Bab 2: Gema Kenangan

3 0 0
                                    

Matahari belum sepenuhnya terbit ketika Langit terbangun dari tidurnya. Pikirannya masih berkecamuk setelah pengalaman di gua semalam. Suara Hujan yang samar, gambar-gambar yang terlukis di dinding gua, dan perasaan seolah-olah sesuatu yang telah lama hilang kembali berdesir di dalam dirinya. Dia merasakan dadanya sesak setiap kali memikirkan itu, tetapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

Ketika dia keluar dari kamarnya dan duduk di beranda depan rumahnya, dia melihat tetangga sebelahnya, Bulan, sedang menyapu halaman. Gadis itu terlihat sama tenangnya seperti biasanya, seolah apa yang terjadi semalam tidak terlalu membebani pikirannya. Langit sempat bingung dengan sikap tenang Bulan, tetapi mungkin itulah yang membuatnya berbeda—kekuatan menghadapi segala sesuatu dengan kedamaian.

"Pagi, Langit," sapa Bulan tanpa mengangkat pandangan dari sapuannya.

Langit hanya mengangguk sambil berusaha mengumpulkan kata-kata. Dia ingin bertanya banyak hal, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. "Pagi... soal kemarin, gua itu... apa kau merasa ada yang aneh?"

Bulan berhenti sejenak, lalu mengangkat wajahnya. Mata cokelatnya yang tenang menatap Langit dengan tatapan penuh pengertian. "Gua itu memang tempat yang misterius. Bukan hanya karena ceritanya, tapi karena bagaimana kita merasakan sesuatu di dalamnya. Menurutku, bukan hanya tempatnya yang penting, tapi apa yang kita bawa ke dalam gua itu."

Langit terdiam. Kata-kata Bulan terasa seperti menghantam sesuatu di dalam dirinya. "Apa maksudmu?"

"Gua itu seperti cermin," lanjut Bulan. "Ia hanya memantulkan apa yang kita bawa ke dalamnya—rasa sakit, kerinduan, harapan. Semua itu menjadi gema yang terdengar di dalam."

Langit menelan ludah, memikirkan hal itu dalam-dalam. Apakah perasaannya terhadap Hujan yang telah membuat dia mendengar suara adiknya di dalam gua? Ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita rakyat yang beredar di desa ini?

"Aku tidak tahu," Langit menggeleng. "Tapi yang jelas, aku merasa... seperti ada sesuatu di sana yang menarikku. Seolah gua itu tidak sekadar tempat biasa."

Bulan tersenyum tipis, kembali melanjutkan sapuannya. "Mungkin memang benar. Atau mungkin, hanya kita yang terlalu banyak berpikir."

Langit ingin mendebat, tapi dia menyadari bahwa mungkin Bulan ada benarnya. Dia terlalu terbawa oleh emosinya. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia abaikan—kenangan tentang Hujan yang kembali menghantui. Ia tidak ingin hal itu terus berlanjut, tapi entah bagaimana, ia merasa belum siap untuk benar-benar melepaskan.

******

Siang harinya, Langit memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Udara di desa ini jauh lebih segar dibandingkan kota besar tempat ia dulu tinggal. Namun, meski keindahan alam ini menenangkan, hatinya masih terasa berat. Langit melewati jalan setapak yang biasa dilalui warga desa, menyapa orang-orang yang ditemuinya, meski rasa asing masih melekat.

Saat ia berjalan menuju danau yang berada di tepi desa, dia melihat seorang gadis dengan rambut pendek cokelat sedikit acak-acakan tapi tampak manis, dengan kulit sedikit gelap seolah-olah ia sering beraktivitas diluar ruangan, ia duduk di tepi da...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Saat ia berjalan menuju danau yang berada di tepi desa, dia melihat seorang gadis dengan rambut pendek cokelat sedikit acak-acakan tapi tampak manis, dengan kulit sedikit gelap seolah-olah ia sering beraktivitas diluar ruangan, ia duduk di tepi danau, memandangi riak-riak kecil yang terbentuk oleh angin. Gadis itu adalah Mentari Binar, Langit mengenalnya dari sekolah, meski mereka belum terlalu dekat. Mentari adalah gadis yang ramah dan ceria, tatapannya penuh energi, seakan ia adalah sinar matahari dalam bentuk manusia, kontras dengan sifat pendiam Langit. Sejak pindah ke desa ini, ia sering mendengar tentang kepribadian cerah Mentari, tetapi tidak pernah terpikir untuk berinteraksi lebih jauh dengannya.

Mentari menyadari kehadiran Langit, lalu tersenyum hangat sambil melambai. "Langit! Kau juga suka ke sini, ya?"

Langit menghentikan langkahnya sejenak, agak terkejut karena disapa. Namun, dia kemudian membalas sapaan itu dengan senyum tipis. "Iya, aku sedang ingin jalan-jalan."

Mentari tertawa kecil, suaranya ringan dan menyegarkan, seperti pancaran sinar matahari yang menjadi namanya. "Aku sering ke sini saat butuh waktu sendirian. Tempat ini selalu membuatku tenang."

Langit melangkah lebih dekat dan duduk di sampingnya. Mereka berdua menatap permukaan danau yang tenang tanpa berkata apa-apa selama beberapa menit. Suasana di antara mereka terasa damai, tidak ada tekanan untuk berbicara.

"Aku dengar kau baru pindah ke sini," kata Mentari setelah beberapa saat.

Langit mengangguk. "Iya, sudah beberapa hari. Masih mencoba beradaptasi."

"Aku juga pernah merasa seperti itu waktu baru pindah ke sini," ujar Mentari, lalu menatap Langit. "Tapi lama-kelamaan, aku mulai merasa tempat ini adalah rumah."

Langit tidak menjawab. Rumah. Kata itu terdengar jauh baginya. Setelah kehilangan Hujan, rumah tidak lagi terasa seperti tempat yang aman dan nyaman. Ia sering merasa terombang-ambing, tidak tahu di mana dia seharusnya berada.

"Kau kelihatan berpikir keras," Mentari menyela, menarik perhatian Langit kembali ke dunia nyata. "Apa yang ada di pikiranmu?"

Langit terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk jujur. "Aku... hanya memikirkan sesuatu yang terjadi kemarin. Aku menemukan gua di tepi hutan. Rina bilang, gua itu bisa memantulkan gema dari jiwa-jiwa yang sudah tiada."

Mentari menatapnya dengan penuh minat. "Oh, gua itu! Aku pernah dengar tentangnya. Banyak orang di desa ini yang bicara soal gua itu, tapi aku sendiri belum pernah ke sana. Bagaimana menurutmu?"

Langit menghela napas panjang. "Aku tidak tahu. Di satu sisi, aku merasa aneh dan takut. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menarikku ke sana."

Mentari tersenyum, seolah memahami kebingungan Langit. "Mungkin itu cara alam semesta berbicara padamu. Kadang, kita butuh mendengarkan, bukan sekadar mendengar."

Langit menatap Mentari, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-katanya. Ada sesuatu yang menyenangkan dari gadis ini, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

"Kalau begitu, kapan-kapan kita pergi ke sana lagi?" Mentari menawarkan dengan senyum cerahnya.

Langit ragu-ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk pelan. "Mungkin."

******

Malam itu, saat Langit kembali ke kamarnya, dia mulai memikirkan kata-kata Bulan dan Mentari. Apakah gua itu benar-benar memantulkan gema dari jiwa-jiwa yang sudah tiada, atau hanya memantulkan apa yang ada di dalam hatinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema di pikirannya, semakin membuatnya penasaran.

Di tengah keheningan malam, bayangan Hujan kembali muncul dalam benaknya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah Hujan tersenyum padanya, bukan dengan kesedihan, tapi dengan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Langit menghela napas, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. "Aku belum siap melepaskanmu, An," gumamnya pelan.

Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa mungkin, hanya mungkin, waktunya untuk berdamai sudah semakin dekat.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 07 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FLEETING ECHOESWhere stories live. Discover now