Bab 25. Apa Itu Duka (2)

70 10 1
                                    

Atin berdiri di depan meja yang sudah disiapkan untuk babak terakhir olimpiade matematika. Suasana ruang lomba begitu hening, hanya suara napas peserta dan debaran jantung yang terasa makin kencang di telinga. Pikirannya campur aduk antara rasa gugup dan tekad yang membara. Di depannya, lawannya sudah siap. Ini adalah duel satu lawan satu yang akan menentukan siapa yang layak menjadi juara.

"Hari ini aku harus menang. Demi Kak Marsha. Aku nggak akan mundur sekarang," gumam Atin dalam hatinya sambil menggenggam erat pensilnya.

Babak terakhir ini berbeda dari babak-babak sebelumnya. Jika sebelumnya mereka diberikan soal secara bersamaan dan memiliki waktu untuk menyelesaikan semua soal, kali ini formatnya adalah duel langsung—siapa yang bisa menyelesaikan soal terlebih dahulu dengan benar, dialah yang akan menang. Hanya tersisa Atin dan satu peserta lain, seorang anak laki-laki dari sekolah yang terkenal akan prestasi matematikanya.

"Aku pasti bisa," pikir Atin sambil menguatkan hatinya. Tetapi di sudut lain pikirannya, keraguan mulai menyeruak. "Bagaimana kalau aku kalah? Bagaimana kalau Kak Marsha nggak akan pernah bangun untuk melihat aku menang? Bagaimana kalau aku benar-benar nggak sebanding dengan mereka?"

Suara pengawas lomba yang mengumumkan soal terakhir membuyarkan lamunan Atin. Ia menatap layar yang menampilkan soal tersebut. Sebuah soal persamaan matematika yang rumit, tapi bukan hal baru baginya. Atin menarik napas panjang dan mulai menulis.

"Soal ini mirip kayak soal yang pernah kubahas sama Bu Gracia," batinnya, mencoba menenangkan dirinya. Namun tangan Atin sedikit gemetar saat mulai menghitung. Setiap detik terasa begitu berharga, dan tekanan semakin membesar. Ia melirik lawannya yang terlihat sangat tenang. Anak itu menulis cepat, seolah tak ada sedikitpun keraguan dalam setiap goresan pensilnya.

"Dia kelihatan tenang... apa aku juga bisa secepat itu?" Atin merasa detak jantungnya semakin cepat. Napasnya terasa berat, seperti ada beban yang tak bisa diungkapkan.

"Tidak, Atin! Fokus! Kamu harus percaya diri. Kamu sudah berlatih keras untuk ini!" Monolog itu bergema di pikirannya, mencoba mengusir ketakutan dan kecemasan yang mulai menguasai dirinya. Ia kembali fokus ke soal. Matanya bergerak cepat mengikuti perhitungan yang sudah ia rencanakan. Setiap langkah harus tepat, tak boleh ada kesalahan sedikit pun. Atin tahu bahwa ia tidak punya ruang untuk kesalahan.

Di tengah-tengah hitungan, Atin merasakan ada tatapan tajam dari penonton. Ia tahu beberapa teman dari sekolahnya datang untuk mendukung, termasuk Bu Gracia. Namun, ada yang tidak ada di sana. Indah dan Marsha.

"Ah, kalau aja Kak Marsha bisa ada di sini, dia pasti akan tersenyum lihat aku di babak terakhir ini. Aku harus menang, untuknya."

Perlahan, kecepatan tangan Atin mulai menyesuaikan dengan pikirannya yang kembali fokus. Ia menemukan pola di soal tersebut, dan ia yakin telah menemukan cara untuk menyelesaikannya. Tapi tepat di saat ia hendak menuliskan jawaban terakhir, lawannya berhenti sejenak. Anak laki-laki itu mengangkat tangannya, lalu memperbaiki sesuatu di jawabannya.

"Ini kesempatan!" pikir Atin dengan tiba-tiba. Ia tidak boleh membuang waktu.

Dengan satu tarikan napas panjang, Atin mengisi langkah terakhir dari jawabannya. Tangannya bergetar saat ia meletakkan pensil, menyelesaikan soal lebih dulu. Tapi dia tidak langsung mengangkat tangannya.

"Apakah ini benar? Apa aku salah?" keraguan kecil masih mengganjal, namun ia tahu tak ada waktu untuk ragu lebih lama. Akhirnya, Atin mengangkat tangannya dengan keyakinan penuh.

Seketika, suasana ruang lomba menjadi sangat hening. Pengawas lomba datang dan memeriksa jawaban kedua peserta. Atin duduk diam, merasakan jantungnya berdegup kencang. Waktu terasa bergerak begitu lambat. Semua tergantung pada hasil ini. Ia terus berpikir tentang Marsha, tentang perasaannya yang bersalah, tentang bagaimana ia ingin membuktikan dirinya bukan hanya sebagai adik yang selalu dibandingkan.

"Aku melakukan ini untuk Kak Marsha," bisik Atin dalam hatinya.

Beberapa menit kemudian, pengawas lomba tersenyum. "Jawaban benar," katanya pelan, namun kata-kata itu langsung meledak dalam kepala Atin.

"Aku menang? Aku menang!" Atin menatap ke arah Bu Gracia yang langsung tersenyum dan memberikan tepuk tangan. Perasaan lega yang luar biasa melanda dirinya. Namun, ia tak bisa merasakan kebahagiaan itu sepenuhnya. Pikirannya masih tertuju pada satu orang yang tidak ada di sini.

"Kak Marsha, aku menang," bisik Atin, matanya mulai basah oleh air mata. Dia berharap kakaknya tahu. Dia berharap ini cukup untuk membayar semua rasa bersalahnya.

Saat Atin menerima piagam dan medali kemenangannya, ia menggenggam erat penghargaan itu.

"Ini untuk Kakak," ujarnya pelan, sembari menatap piagam di tangannya. Meskipun hatinya sedikit lega karena menang, ia tahu kemenangannya ini baru akan berarti jika ia bisa memberikannya langsung kepada Marsha.

***

Atin berjalan dengan langkah yang terasa berat, setiap hentakan kakinya membawa beban emosional yang begitu besar. Di tangannya, tergenggam erat piagam dan medali hasil perjuangannya di olimpiade matematika. Hatinya berkecamuk. Rasa bangga karena memenangkan olimpiade bercampur dengan rasa bersalah yang selama ini menghantui pikirannya.

Saat ia memasuki lorong menuju kamar Marsha, kenangan perlahan melintas di benaknya—kemenangan di olimpiade yang terasa begitu sunyi.

(Flashback)

Atin mengingat dengan jelas saat namanya dipanggil sebagai pemenang. Tepuk tangan meriah menggema di aula besar. Teman-teman sesama peserta olimpiade bertepuk tangan, wajah-wajah kagum menatapnya, tapi Atin hanya mampu tersenyum kecil. Tangannya gemetar saat menerima medali dan piagam itu.

Saat berdiri di podium, ada rasa hampa yang tak bisa ia jelaskan. Seharusnya momen itu menjadi momen paling membanggakan dalam hidupnya, tapi tidak ada senyuman bahagia dari Marsha, Indah, atau bahkan Ashel. Mereka tak hadir di sana.

Pikiran Atin hanya dipenuhi oleh wajah Marsha, yang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit. "Aku telah memenangkan ini untuk Kak Marsha," gumamnya saat itu, mencoba menenangkan dirinya, tapi semakin kuat perasaan bahwa kemenangannya tak berarti jika tak bisa membagi kebahagiaan itu dengan keluarganya.

(Flashback End)

Atin menarik napas dalam-dalam saat ia semakin mendekati ruangan Marsha. Hatinya berdebar, dan tangannya mulai gemetar. "Aku harus tunjukkan ini ke Kak Marsha... dia pasti bangga," gumam Atin pada dirinya sendiri, mencoba menenangkan rasa gugupnya.

Namun, ketika Atin hampir sampai di depan pintu kamar, piagam dan medali itu terjatuh dari tangannya, membuat suara yang memecah keheningan. Ia tertegun, tubuhnya kaku. Pandangannya langsung terarah ke dalam ruangan.

Pemandangan di depannya membuat waktu seakan berhenti. Di sana, di ranjang rumah sakit, Indah dan Ashel tengah memeluk tubuh marsha. Atin tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Tubuhnya tiba-tiba dipenuhi perasaan yang campur aduk, dan air mata mulai mengalir tanpa ia sadari.

"Kak...Marsha?"Atin berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Ia langsung berlari masuk kedalam ruangan, mendekati ranjang Marsha dengan perasaan yang sulit iaungkapkan.




Makasih udah baca Bab ini...!!!

Jangan sampai ketinggalan cerita di Bab selanjutnya ya...!!!

Comment aja kak kalau ada alur cerita yang kurang enak, hehehe...

Indah FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang