Bagian 1: Perkenalan dan Awal Mula Perjalanan

1.5K 15 0
                                    


Hai namaku Lastri, gadis perawan lugu dari desa. Umurku sekarang 20 tahun. Aku lahir dikeluarga yang bisa dibilang tidak mampu. Hidupku berkecukupan saja dan aku dan keluargaku harus bekerja keras mengolah lahan di desa ini. Walaupun banyak bekerja di ladang, tubuhku tetap mulus dan bisa dibilang kulitku ini putih bersinar. Wajahku juga cantik dengan rambut panjang terurai serta tubuhku yang berisi dan kencang. Aku sering menjadi incaran pria-pria di desa karena kemolekanku ini. Namun, tidak satupun dari mereka yang menarik bagiku. Walau kadang aku tidak bisa memalingkan wajah ketika melihat para pemuda kampung yang gagah, apalagi yang berotot. Otot yang dibentuk dari kerja keras mereka di ladang. Aku sangat menggilai pria berotot. Ingin rasanya bersandar di dada mereka yang bidang, menggandeng otot lengannya yang kencang, memeluk otot perutnya dari belakang, dan menghisap puting besar mereka. Duhhh.. duhhh.. maafkan ya readers, baru awal cerita sudah berpikiran kotor. Tetapi masih bisa kutahan nafsuku dan tetap mempertahankan keperawananku hingga saat ini. Tentu aku tidak mau keperawananku ini direnggut pria yang bukan seleraku. Walau sebenarnya aku sangatlah mudah terangsang dan memiliki libido yang tinggi. Tapi itu semua masih bisa kukendalikan. Tidak tahu nantinya apakah masih bisa kukendalikan atau semakin meletup-letup seperti popcorn. Aku hanya ingin gelarku sebagai perawan ini direnggut oleh pria impianku. Penasaran kan dengan kisahku? Yuk lah mari kita mulai kisahku yang sensual ini.

Singkat cerita, keluargaku ini mengalami krisis ekonomi sehingga mengharuskanku untuk mencari pekerjaan tambahan selain membantu ayah dan ibu di ladang. Karena kebutuhan juga semakin bertambah bersamaan dengan adikku yang mulai masuk SMA. Aku yang hanya lulusan SMK jurusan tata boga ini tentu saja kebingungan. Apa aku bekerja saja di kota, tetapi aku tidak memiliki kenalan di sana. Sampai akhirnya ibu ditelepon oleh kawan lamanya yang tinggal di kota. Jadi kawan lama ibu ini sedang mencari asisten rumah tangga. Oh iya, nama ibu ini Rina. Bu Rina menawarkanku untuk bekerja di rumahnya. Syaratnya adalah aku harus mau tinggal di rumahnya. Gaji yang ditawarkan beliau juga sangat lumayan dan juga sudah dipersiapkan kamar untuk ART, jadi aku tidak perlu memikirkan lagi urusan tempat tinggal. Tentu saja aku tidak bisa menolak, ditengah keadaan ekonomi kami yang memburuk ini.

Akhirnya aku berangkat ke kota yang jaraknya 5 jam perjalanan dari kampung halamanku, untuk memulai pekerjaanku disana. Perjalanan terasa lancar namun hatiku berdegup kencang sedikit gelisah karena ini pertama kali aku meninggalkan rumah sendirian tanpa ditemani ayah maupun ibu. Sebenarnya baru kali pertama kali ini juga aku bertemu langsung dengan Bu Rina dan keluarganya setelah sebelumnya hanya berbincang melalui telepon. Sesampainya disana sekitar sore hari.

Saat tiba di kota, aku langsung disambut oleh hiruk-pikuk jalanan yang ramai dan gedung-gedung tinggi yang menjulang. Rasanya begitu berbeda dari desa yang sunyi. Aku merasa sedikit terasing di sini.

Di depan sebuah rumah sederhana namun rapi, Bu Rina menyambutku dengan senyum hangat. Dia wanita paruh baya yang ramah dan penuh perhatian. "Lastri, kan?" sapanya sambil tersenyum. Aku mengangguk, masih merasa gugup.

"Silakan masuk. Kamu pasti capek, ya, perjalanan jauh," katanya sambil mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Ruang tamu itu terasa nyaman dan bersih, dengan perabotan yang tidak terlalu mewah, tapi terjaga dengan baik.

Kami pun mengobrol banyak tentang perjalananku dan tentang pekerjaanku nanti. Bu Rina tampak baik hati dan tidak banyak menuntut. "Tugasmu disini cukup sederhana, Lastri. Membantu suamiku, Pak Yayan, mengurus rumah. Dia itu guru olahraga di SD, tapi sering sibuk. Aku dan anak kami biasanya hanya pulang ke sini setiap akhir pekan."

Aku mengangguk lagi, mencoba mencatat semua informasi yang diberikan Bu Rina. "Jadi, yang tingga di rumah ini hanya Pak Yayan ya Bu?" tanyaku sedikit bingung.

"Iya, aku dan anakku tinggal di rumah ibu mertua di kampung. Jaraknya lebih dekat ke sekolah tempatku mengajar. Suamiku yang lebih banyak menghabiskan waktu di sini," jelas Bu Rina. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa nyaman, seolah-olah aku bukan hanya pekerjanya, tapi lebih seperti keluarga. Aku merasa lega mendengar semua itu. Meski rumah ini terasa asing, Bu Rina membuatku merasa diterima.

Bu Rina tampaknya setuju jika aku bekerja di rumah suaminya itu. Setelah beberapa saat berbincang, aku mendengar pintu depan terbuka. Langkah kaki yang berat terdengar mendekat ke ruang tamu. Jantungku berdetak lebih cepat, dan hatiku berdebar aneh saat sosok pria masuk ke dalam ruangan. Tinggi, kekar, dengan kumis tipis diatas bibirnya yang tegas. Oh Tuhan, siapa dia? Benar-benar tampan dan seksi. Aku menahan napas. Sangat cocok dengan tipeku. Dia pun menoleh ke arahku dan bertanya ke Bu Rina.

"Rin, siapa dia? Pembantu buatku yang baru ya?"

"Iya, Mas. Aku bingung cari-cari, eh akhirnya ketemu juga," kata Bu Rina.

"Lastri, perkenalkan ini suamiku, Yayan."

Mataku langsung terpaku pada sosoknya. Pak Yayan, suami Bu Rina, benar-benar pria yang tampan dan sangat berotot. Aku yakin karena ia adalah seorang guru olahraga. Pantas saja ia menjaga bentuk tubuhnya itu. Walaupun usianya mungkin sudah menginjak usia 40-an, namun wajahnya masih sangat tampan dan tubuhnya terlihat sangat kencang dan berotot.

Aku tersenyum kaku dan merasa canggung. "Lastri, Pak. Senang bisa bekerja di sini," ucapku dengan suara bergetar.

Pak Yayan hanya mengangguk singkat, lalu menjulurkan tangannya. "Selamat datang di rumah kami, Lastri."

Aku pun menyambut uluran tangannya. Saat kulitku bersentuhan dengan tangannya yang kuat dan kasar, jantungku berdegup lebih kencang. Tangan itu besar, kekar, dan penuh tenaga. Rasanya ada percikan aneh yang mengalir melalui telapak tanganku saat kami bersalaman.

Aku tak bisa menahan pandangan mataku dari tubuhnya yang bermandikan keringat. Dia sepertinya baru saja selesai berolahraga. Kaos dry fit ketatnya menonjolkan otot-otot dadanya yang bidang, di bagian perut nampak menjiplak perutnya yang sixpack, dan celana pendek yang dikenakannya memperlihatkan betis yang keras seperti batu. Dan yang tak kalah penting, tonjolan di celananya itu juga nampak besar walaupun dalam keadaan tidur. Aroma keringatnya yang maskulin membuat pikiranku melayang entah ke mana. Perasaanku mulai tidak karuan.

"Semoga kamu betah ya di sini," katanya sambil tersenyum tipis, lalu berlalu ke arah dapur.

Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang lebar itu dengan hati berdebar. Otot-otot di punggung dan lengannya terlihat jelas setiap kali dia bergerak. Oh Tuhan... apakah aku akan kuat bekerja di rumah ini, dengan pria seperti dia? Namun, aku harus ingat bahwa aku di sini untuk bekerja, bukan untuk jatuh cinta. Tapi, bisakah aku menahan perasaan yang mulai tumbuh dalam hati ini?

Bu Rina tersenyum ke arahku dan kembali memulai obrolan. "Tenang saja, Lastri. Mas Yayan orangnya baik kok. Kamu akan nyaman kerja di sini." Kata-katanya terdengar tulus, namun sejujurnya, yang lebih membuatku nyaman bukan kata-katanya, melainkan kehadiran Pak Yayan.

Setelah berbicara beberapa saat, Bu Rina menunjukkan kamar di mana aku akan tinggal. Kamar yang akan kutinggali letaknya di ujung belakang berdekatan dengan dapur dan halaman belakang. Kamarnya tidak besar, tapi cukup nyaman. Ada lemari kecil di sudut ruangan dan tempat tidur sederhana. "Ini kamarmu, Lastri. Semoga nyaman, ya, maaf kalau seadanya. Selamat istirahat." katanya dengan senyum.

"Terima kasih, Bu Rina, ini sudah lebih dari cukup kok." jawabku sambil mengangguk.

"Oiya Lastri, malam ini juga saya tinggal ke rumah ibu saya ya, karena besok harus mengajar pagi. Besok kamu bisa mulai bekerja. Jangan lupa siapkan sarapan buat suami saya ya, kamu bisa tanya ke dia mau sarapan apa besok pagi." lanjut Bu Rina menjelaskan.

"Baik bu, sekali lagi terima kasih banyak." jawab Lastri cukup terkejut dan tegang mengetahui bahwa dia akan ditinggal sendiri bersama Pak Yayan.

"Baik, kalau begitu saya pamit ya sekalian. Saya percaya sama kamu." lanjut Bu Rina meyakinkan Lastri sambil berpamitan.

Lastri pun menghantar keberangkatan Bu Rina sampai ke depan. Disana Pak Yayan sudah siap di atas motor CBR150R miliknya, membuat tampilannya semakin gagah. Setelah pertemuan tadi, sepertinya Pak Yayan langsung mandi dan bersiap untuk mengantar Bu Rina. Tampilannya kali ini sangat macho dengan helm full face, celana jeans ketat, serta jaket kulit yang menambah ketampanannya.

Setelah mereka pergi, aku langsung kembali lagi ke kamarku. Ketika aku menutup pintu kamar, tubuhku melemas. Aku merebahkan diri di atas tempat tidur, menarik napas panjang. Perasaanku campur aduk, antara kegelisahan dan keinginan yang tak bisa kugambarkan. Tubuhku berkeringat meski udara di kamar terasa sejuk. Pak Yayan... Ah, kenapa aku terus-terusan memikirkan dia? Karena lelah dan mengantuk, aku langsung terlelap.

bersambung...

Majikanku SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang