1

3 1 0
                                    

"Guardian Angel"

Sorotan matahari yang mulai meredup menandakan hari akan segera berganti malam. Angin sepoi-sepoi berhembus di jalan sepi yang dipenuhi rerumputan hijau yang bergerak mengikuti hembusan angin.

Di sebuah rel kereta api yang sepi, seorang gadis bertubuh mungil dalam seragam sekolahnya tengah berdiri sambil merentangkan kedua tangan, menatap kosong ke depan, berharap ada kereta yang melintas dan menabraknya hingga tewas mengenaskan.

Sisil, begitulah ia dipanggil, ia merasa bahwa dunia ini tak lagi berpihak padanya. Ia menangis tanpa suara, mencoba meluapkan beban berat yang sedang dipikulnya, hingga ia diambang putus asa.

Sisil memandang kosong ke arah rel kereta yang sepi. Usianya yang masih muda tak mampu menanggung beban yang dijatuhkan kepadanya. Baru beberapa hari yang lalu, ia mendapat diagnosa dari dokter bahwa ia menderita kanker. Berat dan sulit dipercaya, namun nyata. Ia merasa dunia ini sudah tak lagi berpihak padanya.

"Kenapa harus aku? Apa yang harus kulakukan?" gumamnya dengan suara pelan, sambil menatap langit yang mulai berubah warna menjadi oranye, seiring dengan air matanya yang kini mengalir membasahi pipinya.

Tangannya terkulai lemas, tubuhnya bergoyang-goyang seperti tak mampu berdiri tegak lagi.

Tiba-tiba, terdengar derap kaki seseorang yang mendekat dari belakang. Sisil menoleh dan melihat seorang pria muda bertubuh jangkung yang mengenakan hoodie hitam dan celana jeans ripped sedang berjalan mendekat. Pria itu berhenti tepat di samping Sisil dan mengamati gadis itu dengan tajam. Sisil merasa sedikit tidak nyaman dengan pandangan si pria tersebut.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya si pria dengan suara lirih.

Sisil mendongak dan menatapnya dengan penuh kesedihan. "Ini satu-satunya tempat di mana aku bisa merasa tenang dan terbebas dari semua itu…" jawab Sisil lemah.

Pria itu bernama Nathan, ia menatap gadis itu dengan tatapan tajam, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya. Ia merasa ada yang salah dan tampaknya gadis itu sangat membutuhkan bantuan.

"Kamu mau bunuh diri?" tanyanya dengan suara serak-serak basah.

Sisil menunduk tanpa menjawab.

"Aku bukan ahli penghibur, tapi aku juga pernah merasakan hal yang serupa," ujar Nathan dengan suara lembut sambil menepuk pelan pundak Sisil.

Sisil menatapnya, mencoba mencari tahu lebih jauh tentang si pria. Ia menarik nafas panjang dan memutuskan untuk bercerita tentang apa yang tengah dialaminya.

"Dokter bilang aku menderita kanker," ungkapnya dengan suara lemah. "Ini sangat sulit bagiku untuk diterima, seolah-olah hidupku sudah nggak lagi berpihak padaku."

Si pria mengangguk, memahami perasaan Sisil. Ia ingin membantu Sisil, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang dapat dilakukannya, lucunya mereka juga belum saling mengenal satu sama lain.

"Kanker memang penyakit yang sangat menyakitkan dan sulit," ucap Nathan setelah ia berjongkok tepat di depan Sisil, dan tatapannya berubah lembut saat ia menatap wajah Sisil dari dekat. "Namun, aku percaya bahwa kamu bisa menghadapinya dengan kemauan dan tekad yang kuat. Jangan menyerah begitu saja, Nona. Ada banyak hal yang masih bisa kamu lakukan dan bisa menjadikan hidupmu bermakna."

Sisil merespon dengan anggukan, merasakankan ketenangan di hatinya setelah ia mendengar kata-kata si pria tersebut. Mereka bertukar pandangan dan tersenyum kecil.

"Terima kasih," ucap Sisil dengan sedikit tersenyum.

"Silakan panggil aku Nathan," ujarnya sambil tersenyum. "Jika kamu memerlukan seseorang untuk diajak bicara, jangan sungkan untuk menghubungiku.”

Jalan Kembali Ke RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang