Bab 3

3 1 0
                                    


Hari kedua Helgania bersekolah dengan menggunakan raga milik Zessica, dan membuatnya harus lebih hati-hati jika bertemu dengan siswa/siswi lainnya, lebih tepatnya yang karakternya seperti tukang bully.

Helgania sudah menyiapkan energi lebih untuk melawan mereka yang mengganggunya, ia diajarkan untuk melawan siapapun itu, tidak diajarkan untuk menjadi perempuan lemah.

"HEH BABU!"

Baru juga difikirkan oleh Helgania, suara teriakan itu membuatnya menoleh dan mendapati Aviera yang datang bersama kelima perempuan lainnya. Tentu saja membuat Helgania menyunggingkan senyum miring.

Gadis itu bersidekap dada, memperhatikan penampilan Aviera yang kini berdiri dihadapannya, lalu fokusnya hanya dikunci pada wajah Aviera yang memakai riasan wajah terlalu tebal.

"Ikut gue!"

Helgania menghempaskan tangannya sehingga cengkraman tangan Aviera terlepas, "Kamu siapa berani-beraninya menyuruhku? Orangtua aku juga bukan," ucapnya dengan tenang, tidak ada perasaan takut.

Sementara itu di tempat lain di dekat gazebo, terdapat seorang laki-laki yang memperhatikan interaksi kedua perempuan di depan sana dengan kedua tangan yang menyaku.

"Udah berani ngelawan gue, hm? Lo gak takut sama gue sekarang?" tanya Aviera setelah mendorong tubuh Zessica ke dinding, menepuk pipi kanan Zessica dan langsung mendapatkan perlawanan dari gadis dihadapannya saat ini.

"Bukankah di sekolah ini ada peraturan tidak boleh memakai riasan wajah ke sekolah? Bagaimana jadinya kalau aku mengadukannya kepada pihak sekolah?" ucap Helgania tanpa perasaan menggebu-gebu, tetapi bisa membuat Aviera menggeram kesal.

PLAK

PLAK

Helgania tidak tinggal diam saat tiba-tiba perempuan dihadapannya saat ini menampar pipinya, ralat ... pipi Zessica. Ia bisa merasakan sakitnya, dan itu membuatnya sedikit tidak terima.

Selama 16 tahun Helgania hidup, tidak ada yang berani menamparnya, sekalipun itu orangtuanya ataupun orang lain. Jadi, saat ia mendapatkan tamparan walaupun bukan sebagai dirinya, membuatnya tidak terima mendapatkan perlakuan seperti itu.

Helgania menatap Aviera yang menatapnya tajam, "Apa? Sakit? Atau kesal?" tanyanya sedikit meremehkan perempuan dihadapannya saat ini. "Baru segitu saja sudah kesal, bagaimana kalau aku tinju wajahmu itu sampai lebam semuanya. Mau coba?" lanjutnya, diakhiri dengan terkekeh.

Aviera menggeram, ia kembali mengangkat tangannya, tapi dengan cepat seorang laki-laki hadir dihadapannya dan menahan tangannya diudara.

"Haigar, minggir!"

"Emangnya lo gak takut dikeluarin, hm? Ketua osis ngeliatin lo daritadi disana," ucap Haigar, melirik seorang laki-laki berpakaian rapih berdiri di ujung koridor lantai satu dengan ekspresi wajah datar.

Aviera dan ketiga temannya menoleh, benar saja ... sosok laki-laki yang sangat mereka kenali berdiri di ujung sana, laki-laki yang menjabat sebagai ketua osis, dan memiliki power sangat besar di sekolah, alias tangan kanannya kepala sekolah.

Aviera menarik tangannya, lalu pergi dari hadapan Haigar yang hanya bergeming, diikuti oleh ketiga temannya. Sedangkan Haigar menatap satu persatu siswa/siswi yang menonton, dan mereka segera membubarkan diri.

"Terimakasih, tetapi kamu tidak perlu membantuku. Aku bisa mengatasinya sendiri," ujar Helgania sedikit angkuh, ia ingin pergi dari hadapan Haigar, tetapi pemuda itu menahannya dan membawanya pergi kembali ke parkiran.

"LEPASIN! KAMU APA-APAAN SIHH?!" teriak Helgania, berusaha keras untuk melepaskan diri Haigar yang mendorongnya masuk ke dalam mobil.

"Sial!" umpat gadis itu saat tidak bisa membuka pintu disisinya. Perlu diingatkan, dunianya sebelum ditarik ke dunia, tidak ada kendaraan roda empat seperti ini.

"Kamu ingin menculikku, kan? Orang di dunia ini kenapa jahat sihh," ocehnya, menatap Haigar yang duduk di kursi pengemudi.

Pemuda itu menyalakan mesin mobilnya tanpa memperdulikan perempuan yang mengoceh di kursi penumpang sisinya, "Lo bisa kan pakai sabuk pengamannya?"

"Tidak," jawab Helgania, membuat Haigar menoleh dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Kamu benar-benar ingin menculikku? Aku laporkan ke Mommy dan Daddy," tambahnya.

Kalimat terakhir yang diucap Helgania semakin membuat Haigar menaruh curiga, "Orangtua lo udah gak ada dua tahun yang lalu."

Helgania terdiam, ia baru ingat. Sudah dua hari dirinya memasuki kehidupan seorang Zessica, dan baru menyadari tidak ada kedua orangtua dari Zessica di rumah, hanya ada kakak laki-laki Zessica.

Helgania menipiskan bibirnya, bergumam pelan lalu memutar otaknya untuk mencari alasan yang tepat menyangkalnya. Tidak mungkin dirinya mengatakan kalau ia memang bukan Zessica.

"Oh ... lo tau kan nama gue siapa?" tanya Haigar kepada Helgania yang bergumam pelan. Tanpa diperjelas, dirinya bisa menyadari kejanggalan yang terjadi pada gadis yang bersamanya saat ini.

Helgania bergeming, berusaha mengingat nama laki-laki yang duduk di kursi pengemudi, laki-laki yang mengantarnya pulang kemarin sore.

Sedangkan Haigar fokus menyetir dengan tenang, ekspresi wajahnya pun datar sedikit tegas, tetapi tidak membuat Helgania takut kepadanya.

"Gudang atau taman?" tanya Haigar tiba-tiba tanpa konteks, memecahkan keheningan yang terjadi diantara dirinya dan Helgania.

"Apa?"

"Lo mau gue bawa kemana?"

"Kamu nyulik aku terus dibawa ke om-om gitu?"

Haigar menoleh, ia menaikkan sebelah alisnya, "Sejak kapan lo berfikiran kaya gitu?" tanyanya penuh curiga, kedua matanya menyipit.

Helgania bergumam, mengalihkan atensinya keluar jendela, menghindari kontak mata dengan Haigar yang sedang menatapnya karena berhenti di lampu merah.

Haigar mengendikkan kedua bahunya, berusaha untuk mengabaikan apa yang terjadi, walaupun dirinya sedang memikirkan apa yang terjadi terhadap Zessica.

"Nama lo siapa?" tanya Haigar tiba-tiba, membuat Zessica menoleh dan mereka melakukan kontak mata. "Jawab dalam waktu lima detik," tambahnya.

"Nama aku? Zessica Aurora."

Haigar bergumam pelan, kembali melajukan kendaraan roda empatnya saat traffic light berubah menjadi warna hijau.

Laki-laki itu melirik spion kirinya, lalu berpindah jalur ke sisi kiri saat tidak ada motor atau mobil yang melintas. Selama perjalanan pun tidak ada yang berbicara diantara mereka, sampai akhirnya mobil berwarna hitam milik Haigar berhenti di sebuah rumah yang sangat sederhana.

"Turun," titah Haigar dengan penuh penekanan, menatap perempuan yang sedang bersamanya saat ini. "Turun atau gue gendong masuk ke dalam?" tambahnya, memberikan kode untuk turun.

Helgania yang mendapatkan kode itu melakukan protes, "Cara bukanya seperti apa?" tanyanya.

Haigar menghela nafasnya, "Gue tau lo gak punya mobil, tapi kan lo setiap hari naik angkot dan duduknya di depan."

"Hehh! Mobil kamu ini kelewat canggih, beda sama mobil angkot yang aku tumpangi kemarin," protesnya, lalu mengulum bibirnya saat menyadari kesalahan.

Haigar menghela nafasnya, ia membuka sabuk pengamannya, lalu turun dari mobilnya dan membuka pintu penumpang bagian depan. Helgania langsung turun setelah mengucapkan 'terimakasih' kepada Haigar.

Helgania memperhatikan sekeliling halaman rumah dihadapannya saat ini, tempat ini lebih layak dari tempat yang ia huni selama dua hari ini, lebih tepatnya tempat ini lebih bagus daripada rumah Zessica.

Haigar membuka pintu dihadapannya saat ini, menatap perempuan yang sedang bersamanya saat ini. Sedangkan Helgania memicingkan mata, kecurigaannya terhadap Haigar semakin tinggi.

"Kamu tidak akan berbuat aneh-aneh kepadaku, kan?" tanya Helgania, membua laki-laki dihadapannya ini menaikkan sebelah alis.

"Berapa kali gue ajak lo ke sini?" tanya Haigar, membuat Helgania bergeming, seperti sedang berfikir. "Kalau jawaban lo bener, gue gak bakal ngapa-ngapain lo," tambahnya.

"Tiga kali?"

"Lo bukan Zessica."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKU HELGANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang