06

40 22 15
                                        

“Lalu kenapa dia bersikap seperti itu? Dia bahkan rela pergi sejauh ini untuk mendapat perhatian Nuna.”

Min-Ho banyak mempertimbangkan informasi yang dia dapat dengan melihat sikap yang ditunjukkan Jae Sung padanya.

Min-Ho mengambil ponsel dan menekan salah satu kontak di sana yang diberi nama Kim Jae Sung. Dia mendapatkannya dari chat group.

“Besok, kami akan pergi berkeliling kota. Tuan bisa datang dan bergabung,” tulisnya.

[Benarkah? Baiklah aku akan datang.]

[Jangan memanggilku seperti itu.
Aku merasa sangat tua saat membacanya.
Kau bisa memanggilku ‘Hyeong’.
Karena kau lebih muda dariku.
Sampai besok.]

“Baiklah.”

Siapa sangka Jae Sung membalas pesan tersebut hanya dalam hitungan detik. Hal itu berhasil menarik senyum di bibir Min-Ho.

“Maaf Nuna, aku tidak tahu ini benar atau tidak. Tapi, jangan khawatir aku akan bertanggung jawab dan memastikan kau baik-baik saja,” gumamnya.

Min-Ho memegang kata-katanya. Dia terus memantau dan mengikuti kemanapun mobil Jae Sung pergi. Untuk pertama kalinya, dia memberi ruang pada seseorang untuk mendekati Lucy. Namun anehnya, Min-Ho tidak merasa khawatir. Sebaliknya, justru hatinya dipenuhi rasa senang saat ini.

Sementara itu, orang yang diikutinya merasakan hal yang tidak selaras. Jae Sung menampilkan wajah cerah karena suasana hati yang begitu baik.

Sedangkan Lucy justru merasa kesal dan bad mood. Dia tidak menduga akan terjebak dalam keadaan seperti ini.

Lucy mengalihkan pandangannya dari jendela. Dia menatap pria di sampingnya yang sedang fokus menyetir sambil senyum-senyum sendiri.

Jae Sung melirik dari sudut matanya. Dia bisa melihat Lucy dengan tatapan intens-nya. Antara kesal dan penasaran, keduanya tergambar dari raut wajahnya.

“Jangan menatapku begitu. Kau membuatku takut!” ucap Jae Sung karena terus ditatap.

“Benarkah? Sikap dan kata-katamu tidak sejalan. Jika kau takut, untuk apa membawaku ke sampingmu seperti ini?” Lucy terus menatapnya sambil bersandar dan melipat kedua tangannya.

“Karena aku menginginkannya. Aku ingin kau terus di dekatku,” jawab Jae Sung tersenyum dan masih fokus menyetir.

“Kenapa?” tanya Lucy tanpa mengubah ekspresi wajahnya seakan pernyataan Jae Sung bukanlah hal yang mengejutkan.

Alih-alih menjawab, Jae Sung justru mempercepat laju mobilnya. Lucy juga mengalihkan pandangannya ke kaca jendela lagi. Dia terus memperhatikan jalanan dengan sesuatu yang terus bergejolak dalam hatinya.

Sementara itu, Min-Ho masih setia mengikuti mereka sambil menghubungi seseorang. Dia menunjukkan wajah yang begitu senang memamerkan semua rencananya pada orang di seberang sana.

[Kau benar-benar gila!]

Seorang pria di sana hanya menggelengkan kepala mendengar semua yang telah dilakukan Min-Ho terhadap Lucy.

“Aku tidak pergi tanpa persiapan. Kau tahu Kai, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang, iya kan?” jawab Min-Ho tersenyum bangga.

[Tapi kau benar-benar gila sekaligus nekat.
Jika Nuna tahu, dia pasti akan membunuhmu.]

“Ya jangan sampai dia tahu.”

Keduanya tertawa karena kegilaan masing-masing. Min-Ho membagi titik lokasi pada Kai untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.

Mobil Jae Sung terus melaju hingga pemandangan di luar mobil berubah signifikan. Gedung-gedung tinggi tidak lagi terlihat, berganti dengan pohon-pohon tinggi dan pemandangan danau di samping jalan yang cukup memanjakan mata.

Mereka terus melaju hingga berhenti di sebuah bangunan bernuansa putih hitam yang cukup sederhana namun tampak memukau.

“Ayo keluar!” ajak Jae Sung membuka sabuk pengamannya.

“Tunggu, kita dimana?” tanya Lucy sedikit terkejut.

“Ini villa milikku. Ketika sedang jenuh atau butuh suasana yang tenang, aku akan pergi ke sini. Di sini sangat nyaman, kau pasti suka. Ayo!”

Jae Sung langsung keluar. Dia berlari mengitari mobil lalu membukakan pintu untuk Lucy yang masih duduk diam memperhatikan pemandangan di sekitarnya.

Wanita itu menatap Jae Sung sejenak sebelum akhirnya keluar dengan perasaan sedikit khawatir dan tidak nyaman.

Lucy mengedarkan pandangannya memperhatikan sekitar dan perasaannya sedikit membaik ketika menangkap objek yang dia cari sebenarnya, yaitu mobil Min-Ho.

Ketika beradu pandangan, Min-Ho menurunkan sedikit kaca mobilnya dan tersenyum, “Fighting!” ucapnya tanpa suara dan hanya memberi gestur tangan yang dikepalkan di samping wajahnya.

“Ayo!”

Jae Sung menggenggam tangan Lucy dan menuntunnya pergi ke suatu tempat. Langkah mereka berhenti di pagar pembatas yang langsung berhadapan dengan danau.

Tempat mereka dikelilingi bukit dan pohon-pohon tinggi dengan warna hijau yang memanjakan mata. Suara burung dan dedaunan yang bergesekan karena angin, menjadi relaksasi tersendiri bagi siapapun yang mendengarnya.

Bak terhipnotis, Lucy mendekat memegang pagar sambil tersenyum. Tatapannya begitu lembut dan teduh karena pemandangan yang dilihatnya.

Sangat menenangkan!

Itulah hal pertama yang muncul di pikirannya. Jae Sung berdiri di samping Lucy memperhatikan wajah wanita itu.

Begitu tenang!

“Kau suka?” tanya Jae Sung tak melepaskan tatapannya.

“Di sini sangat indah dan menenangkan,” jawab Lucy tak berbohong.

“Lihat. Aku tidak bohong, ‘kan? Di sini kau bisa mulai bekerja dengan pikiran tenang dan nyaman,” jelas Jae Sung.

Lucy menoleh menatap Jae Sung, “Kenapa membawaku kemari?”

“Ingin saja. Tidak ada alasan khusus.” Jae Sung juga menatap lembut wanita di sampingnya itu.

Lucy mengerutkan kening dan menatap penuh selidik. Alih-alih menjelaskan, Jae Sung justru memegang puncak kepala Lucy dan mengusapnya lembut.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan menyakitimu!” ucapnya.

“Manfaatkan waktumu dengan baik. Suasana ini bisa mendatangkan banyak inspirasi agar kau bisa menulis cerita yang bagus. Aku akan kembali membawakan cemilan.”

Jae Sung melangkah pergi menuju mobilnya untuk mengambil sesuatu yang telah dia siapkan. Sedangkan Lucy masih terpaku di tempatnya.

Banyak hal yang bermunculan di kepalanya. Gejolak untuk percaya dan pemikiran yang berusaha menyangkal terus beradu dalam hatinya.

Keberadaan keduanya tidak terasa seperti kebetulan. Mungkin pertemuan pertama bisa dikatakan begitu, namun kedua kali hingga sapaan kecil yang terjadi beberapa hari setelahnya, apa masih bisa dikatakan kebetulan?

Takdir semesta!

Mungkin pantas dikatakan seperti itu, tapi untuk apa? Kenapa mereka harus bertemu seperti ini? Terlebih lagi di waktu yang ‘seperti ini’?

Lucy menghela napas dan kembali menatap pemandangan di depannya. Dia mulai mengeluarkan kamera handphone untuk menangkap beberapa gambar.

Lucy-Renne [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang