20. Kembali ke Lokasi Pertama

2 1 0
                                    

Dean


Tawa berat itu masih terdengar. Menggema, memenuhi ruangan yang gelap gulita. Bersamaan dengan nadanya yang kian meninggi, rasa takut kembali menyergap Dean dan keempat temannya tanpa ampun. Ruangan yang tidak terlalu luas itu menjadi saksi bagaimana kepanikan dan rasa kalut begitu mengungkung mereka erat.

Adakah siapa pun yang bisa menjelaskan mengapa suara itu mendadak muncul? Penuh penekanan sekaligus ancaman.

Meskipun beberapa menit berlalu, tawa mengerikan itu tidak kunjung menghilang. Kelima remaja yang berdiri melingkar dan saling memunggungi itu mengedarkan pandangan. Mungkin saja ada pengeras suara atau kamera tersembunyi di sekitar mereka. Namun, kegelapan jelas menyulitkan. Pupil membesar pun, tetap tidak membantu sama sekali.

“Siapa itu?” teriak Dean. Onyx telah melebur kembali. Suasana terang yang sempat tercipta karena cahaya Onyx, kini tidak ada lagi.

“Teman-teman, kita harus keluar dari sini!” Sunni berusaha membuka pintu. Meski tidak kelihatan secara langsung, Dean bisa mendengar suara knop pintu digerakkan. Suaranya berisik disertai kepanikan Sunni yang menghebohkan.

“Ada yang enggak beres,” timpal Zeera. Sepertinya cewek itu tengah membantu Sunni.

Perlahan tetapi pasti, suara tawa itu kian menghilang. Menyisakan suasana lengang yang mengimpit mereka dari dalam ruangan yang gelap. Meskipun telah hilang, sisa atmosfer beratnya masih saja terasa. Udara seperti disedot habis. Waktu bergerak melambat. Knop pintu terus saja berusaha dibuka, tetapi tidak membuahkan hasil.

Dean memejam. Pikirannya harus tenang di saat seperti ini. Tidak boleh ikut panik, tidak boleh tergesa-gesa. Bukan apa-apa, dirinya pun merasa takut. Namun, apa yang akan terjadi dengan semua temannya ketika tidak ada yang bisa menenangkan situasi?

“Res, kamu siap?” tanyanya pada Ares. Seperti terkoneksi sebelumnya, Dean merasakan Ares mengangguk mantap. Cahaya temaram mendadak muncul dari celah-celah bambu. Hal itu sukses membuat Dean mendesah lega. Setidaknya, ada sedikit cahaya.

“Teman-teman, minggir!” Jika Ares sudah memberi perintah, tidak ada yang bisa membantah. Ketiga cewek yang semula berkumpul di pintu masuk sambil berusaha membukanya, seketika bergerak menjauh. Dean dan Ares merasa lebih leluasa bergerak.

“Dalam hitungan ketiga, kamu siap?” Kali ini, Ares yang bertanya.

“Seratus persen,” balas Dean.

Sebelum mengeksekusi apa yang hendak kedua cowok itu lakukan, mereka menarik napas panjang. Dean berhitung, suaranya keras sekali. Tepat pada hitungan ketiga, Dean dan Ares sama-sama mendobrak pintunya. Semula menggunakan bahu, tetapi gagal.

“Terus, Res!”

Mereka mencoba lagi. Menggunakan bahu, berkali-kali. Puncaknya, ketika Dean menendang pintu itu dan Ares menggunakan bahu yang belum pernah digunakan, pintu akhirnya terbuka. Buru-buru mereka keluar, melompat turun dari rumah bambu, dan bernapas lega.

Da CapoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang