Bab 3 (Hari Pernikahan)

27 5 0
                                    

Sore ini aku dan ibu diundang untuk datang diacara pengajian keluarga, yang diselenggarakan di rumah Paklik Gufron.

"Bu, aku nggak usah ikut ya," kataku pada ibu.

"Kenapa? Ayo ikut, temani ibu!" sahut ibu.

Sebenarnya aku enggan untuk bertemu dengan keluarga besarku, karena pasti kabar lamaran Gus Ibrahim untukku sudah terdengar di telinga mereka semua, rasanya aku tidak sanggup menghadapi gunjingan atau komentar yang akan mereka tujukan padaku.

Aku mengurung diri di dalam kamar, berharap ibu mengurungkan niat untuk mengajakku pergi.

"Alifah! Ayo cepat!"

Kudengar beberapa menit kemudian ibu memanggil. Wanita itu bersikeras agar aku ikut bersamanya.

Dengan berat hati, akhirnya aku pun mengikuti keinginannya.

***

Kini aku sudah sampai di rumah paklik Gufron. Sudah banyak saudaraku yang datang, entah kenapa aku merasa seolah semua mata tertuju padaku.

Ah! Aku tepis perasaan itu, karena aku yakin semua hanya pikiranku yang terlalu terbawa rasa saja.

Saat hendak duduk di kursi yang sudah ditata di tenda halaman rumah psklik, kulihat Mbak Zahra sepupuku, yang tidak lain adalah istri dari Gus Ibrahim melangkah masuk ke tempat ini. Sepertinya dia baru datang, dan aku pun segera menyapanya saat dia lewat di depanku.

"Mbak Zahra!" sapaku sembari meraih tangannya untuk bersalaman.

"Mbak Zahra sendirian?" lanjutku dengan bertanya.

"Iya aku sendirian, kenapa? Kamu mau ketemu suamiku?" tanya Mbak Zahra dengan wajah datar seraya meninggalkanku dengan tak acuh.

Aku benar-benar terluka dengan sikap mbak Zahra, tapi aku berpikir mungkin hati Mbak Zahra jauh lebih terluka dari pada hatiku.

Sejujurnya aku merasa tidak nyaman berada di tempat ini, akhirnya aku masuk ke dalam rumah paklik menuju kamar Mbah Ibu, nenekku yang sudah sepuh dan tidak lagi mampu untuk berjalan.

***

"Ma Sha Allah, pulang dari pesantren kok ya, malah merebut suami orang, ilmunya nggak barokah mungkin, ya?"

"Padahal lho cantik, kan bisa toh, cari suami yang bukan suami orang?"

Samar-samar aku mendengar percakapan beberapa orang di dapur Paklik Gufron. Dapur yang terletak tidak jauh dari kamar Mbah Ibu.

Mungkin saat ini mereka membicarakan diriku. Tentang kabar rencana pernikahanku dengan Gus Ibrahim, sungguh aku sangat sedih memikirkannya, tapi apa yang bisa aku lakukan, lari dari kenyataan meninggalkan ibu, atau tetap bertahan melewatinya.

"Kenapa menangis?" tanya Mbah Ibu saat melihatku meneteskan air mata.

Aku yang saat itu duduk di sisi ranjang Mbah Ibu segera menyeka air mataku.

"Aku rindu nyantri Mbah, aku ingin kembali ke pesantren," jawabku sembari tersenyum dan segera memijit kaki Mbah Ibu.

***

Satu jam, dua jam, hingga tiga jam, aku berada di kamar Mbah Ibu, hingga acara pengajian keluarga itu selesai.

Aku sengaja berdiam diri di dalam kamar Mbah Ibu, karena tidak sanggup rasanya jika aku harus bertemu dengan keluarga besarku, khususnya dengan keluarga Bude Siti, dan saudara-saudara kandung mbak Zahra, karena pasti mereka akan memandangku dengan tatapan hina.

********

Saat ini aku berada di dalam angkutan umum untuk pulang ke rumah.

"Ibu heran, kenapa paklikmu itu tidak mau mengumumkan kepada sanak saudara tentang rencana pernikahanmu dengan Gus Ibrahim. Padahal, ibu 'kan ingin acara pernikahanmu dihadiri oleh semua keluarga," kata ibu di sela perjalanan.

Menjadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang