Saat ini aku sudah berada di rumah, tepatnya di dalam kamar. Aku rebahkan tubuhku di atas ranjang, meski rasanya mataku susah terpejam.
Jiwa dan ragaku begitu lelah, terasa ada beban yang menumpuk di pundakku, apalagi saat mengingat wajah paklik dan bulik yang terlihat kecewa mendengar jawabanku, karena aku mengiyakan menerima lamaran Gus Ibrahim.
Aku bingung harus berbuat apa, apakah harus lari dari kenyataan dan meninggalkan ibu, ataukah harus bertahan dengan mengikuti keputusan ibu.
Apapun alasannya aku adalah anak pertama di rumah ini, yang seharusnya membantu ibu meringankan beban dan tanggung jawabnya.
Demi kami bertiga ibu tidak menikah lagi, demi kami bertiga ibu tidak pernah memikirkan kebahagiaannya sendiri. Dan jika saat ini dia terlilit hutang yang begitu besar, itu pun untuk membiayai kehidupan kami.
Ibu tidak memiliki ketrampilan apa pun saat ditinggalkan ayah pergi, toko kelontong di pasar, itulah satu-satunya warisan ayah.
Setelah masa Iddahnya usai, ibu mulai belajar mandiri, meneruskan usaha ayah berjualan, dengan keterampilan berdagang yang masih amatiran.
Sembari mengasuh kami bertiga, ibu menjalankan usahanya itu.
Aku ingat ibu mengantarku ke sekolah dengan membawa dua adikku yang masih balita, dan setelah itu ibu membawa serta dua adikku berjualan di pasar.
Mengingat semua itu, akankah aku meninggalkan ibu, membiarkan dia menanggung sendiri masalah yang dia hadapi.
Aku mengusap air mataku yang tiba-tiba mengalir deras. Berat rasanya berada dalam dilema ini, karena dengan keputusanku membantu ibu, akan banyak hati yang tersakiti.
Bude Siti, Mbak Zahra, dan keluarga besarku. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa menyerahkan takdirku pada yang Maha Kuasa.
***
'Dreeeeeet!'
Tiba-tiba ku lihat handphone di meja belajarku bergetar. Segera aku bangun dari tempat tidur dan meraihnya. Kusentuh layarnya sembari menerima telepon yang aku lihat dari ustadzahku saat di pesantren.
"Assalamualaikum Ustadzah Hafsah?" sapaku dalam telepon.
"Waalaikum salam," jawabnya. "Bagaimana kabar kamu Alifah?"
"Alhamdulillah, sehat Ustadzah."
"Alifah, maaf mengganggu kamu malam-malam begini. Ustadzah hanya ingin menyampaikan salam dari salah satu ustadz di pesantren, yang berniat untuk mengkhitbahmu."
Aku terpaku sesaat mendengar Ustadzah Hafsah berbicara.
"Ustadz siapa, Ustadzah?" tanyaku kemudian.
"Ustadz Mirza."
Seketika aku bergeming.
"Insya Allah, dua minggu lagi keluarga Ustadz Mirza akan ke rumahmu, untuk mengkhitbahmu," katanya kemudian.
Setelah mengatakan hal itu padaku, Ustadzah Hafsah mengakhiri percakapannya dengan beruluk salam.
Aku masih terdiam, tertegun, dan masih tidak percaya dengan kabar yang baru saja aku dengar.
Perlahan aku letakkan handphoneku di meja, dan kembali duduk di ranjang yang ada di sebelahnya.
***
Ustadz Mirza, dia adalah ustadz muda di pesantren. Beliau pernah menjadi pembimbingku di kelas pidato bahasa Arab, salah satu program kegiatan di pesantren yang harus diikuti oleh semua santri.
Aku masih tidak percaya Ustadz Mirza akan melamarku, apalagi yang aku tahu, lebih dari enam bulan yang lalu dia sudah keluar dari pesantren, untuk melanjutkan pendidikan agamanya di Sudan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu
RomanceAlifa gadis yang baru lulus SMA ini tidak bisa menolak keputusan ibunya untuk menikah dengan seorang juragan kaya raya