Bab 28. Seperti Anak Sekolah

121 19 1
                                    

Indah berdiri di dalam lift, tangannya menggenggam tas kain yang berisi makanan yang ia bawa untuk Marsha. Matanya sedikit lelah, namun hatinya jauh lebih tenang setelah mengetahui kondisi Marsha yang sudah membaik. Di depan Indah, tiga orang perawat sedang berdiri, mengenakan masker dengan gaya centil yang tampak jelas dari cara mereka bercanda.

Perawat pertama, seorang perempuan bertubuh mungil dengan poni yang rapi, bersuara paling ceria. Ia tampak tidak bisa diam, menggerakkan tangan dan kakinya sambil terus mengobrol.

"Aduh, serius deh! Kalau dokter Oniel ngajak nikah, aku langsung terima! Eh, tapi aku nggak mau jadi istri kedua, harus yang pertama!" Katanya sambil tertawa kecil, suaranya penuh semangat.

Perawat kedua, Rina, yang lebih tinggi dan anggun dengan rambut panjang diikat rapi, tertawa kecil sambil melirik temannya dengan senyum menahan diri.

"Ya ampun, Fitri, jangan ngarep deh! Kamu tahu kan, dokter Oniel itu cowok idaman sejuta umat. Siapa juga yang nggak mau? Apalagi dia duda, uhh..." Katanya sambil menyilangkan tangan, seolah berusaha tetap terlihat tenang meski dalam hatinya ia setuju dengan perkataan temannya.

Perawat ketiga, yang terlihat lebih kalem dengan kacamata bulat besar dan rambut pendek, hanya tersenyum malu-malu. "Tapi bener sih, dokter Oniel baik banget. Nggak cuma ganteng, tapi juga perhatian."

Indah, meskipun tidak berniat menguping, tak bisa menghindar dari percakapan mereka. Ia sedikit tersenyum mendengar betapa tergila-gilanya mereka pada dokter Oniel. Namun, senyumnya tiba-tiba memudar ketika perawat berkacamata itu berkata, "Kalian tahu nggak, Dokter Oniel kemarin melunasi semua biaya pasien di kamar 377."

Fitri, yang selalu energik, tiba-tiba berhenti bergerak. "Hah? Seriusan, Dina? Bantu lunasin biaya pasien? Siapa? Aku nggak pernah dengar cerita begitu dari dokter lain."

Perawat yang bernama Dina itu mengangguk sambil merapikan kacamatanya yang hampir melorot. "Iya, katanya pasien di kamar 377. Dokter Oniel yang bantu lunasin biayanya. Aku denger dari suster di bagian kasir."

"Pasien kamar 377?" Perawat tinggi anggun yang dipanggil Rina itu mengangkat alisnya, tampak penasaran. "Kalau nggak salah, itu kamar anak yang kecelakaan kemarin, ya? Ya ampun, ternyata baik banget ya dokter Oniel."

Indah merasakan jantungnya berdebar keras. Kamar 377. Itu kamar Marsha. Kepalanya seketika berputar dengan berbagai pikiran. Perasaan terkejut bercampur syukur membanjiri hatinya. Jadi, orang yang melunasi biaya perawatan Marsha... adalah dokter Oniel?

Ia mengingat bagaimana dokter Oniel sebelumnya hanya mengatakan bahwa ada seorang pria yang melunasi biayanya, tanpa menyebutkan siapa. Dan sekarang, setelah mendengar percakapan ini, ia semakin yakin bahwa dokter Oniel yang selama ini sangat perhatian pada keluarganya, adalah orang yang diam-diam membantu mereka.

Indah terdiam, berusaha menahan perasaannya yang campur aduk. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Rasa terima kasih, terkejut, dan haru meluap dalam dirinya. Bagaimana mungkin seseorang yang bahkan tak memiliki kewajiban untuk melakukannya, bersedia membantu mereka di saat-saat sulit?

Fitri kembali dengan candaannya, tapi kali ini dengan nada lebih penuh kekaguman. "Wah, makin ngefans deh aku sama dokter Oniel! Dia nggak cuma ganteng, tapi dermawan banget! Coba bayangin, punya suami kayak dia. Aduh, aku rela deh kalau harus jadi istri kedua!" candanya sambil memeluk diri sendiri, seakan membayangkan kebahagiaan yang berlebihan.

Rina, yang lebih dewasa dan tenang, menggelengkan kepala dengan senyum simpul. "Kamu itu selalu berkhayal yang aneh-aneh. Tapi serius deh, dokter Oniel memang luar biasa. Aku selalu kagum setiap kali dia ngurus pasien dengan tenang dan penuh perhatian."

Dina, yang lebih pendiam namun jelas terkesan, berkata lebih pelan, "Iya, dan kayaknya dia nggak pernah mengharapkan imbalan atau pujian. Semuanya tulus dari hatinya."

Indah berusaha tetap tenang, meskipun hatinya mulai bergetar. Dokter Oniel yang melunasi biaya rumah sakit Marsha? Jadi, orang yang selama ini diam-diam membantu mereka adalah dia?

Lift berbunyi, menandakan mereka telah sampai di lantai tiga. Ketiga perawat itu melanjutkan langkah mereka, masih tenggelam dalam percakapan ringan tentang betapa idealnya dokter Oniel sebagai calon suami, sementara Indah perlahan keluar lift, memikirkan apa yang baru saja ia dengar.

Ia masih terpana dan terkejut. Di tengah-tengah perasaannya yang campur aduk, sebuah ide mulai terlintas di benaknya. Sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada dokter Oniel...

***

Indah berjalan dengan langkah hati-hati, membawa kotak makan berwarna biru di tangannya. Kotak itu terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena isinya, tapi karena harapan dan rasa terima kasih yang begitu besar ia rasakan. Di dalam kotak tersebut, ada telur dadar yang ia buat dengan hati-hati, tumis kacang panjang yang sederhana, dan tempe goreng yang garing—makanan rumah yang biasa, namun penuh makna.

Perasaan Indah bercampur aduk. Ia sangat ingin memberikan kotak makan ini kepada dokter Oniel, sebagai tanda terima kasih yang tulus. Namun, di saat yang sama, ada rasa malu yang menggigit hatinya. "Apa dia akan mengerti maksudku? Apa ini terlalu berlebihan?" pikirnya.

Kotak makan itu bukan sekadar pemberian biasa. Di dalamnya, ia juga menyelipkan secarik kertas kecil yang telah ia tulis semalaman, penuh rasa syukur namun juga kekhawatiran. Di kertas itu, hanya ada kalimat ucapan terima kasih yang sederhana.

Langkah Indah terhenti di depan meja resepsionis. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang semakin kencang. "Aku tidak mungkin memberikannya langsung... Terlalu malu," gumamnya dalam hati.

Senyum kecil muncul di wajahnya yang sedikit memerah saat membayangkan bagaimana reaksinya jika ia harus berhadapan langsung dengan dokter Oniel. Pasti wajahnya akan memerah, dan mungkin kata-katanya akan berantakan.

Indah mendekati resepsionis dengan sedikit gugup. "Maaf, Mbak," ucapnya sambil menaruh kotak makan biru di atas meja, "Bisa tolong berikan ini nanti ke dokter Oniel? Tapi... tolong jangan bilang kalau ini dari saya, ya. Saya... ehm, ingin tetap anonim."

Resepsionis yang ramah, dengan senyum simpul, mengangguk. "Tentu, Bu. Nanti saya sampaikan dengan baik. Jangan khawatir, rahasia ini aman dengan saya."

Indah merasa lega, meski sedikit malu saat mengucapkan permintaannya. Ia tersenyum kaku, lalu mengangguk singkat sebelum buru-buru melangkah pergi, tak ingin berlama-lama di situ.

Saat berjalan kembali menuju kamar Marsha, wajah Indah memerah. Ia tertawa kecil pada dirinya sendiri.

"Kenapa aku jadi begini, ya? Padahal ini hanya tanda terima kasih... Tapi kenapa rasanya seperti anak sekolah yang menulis surat cinta pertama kali?" pikirnya. Perasaan malu bercampur senang dan gugup terus menghantuinya.

Namun, meski dengansegala rasa canggung dan malu, Indah merasa lega. Setidaknya, ia bisamenyampaikan rasa terima kasihnya, meskipun dari kejauhan. Kini tinggalmenunggu reaksi dokter Oniel, meskipun ia tahu—mungkin dokter Oniel takkan pernahtahu siapa pengirimnya.




Makasih udah baca Bab ini...!!!

Jangan sampai ketinggalan cerita di Bab selanjutnya ya...!!!

Comment aja kak kalau ada alur cerita yang kurang enak, hehehe...

Indah FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang