Seluruh warga komplek Duri Bengkok berdatangan menuju rumah Abah Joko pasca mendapat kabar yang disiarkan melalui toa masjid. Kabar duka dari salah satu anggota keluarga Abah, putra sulungnya Abah.
Hari itu, komplek Duri Bengkok berduka.
Tak menyangka bahwa Awi yang dahulu sering mengaji di masjid bersama dengan Gustaf telah tiada karena sakit yang dideritanya. Awi turut tumbuh di sana. Semua orang mengenalnya dengan baik meski beberapa tahun silam pernah melakukan kesalahan fatal. Namun, saat Tiara menyambut pelayat dengan tangisan dan ribuan kata maaf apabila Awi pernah menyakiti mereka, sekelebat kesalahan itu menghilang dan digantikan dengan rasa iba.
Seluruh keluarga yang ditinggalkan menerima banyak kata tabah dan sabar, diminta untuk mengikhlaskan jasad Awi yang terbujur kaku di tengah-tengah manusia yang berdo'a untuknya.
"Yang sabar ya, Neng, Almarhum orang baik gua tau itu..." Seorang tetangga yang usianya sudah senja itu menenangkan Tiara yang sedari tadi masih menangis.
".....saya kira bakal sembuh, Mak. Saya nggak pa-pa kalo urus Bang Awi setiap hari." ucap Tiara di antara tangisan pilunya.
"Udah .... ini kehendak Allah, Neng. Ikhlasin, ya?"
Abah duduk di samping jasad sang putra. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Batinnya terus melantunkan ayat-ayat suci guna mendo'akan jenazah Awi. Diselingi ribuan kata maaf karena pernah menyakiti Awi semasa pria itu masih hidup. Terbesit rasa menyesal pernah abai terhadapnya.
Kini, izinkan Abah mengantar Awi ke pengistirahatan yang layak. Setidaknya, hanya itu yang bisa Abah lakukan.
Tetangga masih berdatangan. Dari yang rumahnya ada di ujung sana sekalipun, mereka menyambangi rumah Abah. Tak terkecuali Oma, Gia dan Indara yang saat itu datang untuk melayat.
Ketika mata Tiara menangkap keberadaan Oma, wanita itu turut menyambutnya. Tak lupa meminta maaf kepada Oma mengingat Awi pernah melakukan kesalahan pada keluarganya Oma, kepada Gia juga.
"Kamu yang sabar, ya. Do'akan anak kamu supaya dia ditempatkan di tempat yang terbaik..." begitu yang Oma ucapkan untuk Tiara. Tak menyinggung apa yang pernah dilakukan oleh Awi. Wanita tua itu juga mengelus tangan Tiara dengan lembut guna menenangkannya.
"Oma, makasih banyak, ya." ucap Tiara seraya menyalimi tangan Oma.
Beralih dari Oma dan Tiara, Gia sendiri langsung menghampiri Dinda yang berdiri di sudut pintu dengan tatapan kosongnya.
"Mbak Dinda," panggil Gia dengan suara seraknya.
Dinda langsung tersadar dan segera menoleh ke arah sumber suara, "eh Mbak.." cicitnya seraya memberikan sedikit senyuman untuk Gia, "cari Agan, Mbak?"
Gia menggeleng ragu. Sebenarnya ia juga penasaran di mana Agan saat ini, sebab sedari tadi tidak menemukan batang hidung pria itu.
"Dia ada di kamar kok, Mbak. Samperin aja kalo Mbak mau ketemu dia," lanjut Dinda, seakan mengerti pikirannya Gia. "Daritadi dia di kamarnya terus, belum keluar-keluar."
Gia menekankan atensinya pada pintu kamar Agan yang sedikit terbuka. Lalu, dia pun mengangguk dan pamit ke Dinda untuk menyambangi kamar Agan.
Perlahan wanita itu melongokkan kepalanya dan mendorong pelan pintu kamar Agan.
"Yang sabar, Kak. Jangan beratin Bang Awi, insya Allah Kak Agan ikhlas,"
Gia menangkap suara seorang gadis. Jadi, ketika ia dengan sempurna masuk ke dalam kamarnya Agan, yang wanita itu lihat adalah Agan yang termenung bersama gadis muda yang duduk tak jauh dari pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agen Agan
FanfictionDia bukan seorang raja ataupun seorang pangeran. Dia hanyalah seorang Agan. Pemuda penjaga sebuah agen yang pernah bermimpi menunggangi seekor kuda putih dan bertemu seorang gadis cantik yang disinyalir seorang putri. Namun ketika terbangun, yang...