Bab 9 (Penjelasan Alifah)

55 6 0
                                    

Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.

Belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.

Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.

Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di tepi ranjang kamarku.

"Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum.

"Baik," jawabku singkat seraya duduk di sisinya.

"Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya.

"Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku.

"Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"

Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh selidik.

"Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku.

"Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan dahinya.

"Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus Ibrahim dengan sedikit menekan suaranya.

"Maaf!" sahutku dengan menunduk.

Aku sadar aku salah, Gus Ibrahim adalah suamiku meski sampai saat ini dia belum pernah menyentuhku, tapi memang seharusnya aku meminta ijin padanya dalam setiap kegiatan yang aku lakukan.

"Selama ini aku percaya padamu, aku memberikan kebebasan penuh padamu, tapi jika kamu bertindak diluar batas, dan menghianati kepercayaanku, aku tidak segan-segan akan memberi kamu pelajaran!" ancam Gus Ibrahim dengan suara datar.

Setelah mengatakan hal itu, kulihat dia beranjak dari tempat duduknya.

"Maksud Gus Ibrahim apa berkata seperti itu?" tanyaku menghentikan langkah laki-laki yang hendak keluar dari kamarku itu.

Dia bergeming, tangannya meremas kuat handphone yang saat itu sedang dia genggam.

Perlahan aku melangkah, kuberanikan diri berdiri dihadapannya.

Kulirik ponsel yang ada di tangannya, kulihat samar-samar fotoku di layar ponsel itu.

"Siapa laki-laki yang makan malam bersamamu ini? Dosen yang kamu bilang tadi itu?" tanyanya dengan mengangkat handphone itu dan menunjukkannya di hadapanku.

"Astaghfirullah hal adzim," gumamku lirih.

Aku lihat dalam foto itu aku duduk berhadapan dengan suami dosen statistikku Ibu Sintia.

Aku menjadi heran siapa yang mengambil gambarku, gambar itu sepertinya diambil saat Bu Sintia dan Hany sedang di kamar mandi, karena di dalam gambar itu hanya ada aku dan suami Bu Sintia saja.

"Aku tidak tahu dari mana Gus Ibrahim mendapatkan gambar itu. Tapi demi Allah ini adalah suami Bu Sintia dosen yang mengajakku makan malam," jelasku pada Gus Ibrahim.

"Gambar itu diambil oleh seseorang saat Bu Sintia dan putrinya tengah berada di kamar mandi, dan demi Allah Gus, aku tidak sedang berduaan dengan laki-laki itu!" jelasku lagi.

Segera kuambil handphoneku yang aku letakkan di meja, dan kemudian aku tunjukkan kepada Gus Ibrahim gambar ibu Sintia dan keluarganya yang aku abadikan tadi malam.

"Ini lihat Gus! Ada Bu Sintia, Hany, dan suaminya di foto ini, foto dengan pakaian yang sama, dan di tempat yang sama, kan?" tanyaku dengan menatap Gus Ibrahim.

Gus Ibrahim terlihat mengernyitkan dahi.

"Untuk apa kamu makan malam dengan mereka?" tanyanya kemudian.

"Hany, putri Bu Sintia adalah murid les ku, tadi malam dia ulang tahun, karena itu Bu Sintia dan suaminya mengajak aku makan malam bersama," jelasku.

"Demi Allah! Aku tidak pernah bertindak diluar batas dan menghianati kepercayaan Gus Ibrahim!" kataku dengan menatap Gus Ibrahim.

Gus Ibrahim tersenyum tipis.

"Kamu menjadi guru les?"

"Mmm, maaf! Aku tidak pernah minta izin pada Gus Ibrahim soal ini."

Aku mulai menundukkan kepalaku.

"Selama ini, setiap pulang dari kuliah, aku menjadi guru les private dari rumah ke rumah, karena itu aku selalu pulang malam," jelasku lagi.

Gus Ibrahim menghela napas panjang.

"Aku bisa mencukupi semua kebutuhanmu, jadi tidak perlu kerja keras seperti itu," katanya kemudian.

"Tidak, aku ingin segera melunasi hutang-hutang ibu," sahutku seraya mengambil tas yang ada di mejaku.

Aku keluarkan buku tabungan dan ATM dari Gus Ibrahim yang ada di dalam tas itu.

"Uang dari Gus Ibrahim masih utuh di sini, aku bisa membiayai kuliahku sendiri, aku ingin segera melunasi hutang-hutang ibu. Aku ingin segera keluar dari rumah ini agar aku tidak lagi menyakiti hati Mbak Zahra. Aku berjanji aku akan membayar semua hutang ibu, Gus!" kataku dengan menyerahkan buku tabungan itu ke tangan Gus Ibrahim.

Gus Ibrahim tersenyum seraya mendorong tanganku.

"Gus Ibrahim, aku baru saja mendapatkan kabar, kalau aku terjaring beasiswa mahasiswi prestasi di kampus, jadi Gus Ibrahim tidak perlu lagi membiayai kuliahku. Aku berjanji akan bekerja keras dan mengabdi di rumah ini sampai hutang ibuku lunas!" kataku padanya dengan penuh pengharapan.

Gus Ibrahim tampak tersenyum tipis tanpa menjawab kata-kataku.

"Jika hutangku sudah lunas, Gus Ibrahim bisa mengembalikan aku pada ibuku!" kataku lagi.

Gus Ibrahim terlihat mengatur napas, sembari kemudian tersenyum dan pergi meninggalkan kamarku.

Sungguh sikap Gus Ibrahim membuat hatiku menjadi tidak mengerti bagaimana sebenarnya perasaan Gus Ibrahim padaku, dia begitu baik, dia tidak pernah memaksaku, namun dia tidak pernah memberikan jawaban saat aku mengatakan ingin segera melunasi hutang dan pulang ke rumah orang tuaku.

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menjadi MaduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang