6. Panggil Aku, Sea

17 5 5
                                    

Ares

Saat sampai ke tempat yang Dean tunjukkan, Ares dan keempat temannya malah melihat pemandangan yang tidak masuk logika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat sampai ke tempat yang Dean tunjukkan, Ares dan keempat temannya malah melihat pemandangan yang tidak masuk logika. Penduduk pribumi yang berlalu-lalang di sekitar gapura seperti sedang dikendalikan. Mereka pendek, mungkin hanya setinggi dada manusia dewasa. Penduduk laki-laki hampir semuanya berkepala plontos. Sedangkan para perempuan, memakai semacam syal yang menutupi kepala hingga leher. Syal itu pun hanya disampirkan sekenanya, tidak rapi.

Hanya, bukan itu yang membuat Ares dan keempat temannya terkejut bukan main. Mau dilihat bagaimana pun, penduduk pribumi itu tidak ada yang memiliki telinga. Organ pendengaran itu benar-benar tidak terlihat di bagian kepala mana pun.

Ares merinding seketika. “Apa semua ini?” gumamnya.

Ia bahkan mencoba bertanya dan menghentikan beberapa orang yang lewat, tetapi semuanya tidak menunjukkan respons apa pun. Pandangan mereka tampak kosong dengan selaput putih yang menutupi irisnya. Persis seperti orang yang menderita penyakit katarak.

 “Mereka enggak akan mendengar suara kita, Kak.” Zeera dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama dengan Ares, yaitu mencoba bertanya dan menghentikan orang yang lewat. Padahal, mereka sudah menaikkan volume suara, tetapi tetap tidak ada yang merespons.

Ares menoleh ke arah Zeera. Cewek yang lebih tinggi darinya itu seperti putus asa. Ekspresinya tampak lesu, seolah enggan berusaha lagi. Dan lagi, apa yang membuat Zeera yakin jika penduduk pribumi itu tidak akan mendengar mereka?

“Karena mereka enggak punya telinga?” tebak Ares.

“Bukan itu aja, sepertinya. Kak Ares lihat sendiri, kan, kalau pandangan mereka kosong? Selaput putih menutupi iris mata mereka seolah terkena penyakit. Cara jalannya pun sempoyongan seperti enggak punya tenaga.”

“Ah, meski irisnya tertutupi sesuatu, mereka enggak buta.” Kali ini giliran Gayatri yang berbicara.

Ares tampak berpikir. Jika bukan dengan mereka, kepada siapa lagi ia harus bertanya? Ares dan keempat temannya hanya anak SMA yang tiba-tiba terlempar ke tempat antah-berantah. Jelas saja mereka minim pengetahuan pun pengalaman. Tempat dimana mereka terjebak pun, Ares sama sekali tidak tahu. Memangnya, di dunia tempatnya tinggal, adakah bangunan serupa sekolah yang tidak memiliki pintu untuk keluar masuk?

Jika ada, untuk apa tempat itu dibangun?

Ditambah lagi, jika diamati secara saksama, tempat bernama Ansoncree ini serupa padang pasir. Pohon-pohon di sekitar gapura dan bangunan sekolah yang tadi, tampak kering kelontang. Batangnya benar-benar tinggi, tetapi nutrisinya seolah terserap oleh sesuatu. Daun yang tumbuh pun hanya bisa dihitung jari. Sisanya, berguguran hingga sampahnya menutupi sebagian jalan setapak.

Bahkan, bukan hanya itu saja. Ares sama sekali tidak menjumpai hewan-hewan di Ansoncree. Serangga berukuran kecil maupun burung yang biasanya terbang pun tidak. Ketika mendongak, bukan langit biru yang mereka saksikan. Melainkan langit mendung karena awan kelabu berkumpul di atas sana. Udara pun terasa berat dan panas. Seperti akan terjadi badai, tetapi tidak ada petunjuk dari makhluk hidup lain seperti yang ia ketahui di dunianya.

Da CapoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang