Bab 1

466 9 0
                                    

Hari itu di SMA Bintang Terang terasa seperti hari biasanya. Tapi buat Elara Nindra, rasanya ada yang beda. Dia duduk di bangkunya, menatap jendela dengan penuh harapan. Hatinya berdebar-debar setiap kali melihat Darian Azhari, teman sekelasnya yang selalu bisa bikin dia senyum dengan senyuman manisnya.

"Ah, Darian..." Elara menggumam, matanya mengikuti setiap gerakan Darian yang lagi ngobrol sama teman-teman. Dia pengen banget bisa bilang perasaannya, tapi mulutnya terasa berat. "Gimana ya caranya?"

"Eh, Elara!" sahabatnya, Mira, tiba-tiba menyela. "Lagi lihat siapa sih? Jangan-jangan si Darian lagi?"

Elara langsung tersipu dan berusaha nyembunyikan wajahnya yang merah. "Nggak kok, Mira. Aku cuma... mikir."

Mira mengedipkan mata, senyum lebar di wajahnya. "Mikir tentang cara bilang cinta? Atau mimpiin dia semalem?"

"Aduh, apaan sih Mir!" Elara menutupi wajahnya dengan tangan.

"Aku cuma bingung. Apa dia juga merasakan yang sama, ya?"

"Duh, Elara, kenapa nggak tanya langsung? Hidup ini terlalu singkat buat nunggu!" Mira bersikeras, dorong Elara buat berani.

Elara menggigit bibir bawahnya. "Tapi, Mira... gimana kalau dia nggak ngerasa yang sama? Aku nggak mau kehilangan persahabatan kita."

"Kalau dia beneran temenmu, dia pasti ngerti! Dan kalau dia nggak suka, ya udah, bukan akhir dunia, kan?" Mira mencoba memberi semangat.

Elara menghela napas panjang. "Mungkin kamu bener, tapi rasa takut ini bikin aku terjebak. Aku nggak mau jadi awkward."

"Eh, lihat deh!" Mira tiba-tiba menunjuk ke arah Darian dan Fira, gadis cantik dan populer di sekolah. "Mereka kelihatan dekat, ya?"

Melihat Darian tertawa lepas dengan Fira bikin hati Elara terhimpit. "Iya, mereka dekat. Dia pasti lebih milih Fira daripada aku," Elara mengeluh, menunduk.

"Eh, jangan bilang gitu! Kamu itu spesial, Elara. Setiap orang punya pandangan sendiri tentang cinta. Kamu harus percaya diri!" Mira berusaha menguatkan.

Setelah pelajaran selesai, Elara memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia butuh waktu sendiri untuk merenungkan semua ini. Di perpustakaan yang sepi, dia menemukan sudut favoritnya, tempat di mana dia bisa membaca tanpa gangguan. Dia ambil buku tua yang berdebu dari rak.

"Buku ini... mungkin bisa mengalihkan pikiranku," bisiknya sambil duduk di sudut.

Buku itu bercerita tentang seseorang yang bisa berpindah ke dunia lain untuk menemukan jati diri dan cinta sejatinya. Elara terpesona. "Kalau saja aku bisa melakukan itu..." pikirnya, membayangkan kehidupan yang berbeda.

***

Malam itu, setelah pulang ke rumah, Elara masih memikirkan buku itu. Dia duduk di ranjangnya, menatap bintang-bintang di luar jendela. "Bagaimana kalau aku bisa jadi orang lain? Apa aku bisa menemukan keberanian untuk mencintai?" Dia terbenam dalam khayalannya.

Ketika malam semakin larut, rasa kantuk menyerangnya, dan Elara pun terlelap. Tanpa dia sadari, keinginannya untuk melarikan diri mulai terbawa ke alam mimpi.

Tiba-tiba, semuanya gelap. Elara merasa pusing, seakan ada angin kencang yang menerpanya. "Apa ini?" Dia merasa tubuhnya melayang, dan sebelum dia tahu, segalanya menjadi kosong.

Ketika Elara membuka mata, dia nggak lagi di kamarnya. Dia terbangun di tempat asing dengan dinding berkilau dan cahanya remang-remang di sekelilingnya. "Apa ini? Di mana aku?" gumamnya bingung.

Dibawah cahaya remang-remang itu, Elara bisa merasakan ada seseorang di atasnya. Ya, posisinya sekarang dia lagi rebahan di kasur yang entah punya siapa. Dan pria itu..tunggu! Pria????!!!

"AKHHHH SIAPA KAMUU?!!"

DUKKK

Elara menendang pria itu keras, sampai pria itu terjatuh dari ranjang.

"Aduhh! Kenapa kamu tendang saya?!" Pria itu terkejut saat merasakan tendangan keras Elara, dia terlihat sangat bingung. Sambil berdiri pria itu terus mengusap bokongnya yang terasa sakit. Pria itu shirtless, tanpa baju dan berdiri di depannya dengan ekspresi marah. Tubuhnya berotot dan Elara langsung terkejut, menutup matanya sejenak. "Aduh, kenapa dia nggak pakai baju?" pikirnya, wajahnya memerah.

"Kenapa kamu disinii!? Dan kemana bajumu ituuu huhh." Tanya Elara, kali ini ia memalingkan wajahnya ke samping.

"Ada apa denganmu Lyra?"

"Lyra? Maksudmu aku Lyra..?" Jawabnya berbisik. Elara tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa orang ini memanggilnya dengan nama Lyra?

"Menurutmu? Manusia di sini selain saya hanya kamu. Tentu saja kamu yang saya maksud, dasar gadis aneh." Elara mendelik kesal, tak terima saat dirinya dikatai aneh oleh pria di depannya. Apakah dia mengalami transmigrasi seperti di buku yang ia baca sebelumnya?

Cepat-cepat Elara mencari cermin di kamar itu dan menemukannya di samping nakas, tepatnya cermin di meja rias. Saat melihat cermin di depan, dia terkejut melihat wajahnya. Itu wajah yang familiar, tapi berbeda.

"Aku... Lyra?" bisiknya. Dia nggak mengerti apa yang terjadi, tapi satu hal jelas bahwa dia sudah masuk ke dunia baru. Elara bingung, berusaha memahami situasinya. "Oke, ini kayak mimpi. Tapi mimpi apa ini?" Dia mengusap wajahnya, memastikan ini bukan ilusi. "Harusnya aku di rumah, bukan di sini."

Tiba-tiba suara lembut memanggilnya, "Hei, kamu baik-baik saja?"

Elara mengabaikan pertanyaan itu, siapa yang akan baik-baik saja setelah mendapati dirinya di tempat asing seperti ini. Ia kembali meneliti wajah barunya yang cantik. Matanya yang besar dan cerah kini berkilau dengan warna hijau zamrud yang memikat, berbeda dari warna cokelatnya yang biasa. Dia menyisir rambut panjangnya yang berwarna perak dengan jari-jarinya, merasakan tekstur lembut yang mengalir seperti sutra.

"Wow, siapa sih ini?" Elara bergumam pada diri sendiri, terkesima dengan perubahannya. Dia memperhatikan betapa luwesnya gerakannya saat ia berputar, rambut panjangnya yang berwarna coklat mengalir mengikuti gerakan tubuhnya. Dia merasakan kepercayaan diri yang baru muncul.

Kaki yang panjang dan rampingnya memberi kesan seimbang, sementara pinggangnya yang ramping melengkapi siluet feminin yang menawan. "Keren juga ya," pikirnya, meski ada rasa tidak nyaman yang menggelitik di dalam hatinya.

"Wowww, besar banget" Ukuran p*yud*r*nya pun jauh lebih besar dan kenyal daripada miliknya dulu. Elara berdecak kagum, tah henti memuji bentuk dua gunung kembarnya, dia mahkan meremas keduanya pelan merasakan kenyalnya benda itu. Tunggu dulu! Elera lupa, dia nggak sendiri di kamar ini. Seketika tubuhnya membeku saat menyadari bahwa pria itu melihat apa yang ia lakukan dari tadi.

Baca cepet langsung ke karyakarsa

Transmigrasi Elara (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang