BAB 1 : Jepretan maut

2 0 0
                                    

Sore itu, langit Jakarta sangat cerah. Ian, seorang fotografer berusia 28 tahun, baru saja menyelesaikan sesi foto pernikahan temannya di sebuah gedung mewah di daerah SCBD. Ia duduk santai di lobi hotel, memeriksa hasil jepretannya pada kamera DSLR canggih yang ia beli dengan tabungan setahunnya.

"Hmm, not bad lah," gumam Ian sambil tersenyum. Jemarinya dengan lincah menggeser foto-foto di layar kamera.

Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang ganjil di salah satu foto. Ian mengerutkan dahi, lalu memperbesar gambar tersebut.

"Anjir, apaan tuh?" Ian bergumam pelan. Ada bayangan samar di belakang Rani, sang pengantin wanita. Bayangannya menyerupai sosok manusia, namun fotonya buram . "Perasaan tadi kagak ada deh. Apa gue salah liat ya?"

Ian mengucek matanya, berharap bayangan itu hanya halusinasi akibat kelelahan. Namun ketika ia melihat kembali, bayangan itu masih ada.

"Gue harus mastiin nih," kata Ian sambil bangkit dari kursinya.

Dengan langkah cepat, Ian menghampiri Rani yang sedang berbincang dengan para tamu undangan di dekat meja prasmanan.

Ian: "Ran, sori ganggu. Gue boleh nanya dikit gak?"

Rani menoleh, dengan tersenyum. "Iya, kenapa Ian? Ada masalah sama fotonya?"

Ian: "Bukan sih, cuma... lo inget gak, pas gue motret lo tadi, ada orang yang lewat di belakang lo gak?"

Rani terlihat bingung. "Hah? Kagak ada tuh. Emang napa?"

Ian ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menunjukkan fotonya. "Gue nemu bayangan aneh di foto lo nih. Coba deh liat."

Rani memperhatikan foto di layar kamera Ian. Perlahan, wajah cantiknya memucat.

Rani: "Astagfirullah! Apaan tuh, Ian? Jangan nakut-nakutin gue dong di hari gue nikah!"

Ian: "Ssst, jangan kenceng-kenceng. Sumpah, gue juga bingung. Tapi tenang aja, paling cuma efek cahaya doang."

Rani masih terlihat terkejut. "Iye kali ya... Udah deh, jangan dipikirin. Gue gak mau hari bahagia gue rusak gara-gara gituan."

Ian: "Oke, oke. Maaf ya udah bikin lo khawatir. Udah deh, nikmatin aja pestanya. Btw, makasih ya udah percayain gue buat motretin nikahan lo."

Rani: "Sama-sama, Ian. Elo emang fotografer paling kece."

Setelah berpamitan dengan Rani dan Dimas, Ian memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, pikirannya tak bisa lepas dari bayangan aneh di foto tadi.

Malam harinya, saat Ian sedang santai menonton Netflix, tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal.

Ian: "Halo?"

Suara wanita di ujung telepon terdengar panik. "Halo, apa bener ini Ian, fotografernya Rani?"

Ian: "Iya bener. Ini siapa ya?"

"Gue Siska, sepupunya Rani. Ian... lo harus tau... Rani... Rani kecelakaan."

Jantung Ian seakan berhenti berdetak. "Hah? Kecelakaan? Kapan? Gimana bisa?"

Siska: "Baru aja... mobilnya... mobilnya masuk jurang pas balik dari resepsi..."

Ian terdiam, pikirannya melayang ke foto aneh yang ia ambil tadi sore.

Ian: "Gue... gue turut berduka, Sis. Rani baik-baik aja kan?"

Hening sejenak sebelum Siska menjawab dengan suara serak. "Rani... Rani gak selamat, Ian."

Ponsel Ian terjatuh ke lantai. Ia duduk terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Ian: "Gila, kok bisa? Baru aja tadi gue ketemu dia..."

Tujuh hari berlalu sejak kematian Rani. Ian berusaha untuk melanjutkan hidup dan fokus pada pekerjaannya. Hari ini, ia sedang sibuk memotret untuk majalah fashion ternama. Model yang ia potret bernama Karina, wanita cantik yang sedang naik daun di dunia modeling Indonesia.

Ian: "Oke, Kar. Coba lo nengok ke kiri dikit. Yak, perfect!"

Karina berpose dengan anggun, namun terlihat lelah. "Mas, udahan yuk. Cape nih gue."

Ian: "Oke, sip. Tinggal dikit lagi kok. Lo keren banget hari ini. Hasil fotonya pasti bagus."

Setelah sesi pemotretan selesai, Ian langsung memeriksa hasil jepretannya. Tiba-tiba, jantungnya berdegup kencang. Ia melihat bayangan yang mirip seperti di foto Rani.

Ian: "Anjir, kok ada lagi? Jangan-jangan..."

Belum sempat Ian berkata apa-apa, ponselnya berdering. Ia melihat nama bosnya di layar.

Ian: "Halo, Pak?"

Bosnya: "Ian, lo udah denger berita?"

Ian: "Berita apa, Pak?"

Bosnya: "Karina... model yang lo foto tadi... dia... dia meninggal, Ian."

Ian merasa kakinya lemas. "Hah? Kok bisa Pak? Baru aja tadi sore gue ketemu dia!"

Bosnya: "Katanya sih keracunan makanan. Gue juga masih shock, Ian."

Ian terduduk lemas di kursi. Pikirannya kacau. "Ini pasti cuma kebetulan," ia berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun jauh di lubuk hatinya, Ian mulai curiga. Ia memutuskan untuk memeriksa semua foto yang ia ambil seminggu terakhir. Dan benar saja, di setiap foto orang yang sudah meninggal, ada bayangan aneh itu.

Ian: "Gue harus cari tau nih. Kalo emang bener gue yang nyebabin semua ini, gue harus ngehentiin sebelum ada korban lagi."

Malam itu, Ian tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya takut. Apa hubungan antara foto-fotonya dan kematian orang-orang ini? Mengapa hanya dia yang bisa melihat bayangan itu? Dan yang paling penting... bagaimana caranya menghentikan semua ini?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE GLASS REFLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang