Bab 1: Hari-Hari Langit

8 0 1
                                    





Langit Sagara baru saja menapaki halaman rumah barunya, sebuah rumah sederhana di desa kecil yang dikelilingi hutan lebat dan danau yang tenang. Hari ini adalah hari ketiga ia tinggal di sini, dan rasa asing itu seakan terus membebani langkahnya. Pindah ke tempat baru, di mana senyuman teman-teman baru belum mampu menghangatkan hatinya yang beku.

Sore itu, saat sinar lembayung matahari menembus celah-celah dedaunan, Langit duduk di tepi jendela kayu kamarnya. Suara angin berbisik lembut, seolah menyampaikan pesan-pesan yang tak pernah bisa ia pahami. "Hujan..." namanya terucap dalam hati, seolah angin itu membawa harapan yang samar.

Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa adik perempuannya setahun lalu, Langit merasa terasing dari dunia. Dalam setiap detik yang berlalu, dia terus berusaha menghapus bayangan itu, tetapi kenangan indah tentang Hujan selalu kembali. Tawa cerianya, langkah kakinya yang kecil berlari mengejar, dan pelukan hangatnya saat mereka berbagi cerita di malam hari. Kini, semua itu tinggal kenangan pahit yang menghantui.

"Hanya menjalani hidup ini seperti robot," gumamnya, membuang pandangan keluar jendela. Dalam hening, dia merasakan ada sesuatu yang mengekang jiwanya, membawanya ke tempat yang gelap dan sepi.

"Langit! Ayo makan malam!" Suara ibunya memecah lamunan, membawa kembali kesadaran pada kenyataan yang tidak ingin dia hadapi. Dia tahu, ibunya berjuang keras menghadapi kesedihan mereka, tetapi setiap kali Langit melihatnya, hatinya terasa semakin berat. Seolah beban mereka berlipat ganda, mengubur harapan dalam lumpur kesedihan.

"Iya, Bu," jawabnya pelan, seakan-akan suaranya hanya sekedar menjadi formalitas.

Makan malam terasa hampa. Hanya ada suara sendok yang beradu dengan piring, sesekali diiringi oleh suara ayahnya yang mencoba memulai percakapan. "Langit, bagaimana sekolahmu?" tanyanya. Langit hanya bisa menjawab dengan anggukan, tidak ingin menjelaskan betapa beratnya perasaannya saat ini.

Setelah makan malam, Langit kembali ke kamarnya. Di luar, suara jangkrik mulai riuh, menggema dalam kesunyian malam. Langit merindukan tawa Hujan, namun rasa sakit itu kembali membalut hatinya. Sebuah dorongan tiba-tiba muncul. Ia ingin menjelajahi desa ini, mencari tempat baru yang mungkin bisa memberi kedamaian.

Saat melangkah keluar, langkahnya tak terarah. Hujan yang baru saja berhenti menyisakan aroma tanah yang segar. Langit melangkah menyusuri jalan setapak, melewati deretan rumah penduduk yang sepi. Tiba-tiba, ia merasakan getaran di dalam hatinya—sebuah dorongan untuk terus melangkah lebih jauh.

 Tiba-tiba, ia merasakan getaran di dalam hatinya—sebuah dorongan untuk terus melangkah lebih jauh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di antara pepohonan yang lebat, ia menemukan sesuatu yang mencolok. Sebuah gua kecil setengah tertutup oleh tanaman rambat. Dalam ingatannya, dia pernah mendengar cerita-cerita tentang gua ini dari penduduk desa. Gua yang konon katanya bisa membuat seseorang mendengar gema dari jiwa-jiwa yang telah tiada.

"Apakah ini gua yang dimaksud?" gumamnya pelan, menatap gua dengan rasa ingin tahu dan ketakutan yang bercampur aduk.

Tiba-tiba, terdengar suara lembut memanggilnya. "Langit! Kau di mana?" Suara itu terasa familiar, dan saat ia menoleh, terlihatlah seorang gadis dengan rambut panjang berwarna hitam, berpakaian kasual dengan dominan warna biru. Dia adalah Bulan, tetangganya yang baru ia kenal. Bulan dikenal sebagai gadis yang tenang dan bijaksana, selalu dapat menenangkan orang-orang di sekitarnya dengan sikapnya yang penuh pengertian.

"Bulan, kau di sini?" tanya Langit, terkejut melihatnya.

"Aku melihatmu berjalan sendirian, jadi aku mencari tahu. Apa yang kau lakukan di sini?" Bulam bertanya, menatap gua yang berada di depan mereka. Ia tahu betul tentang gua ini dan cerita-cerita di baliknya, tetapi melihat Langit di sini membuatnya penasaran.

"Aku... menemukan gua ini," jawab Langit, ragu untuk melanjutkan. "Aku ingin tahu apakah ada sesuatu di dalamnya."

Bulan mengangguk, wajahnya tetap tenang. "Gua ini sering dibicarakan penduduk desa. Konon, tempat ini bisa membuat seseorang mendengar gema dari jiwa-jiwa yang telah tiada."

Langit merasakan ketegangan di dalam dirinya. Dia sudah mendengar cerita itu sebelumnya, dan perasaannya mulai terombang-ambing. Bulan yang tenang tampaknya tidak merasa khawatir. "Kau ingin masuk lebih dalam?" tanyanya.

Langit menatap gua dengan ragu. "Aku... mungkin lebih baik kita tidak masuk terlalu dalam," ujarnya, berusaha meredakan rasa takutnya.

Bulan tersenyum lembut, mencoba meyakinkan. "Kita hanya perlu berhati-hati. Kadang, tempat-tempat seperti ini menyimpan cerita-cerita yang menarik."

Dengan sedikit dorongan dari Bulan, Langit akhirnya setuju untuk melangkah ke dalam gua. Mereka menyalakan senter ponsel masing-masing, menerangi dinding gua yang dipenuhi goresan-goresan aneh.

Di saat mereka melangkah lebih dalam, tiba-tiba, suara lembut melintas di pikirannya. "Langit..." suara itu seolah mengundang, mengusik hatinya yang penuh kerinduan.

"Hujan?" teriak Langit, suaranya bergema dalam dinding gua. Bulan menatapnya dengan bingung, tetapi Langit tidak peduli. Rasa ingin tahunya terus menggelora, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.

Ketika mereka menemukan ruangan kecil di dalam gua, dindingnya dipenuhi gambar-gambar kenangan. Tawa dan tangis mereka berdua saat bermain dan berlari bersama, ditambah cahaya lembut yang bersinar di tengah ruangan, seakan mengundang Langit untuk mendekat.

Di saat itu, dia mendengar suara Hujan menghilang. Langit merasa seolah sesuatu yang berharga telah melayang pergi. Dengan cepat, ia melangkah keluar dari gua, menemukan Bulan yang sudah menunggu di pintu gua.

"Kau baik-baik saja?" tanya Bulan khawatir, matanya penuh rasa cemas. Langit hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

"Mari kita pulang," ujar Bulan, mengulurkan tangannya. Langit meraih tangan Bulan, merasakan kehangatan dan dukungan yang dia butuhkan. Meskipun kenangan di dalam gua itu akan terus menghantui pikirannya, ia merasa sedikit lebih kuat, lebih berani menghadapi apa pun yang akan datang.

Malam itu, saat Langit berbaring di tempat tidurnya, pikirannya dipenuhi oleh gambaran-gambaran kenangan: tawa Hujan, permainan mereka, dan senyuman ceria adiknya. Dalam kegelapan, harapan dan ketakutan berbaur, menciptakan perasaan yang tak tertahankan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Langit merasa ada kemungkinan untuk memulai kembali, meski beban di pundaknya masih berat.

FLEETING ECHOESWhere stories live. Discover now