Hadirnya Bahagia

1 0 0
                                    

Hari sudah menunjukkan pukul 17.00. Mungkin karena terlalu nyaman diusap oleh Arka dan menikmati sentuhannya, Clara kembali tertidur dengan tenang. Tubuhnya bergerak sendiri, tangannya melingkar di badan Arka, dan kepalanya bersandar di dada pria itu. Arka tersenyum melihat gadis di pelukannya. Mataharinya. Kekasihnya.

“Kekasih…” gumam Arka dalam hati, meresapi kata itu seolah ia baru pertama kali mengucapkannya. Setelah bertahun-tahun menutup hati akibat pengkhianatan di masa lalu, kini hatinya terbuka kembali. Gadis ceria dan barbar inilah yang akhirnya menjadi kekasihnya, membawa kebahagiaan yang selama ini ia rindukan.

Dengan lembut, Arka mencium pipi Clara yang tengah tertidur. Lalu, ia mengecup bibirnya dengan penuh sayang. “Aku mencintaimu,” bisik Arka meski Clara tidak mendengarnya. Ia kemudian bangkit perlahan, melepaskan pelukan Clara dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Ia berniat mengantarkan Clara pulang, jadi ia keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai mandi, dengan rambut yang masih setengah basah dan mengenakan kaus hitam serta jeans, Arka berjalan ke dapur. Di sana, ia melihat Arista yang sedang duduk sambil menyeruput teh. Arista menatapnya dengan senyum penuh arti. Arka mengangkat alisnya, merasa bahwa adiknya pasti sudah tahu apa yang terjadi.

“Selamat ya, Kak,” ucap Arista tiba-tiba, membuat Arka tertawa kecil. Ia tidak bisa menahan rasa kagumnya pada Arista yang selalu tahu segalanya.

“Jatuh cinta tidak semenakutkan itu, kan, Kak?” lanjut Arista sambil tersenyum jahil. Melihat wajah Arka yang memerah, Arista terkekeh geli. “Kakak sudah terlalu lama takut untuk membuka hati. Aku senang akhirnya Kakak bisa bahagia,” ucapnya dengan nada tulus.

Arka hanya mengangguk pelan, merasa malu namun juga lega karena adiknya mendukung hubungan mereka. Tiba-tiba, Arista berdiri dan memeluknya dari belakang. Arka terkejut, karena Arista jarang menunjukkan sikap semanis ini.

“Kakak sudah terlalu banyak berkorban untukku,” bisik Arista pelan. “Aku berterima kasih untuk itu. Tapi sekarang, giliran Kakak yang bahagia. Aku sayang Kakak. Dan Clara… Clara adalah gadis terbaik untuk Kakak.”

Arka merasakan tenggorokannya tercekat. Ia mengulurkan tangannya, mengelus lembut tangan Arista yang melingkar di lehernya. “Terima kasih, Aris,” ucapnya dengan nada yang nyaris bergetar.

Arista tersenyum dan melepaskan pelukan, kembali duduk di kursinya. “Sekarang pergilah, Kak. Antar pulang kekasih Kakak,” godanya dengan senyum lebar.

Arka mengangguk dan beranjak menuju kamarnya. Saat ia membuka pintu, dilihatnya Clara masih terlelap dengan damai. Tanpa berkata apa-apa, ia menggendong Clara dalam posisi terbaring. Dengan langkah hati-hati, Arka berjalan menuju mobilnya di garasi, membawa Clara dalam pelukannya.

Arista yang melihat dari dapur hanya bisa tersenyum. Ketika Arka melewatinya, ia berbisik, “Kakak bawa kekasih Kakak pulang dulu ya.” Arista terkekeh pelan, melihat kakaknya yang biasanya kaku kini berubah menjadi sosok yang penuh cinta.

Arka meletakkan Clara di kursi penumpang dengan hati-hati dan memasangkan sabuk pengaman untuknya. Setelah memastikan Clara nyaman, ia mencium bibir Clara dengan lembut, lalu menutup pintu mobil dan berjalan ke sisi pengemudi.

Ia kemudian mengambil ponselnya dan melakukan video call kepada Dira. Begitu panggilan tersambung, wajah Dira muncul di layar dengan senyum jahil. “Halo! Gimana? Udah jadian belum?” goda Dira tanpa basa-basi.

Arka hanya menahan senyumnya, kemudian mengarahkan kamera ke Clara yang tertidur pulas di sampingnya. Dira terkekeh melihatnya dan berkata, “Itu tidur karena masih galau atau karena habis melakukan hal yang diinginkan?”

Arka yang biasanya tenang langsung melotot, membuat Dira tertawa terbahak. Suara tawa Dira yang keras membangunkan Clara, yang berusaha mengumpulkan kesadarannya. Arka mendengus kesal, menatap layar ponsel seolah ingin memiting sahabatnya itu.

Clara, yang masih setengah mengantuk, bertanya dengan suara pelan, “Mau ke mana kita, Kak Arka?”

Dira yang masih di dalam video call langsung menjawab dengan nada asal, “Ke rumah sakit aja, periksain kehamilan.”

“Hah? Siapa yang hamil, Kak? Kak Dira yang hamil?” jawab Clara spontan, membuat Dira tertawa makin kencang. Arka hanya bisa menggeleng pelan sambil menahan senyumnya.

Dira yang terlihat masih berada di kantornya—dengan seragam polisi yang rapi dan meja kerja yang penuh berkas—tertawa dan melanjutkan, “Antar Clara ke rumah Mama Papa aja. Mereka nggak ada di rumah sih, kayak biasa. Tapi karena Clara udah bangun, aman lah ya aku nggak bakal segera gendong ponakan.”

Ucapan Dira membuat Arka geram namun malu, sementara Clara yang baru sadar akhirnya protes, “Heeeh, apaan sih, Kak Dira!”

Dira tertawa terbahak sebelum menutup telepon, meninggalkan Arka yang tersenyum geli. Ia menatap Clara yang kini menatapnya dengan wajah bingung dan malu-malu.

“Aku antar kamu pulang ya, Miel,” ucap Arka dengan suara lembut.

Clara menatapnya heran. “Apa tuh, Miel?” tanyanya, penasaran.

Arka tersenyum tanpa menjawab. Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi penerjemah, lalu menunjukkan layar ponsel kepada Clara. Saat Clara membaca artinya—“Honey”—wajahnya langsung memerah.

“Kakak…” gumam Clara salah tingkah, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Arka hanya tersenyum melihatnya, lalu menggenggam tangan Clara yang menutupi wajahnya. Dengan tangan kanannya, ia mulai menjalankan mobil, dan mereka pun melaju meninggalkan rumah.

Sepanjang perjalanan, Clara terus mengoceh tentang banyak hal. Tentang bagaimana ia senang bisa bersama Arka, tentang rencana-rencana kencan mereka, tentang apa yang akan mereka lakukan besok. Sementara itu, Arka mendengarkan dengan sabar, sesekali tersenyum dan melirik ke arah Clara. Hatinya menghangat setiap kali mendengar suara ceria Clara. Rasanya, hidupnya kini benar-benar terasa utuh.

Sesampainya di depan rumah keluarga Clara, Arka menghentikan mobil dan menghela napas panjang. “Yaaah, pisah deh sama Cielnya Clara,” keluh Clara dengan suara manja.

Arka menoleh dan menyipitkan mata, seolah bertanya apa maksud dari kata “Ciel”. Clara tersenyum, lalu berbisik di telinga Arka, “Ciel… artinya Love, Kekasih.”

Arka merasa pipinya memanas mendengar bisikan Clara. Ia berusaha menahan senyum yang muncul, namun tidak bisa menyembunyikan rasa salah tingkahnya. Melihat wajah Arka yang malu-malu, Clara terkekeh geli.

Clara kemudian mencium pipi Arka dengan lembut. “Sampai ketemu besok ya, Ciel,” ucapnya, menatap Arka dengan mata berbinar.

Arka mengelus rambut Clara dengan penuh kasih. “Besok aku jemput kamu ya,” ucapnya sambil tersenyum hangat, disambut anggukan riang dari Clara.

Clara membuka pintu mobil, berdiri dan melambaikan tangannya riang kepada Arka. “Bye, Ciel!” serunya sebelum masuk ke dalam rumah.

Arka menatap Clara yang masuk ke rumahnya, senyum lembut terukir di wajahnya. Ia merasa hidupnya kini lebih penuh, lebih bahagia, lebih bermakna dengan kehadiran Clara. Sambil menghidupkan mesin mobil, Arka bergumam pelan, “Sampai jumpa besok, Matahariku.”

Mobil melaju pelan meninggalkan rumah Clara, namun hati Arka tetap tertinggal di sana, bersama gadis yang telah merebut hatinya sepenuhnya.

Embrace of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang