(3)-Awal dari Teror.

0 0 0
                                    

Mereka lupa, pemilihan dimulai pagi itu. Suasana kelas terasa berbeda, seolah ada ketegangan yang nggak bisa dijelaskan. Semua orang tampak berbisik-bisik, membicarakan siapa yang bakal jadi korban bulan ini. Kategori yang paling ditunggu, atau mungkin yang paling ditakuti, adalah "Paling Tidak Disukai." Di sinilah nasib buruk seseorang akan dimulai.

Alex duduk di bangkunya, sedikit gelisah. Dia tidak mengerti kenapa sekolah ini membiarkan hal seperti ini terjadi. “Paling Tidak Disukai”? Gimana bisa mereka menganggap ini wajar? Dia memandang ke arah teman-temannya, Ben, Daniel, Charlie, dan Ethan, yang juga kelihatan lebih waspada dari biasanya.

"Sumpah, ini absurd banget," gumam Alex ke Ben yang duduk di sampingnya.

Ben mengangguk. "Bener, tapi mau gimana lagi? Semuanya udah jalan sejak dulu."

Wali kelas mereka, Pak Andika, masuk ke dalam kelas dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Di tangannya, ada selembar kertas yang tampak penuh dengan nama-nama hasil pemilihan yang sudah diisi sebelumnya oleh siswa-siswa. Dia berdiri di depan kelas dan mulai berbicara, suaranya terdengar hambar, seakan ini cuma rutinitas biasa.

"Baiklah, hari ini kita akan umumkan hasil pemilihan bulanan. Seperti biasa, ada beberapa kategori yang telah dipilih oleh kalian semua. Mari kita mulai."

Semua mata tertuju pada papan tulis, tempat hasil pemilihan biasanya ditulis. Ketika nama-nama di kategori "Paling Populer" dan "Paling Pintar" mulai disebutkan, beberapa siswa tampak tersenyum bangga atau tersipu malu. Itu normal. Tapi kemudian, tiba saat yang dinanti-nanti oleh sebagian besar siswa: "Paling Tidak Disukai."

Pak Andika menarik napas panjang sebelum menulis nama itu. Saat kapur menyentuh papan, ruang kelas mendadak sunyi senyap. Hanya suara kapur yang terdengar menggores papan tulis, meninggalkan jejak huruf yang membentuk nama seseorang.

Mark William Prasetyo.

Alex menahan napas. Nama Mark muncul di papan sebagai "Paling Tidak Disukai." Hatinya berdesir. Dia tahu ini tidak akan berakhir baik. Mark, cowok kurus dan pendiam yang sering duduk sendirian di belakang kelas. Alex jarang bicara dengannya, tapi tahu bahwa Mark tidak pernah bermasalah sama siapa pun.

"Yaelah, kasian banget si Mark," gumam Ethan, sedikit berbisik ke arah Alex.

Charlie, yang duduk di sebelah Ethan, menatap Mark dengan pandangan prihatin. "Bakal berat buat dia bulan ini."

Mark, yang duduk di belakang kelas, menunduk. Tangannya gemetar, seperti tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Bullying di sekolah ini kejam. Alex baru beberapa minggu di sini, tapi dia sudah mendengar cerita-cerita soal siswa yang jadi korban setelah dipilih di kategori itu. Mereka bakal diejek, dihina, bahkan mungkin dipermalukan secara fisik.

Pak Andika, yang sudah menyelesaikan pengumuman, melanjutkan pelajarannya seperti biasa. Tidak ada yang peduli. Semua berjalan seperti tidak ada yang salah, padahal kenyataannya, ada satu siswa yang sekarang hidupnya akan berubah jadi neraka.

Selama sisa pelajaran, Alex tidak bisa berhenti memikirkan Mark. Dia ingin menolong, tapi bagaimana caranya? Teman-temannya juga tidak terlihat terlalu antusias untuk ikut campur. Semua orang tahu, kalau berani ngelawan sistem ini, berarti bisa menjadi korban berikutnya.

***

Setelah bel pulang berbunyi, Mark segera keluar kelas tanpa menunggu lama. Langkah kakinya terburu-buru, seolah-olah dia ingin lari dari sesuatu. Alex memperhatikan dari jauh, merasa ada sesuatu yang sangat salah.

"Eh, bro, kita nongkrong yuk," ajak Ben, mencoba mengalihkan perhatian Alex.

Alex menggeleng pelan. "Kalian duluan aja. Gue harus ngecek sesuatu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Class HierarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang