Jarum metronom bergerak seirama ke kanan dan kiri, bisingnya suara hujan di luar ruangan tidak berarti banyak. Telinganya seolah tuli, tenggelam dalam suara tic tac-nya yang khas. Pria paruh baya itu menggeleng keras, berusaha mengeluarkan suara ritmis yang semakin menyeret kesadarannya pergi.
"Kau tahu itu percuma." Suara serak setengah basah menyahut, membuat pria paruh baya itu lantas mendongakkan kepala. Matanya bergetar ketakutan menatap jelmaan iblis yang duduk anggun di depannya.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan?" Dia bertanya pelan, suaranya hampir hilang ditelan kehampaan. "Kau sudah menghabisi semuanya... semuanya... apalagi yang kau inginkan... Balmore?"
Yesaya Balmore dalam balutan setelan hitam yang kontras dengan kulit pucat dan rambut putihnya tersenyum miring. "Membawamu ke neraka, Paman..." balasnya sedikit berbisik, jemarinya dengan lembut menyentuh metronom, memperhatikan ayunan jarum bergerak teratur, setiap ketukan terdengar seperti hitungan mundur ditiupnya sangkakala milik dewa kematian. "Akan tidak menyenangkan jika anak dan istrimu melewati sungai Stynx tanpamu, mereka pasti telah menunggumu."
Yesaya berdiri, membuat getaran ketakutan semakin kuat mencekik pria berusia setengah abad yang terduduk dengan tangan terikat borgol di tengah ruangan. Matanya menatap cemas, mengikuti kemana si surai putih platina bergerak sembari mencoba melepaskan diri—meski usahanya berakhir sia-sia.
"Lepaskan aku, aku mohon, akan aku lakukan apapun yang kau mau, tetapi tolong ampuni aku!" Yesaya terdiam di depan jendela, matanya menyipit menatap ke arah rumah sebrang—lebih tepatnya siluet seorang pria di jendela. "Akan kuberikan semua yang kumiliki, asal kau melepasku!" Si pria kembali berteriak.
Yesaya menoleh dengan raut yang dibuat-buat, seolah senang mendengar penuturan pria perut buncit tersebut. "Benarkah?" senyuman lebar tersungging hingga giginya yang berderet rapi nampak. Langkahnya yang ringan membawanya mendekati si pria. Yesaya menunduk, mensejajarkan wajah keduanya. "Apa kau akan mengabulkan semua permintaanku?"
Pria itu mengangguk cepat. "Tentu saja! Akan aku berikan semua yang kau inginkan!"
"Termasuk membangkitkan kedua orang tuaku?" tanya Yesaya dengan nada riang, matanya berbinar seperti anjing kecil. Senyuman si pria meluntur, rautnya berubah kosong.
Yesaya yang tak kunjung mendapat jawaban menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa, Paman?" tanyanya. "Bukankah Paman bilang akan memberikan semua yang kumau?"
Si pria paruh baya meneguk ludahnya kasar, bulu kuduknya meremang hebat.
Pria bersurai putih platina itu mengerucutkan bibirnya, bertingkah selayaknya anak berusia lima tahun yang keinginannya tidak dikabulkan. "Aku ingin orang tuaku kembali, Paman tidak bisa ya?" Kedua mata bulatnya mengerjap polos, rautnya berubah lesuh.
"A...anak.. Iblis..." gumam si pria patah-patah.
Yesaya terdiam sebentar, kemudian memuntahkan tawanya keras-keras. Suaranya menggema, beradu dengan hujan, menambah kesan suram di ruang yang didominasi dengan furnitur berbahan kayu ebony tersebut. "Tidakkah kau lihat betapa konyolnya dirimu?" Kedua tangannya menengadah tidak percaya sebelum kembali terbahak.
Yesaya mengusap wajahnya kasar. "Sial! Kenapa orang mati lucu sekali?!" umpatnya kala merasakan kram pada perutnya. Yesaya kemudian menunjuk pria paruh baya yang duduk tersiksa dengan telunjuk gemetaran, efek sehabis tertawa. "Paman, kau cocok sekali menjadi seorang komedian, seandainya kau berumur panjang," pujinya tulus setengah menahan tawa.
Pria paruh baya itu terdiam, tidak merasa tersanjung dengan pujian yang dilayangkan keponakannya. "Kau akan tahu akibatnya berani bermain-main denganku! Mereka akan mengejarmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Phantom: Red & Blue (KUNYANG)✔️
Fanfiction[ONE SHOOT] "Do you miss me, Princess?" ©Greysuns