CHAPTER 1

3K 7 0
                                    

Hari ketiga Rani merasa ada yang berbeda pagi ini ketika ia membuka tirai jendelanya, matanya terfokus pada jendela kamar tetangganya yang berhadapan langsung dengan jendela kamarnya-belum dibuka-biasanya pemiliknya lebih dulu bangun dan berteriak membangunkan Rani dengan teriakan tanpa sopan santun lewat jendela kamarnya di seberang.

Namun, untuk hari ketiga berturut-turut, jendela itu tetap tertutup. Arga yang biasanya selalu bangun lebih pagi tidak menunjukan tanda-tada akan hadir di balik jendelanya. Rani mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Tumben?" Gumam Rani sambil terus memperhatikan jendela tersebut.

Sesaat, dia hampir merasa lega menikmati ketenangan pagi tanpa gangguan, namun rasa penasaran itu semakin menggelitik pikirannya. "Sakit kali yah, tuh anak?" pikirnya lagi.

Akhirnya, Rani mengabaikan pikiran-pikiran itu dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi perasaannya masih tak tenang. Entah mengapa, bayangan Arga terus memenuhi benaknya sepanjang pagi itu.

Rani berusaha mengalihkan pikirannya dengan mempersiapkan sarapan, tapi pikirannya terus kembali pada Arga. Biasanya, suara kerasnya di pagi hari selalu membuat Rani kesal, tapi sekarang ketidakhadirannya justru membuat pagi Rani terasa sunyi.

Saat ia hendak duduk di meja makan, suara pelan dari arah jendela kamar menarik perhatiannya. Rani cepat-cepat berlari ke jendela, mengintip di balik tirai. Jendela kamar Arga perlahan terbuka, tapi bukan dia yang muncul di sana. Seorang perempuan yang tak dikenal, dengan rambut terurai dan wajah pucat, berdiri di sana.

Jantung Rani berdegup lebih cepat. "Siapa tuh cewek? Ceweknya Arga?" tanyanya dalam hati.

Perempuan itu melirik ke arah jendela Rani seolah tahu sedang ada yang memperhatikannya, lalu tersenyum tipis, membuat Rani segera mundur dan menutup tirai. Perasaan tidak nyaman muncul, menciptakan sensasi yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang berbeda hari ini, dan Rani tak bisa mengabaikan firasat buruk yang mulai menyusup dalam pikirannya.

Rani berjalan keluar kamarnya dengan perasaan yang bercampur aduk, antara penasaran dan entah apa itu, Rani tak tau.

"Bodo amat! Ga peduli gue." Tapi rasa penasaran itu lebih mendominasi daripada sikap acuh Rani.

Dia berjalan menuju meja makan dan meraih ponselnya. "Kalo gue telpon nanti dia mikir gue nyariin dia," monolog Rani. "Tapi iya sih, gue nyariin." Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa frustasi.

"Udah telat nih gue ke kampus," buru-buru Rani menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Gara-gara tuh anak, gue jadi kepikiran, cih!"

•••

"Kenapa lo? Suntuk amat," tanya Kania di sebelah Rani yang membereskan buku-bukunya. Selama jam perkuliahan tadi berlangsung, Rani tampak tak bersemangat mengikutinya.

"Ngantuk," jawab Rani dengan lemas.

"Ngantuk atau ngga ada Arga?"

"Apa hubungannya?" Tanya Rani melirik Kania yang menggodanya.

"Ya ada hubungannya, emangnya kemana tuh anak? Udah 4 hari ga keliatan, bolos terus,"

"Gatau gue." Rani berdiri sembari menggedong tasnya.

"Sensi amat perasaan." Rani ikut berdiri, kemudian mereka keluar dari kelas itu, siap untuk mengikuti mata kuliah berikutnya.

Rani membuka ponselnya, berharap ada notifikasi dari Arga, tetapi layar ponselnya tetap sepi. Tidak ada pesan atau panggilan yang ditunggu-tunggu. Rani mendesah pelan, sedikit kesal dengan dirinya sendiri karena berharap lebih.

BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang