6. Benang Merah

49 6 50
                                    

Mata biru samudra menatap sebotol parfum di tangannya. Ia mendekatkan ujung semprotan itu pada hidung, membuat aroma harum tercium. Elise mengangkat kedua alisnya tak mengerti.

"Bluebell? Bukan parfum lavender lagi, Tuan?"

Menanggapi pertanyaan itu, Degel menggeleng. Segurat kesenduan melintas di matanya sebelum menghilang secepat datangnya. Kedua tangannya menyisir helai biru Elise dengan jemari. Jepit rambut lavender yang semula tersemat di belakang kepala dilepas, membuat helaian kebiruan itu jatuh dengan anggun.

"Ya, sudah tiga tahun saya memberikan Anda parfum lavender. Parfum beraroma bluebell ini ... apakah menurut Anda akan cocok dengan diri Anda, Elise?" tanya Degel lirih.

Elise bersenandung. Ia mendekatkan parfum itu kembali ke hidungnya, membuat aroma lembut bluebell menyapa penciumannya. Dibandingkan parfum lavender yang selama ia pakai, aroma parfum ini lebih lembut dan manis.

"Saya suka aromanya, Tuan." Sebuah senyuman bahagia terbentuk. "Ini harum."

Mendapati respon itu, Degel mengangguk. Tangannya mulai mengepang rambut sisi kiri wajah Elise sebelum menariknya melingkari kepala belakang sampai ke atas telinga kanan. Kemudian, sisa kepangan ia jepit dengan jepit perak.

Bukan, bukan jepit lavender perak yang biasa Elise kenakan. Ini berbeda. Menyematkannya ke helaian biru muda, Degel menatap puas jepit emas dengan bentuk setangkai bunga bluebell yang menggantung cantik. Jepit itu dihiasi dengan batu safir pekat.

"Sudah selesai, Elise." Degel memutar tubuh Elise yang sejak tadi duduk di kursi. Ia mengambil cermin genggam dari atas meja baca. "Bagaimana menurut Anda?"

Elise terkesiap ketika melihat gaya rambut barunya, terutama pada jepit rambut emas itu. Ekspresinya terlihat terpana. "Tuan, ... ini?" Tangannya dengan perlahan menyentuh aksesoris mahal itu dengan hati-hati.

Dengan kedua tangan memeluk erat pinggang Elise, Degel menyandarkan dagunya pada bahu kanan pelayan pribadinya itu. Kedua mata mereka saling bertatapan melalui cermin genggam yang tengah di pegang Elise.

"Ya, saya ingin melihat Anda dengan gaya yang berbeda, Elise." Bibir Sang Aquarius menyusuri garis rahang sang gadis dengan perlahan, menanamkan ciuman-ciuman seringan kepakan sayap kupu-kupu. Bisa dirasakan olehnya bahwa napas Elise semakin berat dan tubuhnya bergetar. "Ini hadiah dari saya, Elise."

Degel menutup kalimat itu dengan kecupan di leher Elise, menyesapnya pelan dan meninggalkan tanda kemerahan. Rasa bersalah menelan hatinya ketika ia menyadari bahwa ia memberikan tanda kepemilikan pada gadis yang terlalu baik untuknya.

"Terima kasih, Tuan. Saya akan menjaganya dengan sepenuh hati."

Elise membalas dengan nada begetar. Matanya menunduk tanpa berani menatap balik mata ungu yang selalu menjadi favoritnya. Wajahnya memerah hingga telinga. Entah kenapa penampilannya itu begitu manis.

Sebuah senyuman lembut terbit di wajah tampan Degel. Mata ungunya melembut.

"Sama-sama, Elise."

***

"Apa-apaan di lehermu itu, Elise?" tanya Chintya heran. Mata cokelat gadis itu menyipit tajam. Ia berjalan mendekati Elise yang balas menatapnya gugup. "Ini kissmark? Dari mana kau mendapatkannya, huh?"

Elise menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam erat. Rona kemerahan mewarnai wajahnya hingga telinga. Ia benar-benar mirip buah kesukaan Vania, tomat.

Melihat tingkah sahabatnya yang tersipu berat, Chintya hanya mampu menaikkan sebelah alisnya penuh tanya. Matanya menyusuri penampilan Elise yang cukup lain dari biasanya, terutama dengan aksesoris emas di sisi kanan kepalanya itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Frozen Blue Moon [Saint Seiya: The Lost Canvas]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang