02. Muka Tembok, Mulut Lemes

32 2 1
                                    

Langkah Althaf yang tergesa dan wajah kusutnya memperjelas bahwa hari ini tidak akan menjadi hari yang baik untuk siapa pun yang berurusan dengannya.

Setiap orang yang berpapasan dengannya di koridor panjang hanya memberikan teguran singkat—tak lebih dari basa-basi—sebelum buru-buru menyingkir.

Tak ada yang ingin menjadi sasaran kemarahan CEO muda yang terkenal dengan sifat tegasnya. Bahkan sapaan pun terasa tidak aman di pagi seperti ini.

Althaf, dengan rahang yang mengeras, menekan-nekan dasinya, melonggarkan simpulnya sedikit.

Mimpi buruk tadi malam masih membekas dalam pikirannya, dan itu cukup mengganggu suasana hatinya.

"Apa-apaan ini!" gumamnya kesal, tangannya membuka pintu ruangannya dengan sedikit kasar. Ia berharap tidak perlu bertemu siapa pun saat ini, terutama seseorang yang sudah lama membuat pikirannya berantakan—Dafina.

Saat matanya menyapu ruangan, ia lega. Tak ada penampakan Dafina di ruang kerja para asisten pribadinya. Setidaknya, ia tak harus bertatapan dengan wajah wanita itu.

Bergegas Althaf menuju ruangannya sendiri lalu masuk. Sayangnya, kesenangannya tidak bertahan lama.

"Pagi, Pak!" Suara itu menyapa dengan riang.

Althaf menegang seketika.

Dafina.

Wanita berkacamata itu tersenyum ramah ke arahnya, tak menyadari kegelisahan yang berputar di dalam diri Althaf. Pria itu segera menatapnya dengan pandangan masam.

Melihat betapa tidak ramahnya Althaf, Dafin pun berinisiatif menawarkan sesuatu. "Pak, apa Bapak ingin saya buatkan minuman? Mungkin kopi untuk membuat suasana pagi lebih baik?" tawarnya, suaranya tetap terdengar sopan. Dan sedikit khawatir karena keadaan Althaf tampak sedikit kacau.

Yang ditanya tak menjawab, hanya mendengkus pelan sembari melepas jasnya dan duduk di kursi. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya, terutama di hadapan sekretaris yang diam-diam telah menarik perhatiannya lebih dari yang seharusnya.

"Bukannya sebentar lagi ada rapat? Sedang apa kau di sini?" Suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Dafina terlihat sedikit tergagap. "Ah, iya, Pak. Saya hanya ingin menyerahkan materi rapat untuk Bapak—"

"Taruh saja di meja. Siapkan ruangannya segera!" ucap Althaf tanpa menoleh. Ia berusaha keras menyembunyikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya.

Dafina, yang terbiasa dengan sikap dingin Althaf, hanya mengangguk patuh. "Baik, Pak," katanya singkat sebelum meninggalkan ruangan.

"Dasar bos jutek!" Bergumam pelan Dafina saat ia telah berada di luar, di depan pintu ruangan Althaf.

Denis, asisten Althaf lain yang bertugas di bagian humas, melintas di dekatnya. "Yang sabar, ya, Daf," ucapnya sambil tersenyum kecil.

Dafina mendesah, wajahnya masih kesal. "Aku menyesal menerima permintaan Pak Ghaisan untuk jadi sekretaris di sini."

Denis tertawa mendengar keluhan temannya itu. "Hei, itu artinya Pak Ghaisan percaya kalau kamu cukup kuat dan tangguh menghadapi Pak Althaf. Lagipula imbalan yang kau dapatkan untuk transfer ke sini bukannya cukup besar?"

"Ish! Kenapa berita itu sampai merebak kemana-mana, sih?" Dafina semakin menggerutu dan Denis semakin terkekeh.

"Aku serasa bicara dengan tembok, Denis. Dan bukan sembarang tembok. Ini tembok dengan level pedas 30! Mulutnya itu, lho!" Dafina kembali mengeluh, membuat rekan kerjanya lagi-lagi tertawa lebih keras.

Denis menepuk bahu Dafina dengan lembut, mencoba menghiburnya saat mereka berdua berjalan menuju ruangan mereka. "Kamu tahu sendiri 'kan, Pak Althaf itu sebenarnya orang yang baik. Dia memang kelihatan tegas dan dingin, tapi kamu nggak bisa menutup mata atas apa yang dia capai."

Dafina mengangguk pelan, tak bisa menyangkal. Meskipun sering merasa kesal dengan sikap keras Althaf, ia tahu betul bahwa pria itu adalah pekerja keras dan sangat kompeten.

Selama delapan tahun Dafina bekerja di perusahaan ini, ia menyaksikan langsung bagaimana Althaf memimpin dengan tangan dingin, membawa perusahaan ini ke puncak kesuksesan. Statusnya yang terlahir sebagai pewaris bisnis tak membuat pria itu bermalas-malasan.

Memang, di balik sikap keras dan tanpa kompromi itu, Dafina tahu ada sisi lain dari Althaf. Meskipun pria itu jarang sekali menunjukkan sisi manusiawinya, terutama dalam urusan pribadi, tak dapat dipungkiri bahwa keputusan-keputusan yang diambilnya selalu tepat dan berbuah hasil luar biasa.

"Hmm, mungkin memang aku yang harus lebih sabar," gumam Dafina, sedikit tersenyum mendengar nasehat Denis.

"Benar. Lagipula, kamu tahu sendiri, Pak Althaf itu perfeksionis. Kalau dia marah, itu cuma karena dia ingin semuanya sempurna," lanjut Denis dengan suara yang sedikit lebih lembut.

Dafina hanya bisa mengangguk lagi.

Meski sulit, ia tahu bahwa bekerja di bawah Althaf tidak hanya memberinya tekanan, tetapi juga membuatnya tumbuh sebagai seorang profesional. Dan, di balik semua itu, mungkin... hanya mungkin, ada sebuah perasaan aneh setiap berinteraksi dengan Althaf dan tentu saja tidak ingin ia akui.

***

Suasana di ruang rapat pagi itu sangat tegang. Althaf duduk di ujung meja dengan ekspresi wajah yang tertekuk, memperhatikan satu per satu laporan yang dipresentasikan oleh para manajer divisi.

Wajahnya kaku, rahangnya mengeras, dan kedua matanya tajam, berusaha keras untuk fokus.

Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Sesekali, matanya melirik ke arah Dafina yang duduk tak jauh darinya. Wanita itu terlihat sangat serius mencatat dan mengikuti jalannya rapat dengan penuh konsentrasi.

Entah kenapa, hari ini Althaf merasa ada sesuatu yang berbeda dari Dafina. Wajah seriusnya justru terlihat semakin menarik di mata Althaf.

Ia memperhatikan dengan detail setiap gerak-gerik wanita itu, terutama saat dahinya berkerut, tanda bahwa Dafina sedang berpikir keras.

Meskipun Dafina jauh dari kesan seksi yang biasa melekat pada sekretaris-sekretaris divisi lain di perusahaannya, Althaf merasa ada yang lebih memikat dari Dafina.

Cara berpikirnya yang tajam, keseriusan dalam pekerjaannya, dan kemampuannya dalam menganalisis situasi, semuanya membuat Althaf tertarik, meskipun ia sendiri berusaha keras untuk menyangkal perasaannya.

Althaf tersadar bahwa ia telah melamun terlalu lama. Ia memaki dirinya sendiri dalam hati, lalu segera berusaha memusatkan perhatiannya kembali pada rapat.

Saat itu, Pak Riyadi, manajer senior, sedang memaparkan laporan mingguan divisinya. Laporan yang seharusnya memberikan pandangan strategis tentang perkembangan terkini pasar.

Namun, semakin lama Pak Riyadi berbicara, dahi Althaf semakin berkerut. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan data yang disajikan. Tangannya terangkat, menghentikan presentasi di tengah jalan.

"Pak Riyadi, saya rasa ada yang salah di sini," suara Althaf terdengar tenang namun penuh ketegasan. "Data yang Anda sampaikan ini tampaknya sudah ketinggalan zaman. Di mana update terbaru yang seharusnya Anda dapatkan dari riset pasar?"

Semua mata kini tertuju pada Pak Riyadi, yang tampak gugup dan mulai gelisah. "Ma-maaf, Pak Althaf. Kami masih menunggu hasil dari tim riset, jadi kami hanya menggunakan data yang ada minggu lalu-"

"Alasan yang tidak bisa diterima!" potong Althaf dengan nada dingin, nyaris membanting lembaran yang tadi ia pegang ke atas meja. Seketika Pak Riyadi terdiam dan semakin tegang.

"Bagaimana kita bisa mengambil keputusan yang tepat jika data yang kita gunakan sudah usang? Ini bukan hanya soal keterlambatan, tetapi soal kredibilitas kita di mata klien dan pasar! Jika Anda tidak bisa memastikan keakuratan laporan, maka lebih baik Anda mencari posisi lain!"

Hot Affair with My SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang