Namun kata-kata Naomi tak mampu meredakan badai di dalam dirinya. Erlangga tersengal, seolah mencoba menarik nafas di tengah lautan kesedihan yang menenggelamkannya.
"Gak mungkin... ini gak mungkin," gumamnya, suaranya pecah di antara isakan.
Naomi semakin mempererat pelukannya. “Lang, gue di sini. Lo gak sendirian,” bisiknya, mencoba menenangkan. Tapi Erlangga tahu, tidak ada yang bisa mengembalikan orang tuanya sekarang. Mereka sudah pergi. Selamanya.
Beberapa menit berlalu dalam hening. Erlangga akhirnya melepaskan diri dari pelukan Naomi, wajahnya penuh dengan air mata yang tak lagi bisa dia sembunyikan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya jauh melayang, menganalisis kejadian-kejadian yang baru saja terjadi.
Lalu, tiba-tiba sebuah pikiran tajam muncul dalam benaknya. "Ravistor," ucapnya pelan, penuh amarah yang mulai membara di dalam dirinya.
Naomi mengerutkan kening, bingung dengan ucapannya. "Apa maksud lo, Lang?"
Erlangga menatapnya tajam. "Ini pasti ulah Ravistor. Setelah semua yang terjadi, perjanjian damai yang rusak… mereka gak akan diam aja. Dan sekarang… sekarang mereka udah ngambil segalanya dari gue."
"Lo yakin ini karena mereka?" Naomi bertanya dengan hati-hati, takut memicu lebih banyak kemarahan dalam diri Erlangga.
Tapi Erlangga sudah tidak peduli lagi. Di dalam hatinya, dia sudah membuat kesimpulan. "Gue tau. Ini ulah mereka. Gue akan buktikan." Suaranya kini dipenuhi dengan dendam yang sulit disembunyikan.
Naomi mencoba meredakan suasana. "Lang, gue tau lo marah, tapi jangan buru-buru ambil kesimpulan. Lo masih shock."
Namun, Erlangga hanya menggeleng, menatap jauh ke depan. Baginya, tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Ravistor telah memulai perang, dan kini mereka mengambil hal yang paling berharga dalam hidupnya.
Dan Erlangga tahu, dia tidak bisa membiarkan ini begitu saja.
Berikut kelanjutan dari cerita, saat Erlangga mengambil tindakan setelah kematian orang tuanyaErlangga bangkit dengan penuh emosi, rasa sakit dan kemarahan berkumpul dalam satu titik. Dia berlari menuju BMW-nya, tak peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya yang masih berlarian dalam ketakutan dan kesedihan. Mobil itu terlihat seperti satu-satunya pelarian yang bisa membawanya jauh dari realitas menyakitkan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gangsta Paradise : The Montague
ActionDalam kegelapan malam yang menyelimuti Flower City, sebuah keluarga Mafia berkuasa mengatur dan mengendalikan alur kehidupan kriminal di kota tersebut. Mereka adalah Keluarga Montague, yang dikenal ditakuti di seluruh Mafia di Flower City. Di balik...