Sesuai dengan janjinya, tepat setelah pukul 4. Seorang Kafka Madhava sudah berdiri di perkarangan rumah Althair, menunggu sang pemilik rumah keluar setelah menekan bel beberapa kali.
Kafka tersenyum tipis begitu Althair muncul dari balik pintu putih di hadapannya, ia menatap temannya itu cerah, sedangkan sang pemilik rumah hanya memperlihatkan raut datarnya.
Kafka berdecak pelan, "Santai aja tuh muka, kayak lagi didatengin rentenir aja lo," celetuknya asal.
Althair mendengus pelan, "Lo seriusan mau nunggu di sini?" Kafka mengangguk yakin, "Iya, emang kenapa? Nggak boleh? Kayak baru pertama kali aja gue nungguin Sera pulang di rumah lo, Al. Biasanya juga gitukan?"
"Ya udah, kalau gitu tunggu di dalam aja. Di rumah lagi nggak ada siapa-siapa, gue sendirian," ujar Althair sembari mempersilahkan Kafka untuk masuk.
"Sendiri? Tumben? Bapak lo kemana?" Tanya Kafka sembari melangkah memasuki rumah itu.
Althair berdeham pelan, mencoba menetralkan suaranya yang sedikit serak akibat tenggorokannya yang kering, "Kabarnya tadi ada kerjaan keluar kota, entahlah gue juga nggak tau. Manager nya ngasih tau gue itu tadi," ungkap Althair yang kini berdiri di dapur sembari meneguk segelas air putih.
Kafka manggut-manggut, "Oh gitu, terus kapan baliknya? Bibi yang biasa bersih-bersih rumah lo juga nggak ada?" Lagi, Kafka bertanya sebab masih penasaran.
Althair melirik temannya itu sekilas, "Lusa kayaknya, soal bibi, beliau izin pulang kampung beberapa hari, anak nya lagi sakit," jawabnya lalu berjalan menghampiri Kafka yang sudah duduk dengan nyaman di ruang tamu dengan secangkir kopi susu hangat.
"Thanks." Althair mengangguk kecil lalu ikut duduk di seberang laki-laki itu.
"Sera pulang jam berapa dah? Sering banget kayaknya beberapa hari ini lo nungguin dia sampai langit udah gelap," tanya Althair.
Kafka menyeruput sejenak kopi susu yang masih hangat itu lalu menjawab, "Paling lama pulang jam setengah 6, tapi hari ini Sera bilang, dia pulang jam 5. Gue juga heran, sekolahnya hobi banget nambah jam pelajaran, kasihan cewek gue, mumet dia belajar dari pagi sampai sore. Belum lagi eskul, organisasi segala macem." Kafka bercerita.
"Wajar itu, sekolahnya prepare siswanya supaya belajar dari sekarang buat meningkatkan nilai akhir sekolah. Gue juga kalau sekolah kita ngelakuin hal yang sama mau."
Kafka menggeleng kuat, "Buset, nggak mau gue. Capek, gila. Lo kalau mau belajar 24 jam, sendiri aja, nggak usah ngajak-ngajak satu sekolah dah, gue nggak mau mati muda gegara stres," sanggah nya sungguh tak minat. Membayangkan nya saja sudah cukup membuat seisi perutnya bergejolak saking memabukkannya belajar dari pagi hingga petang.
Althair tertawa pelan, "Bercanda, takut bener lo ada jam tambahan," gurau Althair yang dibalas tatapan sinis oleh Kafka.
"Ya lo pikir aja dah, apa nggak botak gue dipaksa belajar terus. Manusia tampan ini selalu butuh healing bro," ujar Kafka.
Althair balas berdeham, "Iya dah, sipaling dikit-dikit healing, padahal juga kalau weekend cuma modal rebahan di kasur doang kagak ngapa-ngapain," ledek nya.
Kafka menyengir, "Sayang weekend gue kalau nggak dimanfaatkan dengan baik. Selain tidur, ketemu Sera itu juga masuk list wajib kali. Nggak selalu rebahan," katanya mencoba membela diri.
"Iya dah, percaya."
Lalu hening, keduanya mendadak kehabisan topik untuk dibicarakan lebih lanjut. Memilih untuk sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai akhirnya sesuatu terlintas di benak seorang Kafka hingga ia kembali buka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT HATI : 831
RomanceDi dunia ini ada ribuan lelaki yang sekiranya bisa dijadikan pasangan, pun sebaliknya. Tapi bagi seorang Eugenie Kahyana, terlahirnya sosok Althair Saskara yang nyaris sempurna itu adalah hal paling indah yang diukir semesta dalam sejarah kehidupann...