≈Prolog≈

67 13 0
                                    

Benar memang hidup itu berotasi, Elvano kira dirinya berada diatas nyatanya dibawah. Melihat orang yang paling ia cintai bercumbu dengan sahabatnya sendiri, sakit rasanya. Bahkan mengorbankan satu-satunya keluarga yang ia punya untuk mengejar perempuan itu, dan sekarang hidupnya begitu hancur.

Dirinya begitu sibuk mengejar cinta, sampai lupa bahwa ada adiknya yang selalu menunggu dan berharap kakaknya akan menyayanginya selayaknya keluarga. Elvano terlalu sibuk sampai tak sadar adiknya sakit, mengetahuinya terlambat hingga adiknya hilang seutuhnya dari dunia.

Mengapa ia menyadarinya begitu terlambat, menyesal rasanya saja sudah tak pantas Elvano rasakan. Dirinya terlalu egois, dirinya terlalu terlena. Seharusnya ia lebih menghargai sosok adiknya, adiknya yang masih kecil itu, adiknya yang dititipkan oleh orangtua nya.

"Maaf Pa karena mengingkari janji, maaf Ma Elvano gak bisa jaga adek dengan baik"

Elvano terisak, dirinya berjalan gontai tanpa tentu arah. Hari sudah malam, langit sudah menggelap dengan bulan yang bersinar jauh lebih terang dari biasanya.

Dirinya berhenti saat lampu penyebrangan berubah merah, menatap kosong pada rambu. Menunggu untuk berubah menjadi hijau, Elvano rasa ia sudah tak memiliki arti hidup. Tapi di satu sisi, ia masih memiliki harapan untuk tetap hidup.

Berpikir kalau dirinya menyerah, keluarganya akan kecewa melihat dirinya begitu mudah menyerah. Ia ingin menjalani sekali lagi hidup dengan benar, demi adiknya, ibu, dan ayahnya. Ia akan terus hidup demi mereka, dan mati karena waktu.

Saat sedang melamun, rambu sudah berganti menjadi hijau. Elvano kembali berjalan dengan tatapan kosong, baru beberapa langkah sebuah cahaya terang dengan bisingnya klakson terdengar. Elvano menengok kearah suara, betapa terkejutnya ia. Mobil hitam melaju amat cepat ke arahnya.

Ingin menghindar namun entah mengapa tubuhnya tak mau bergerak, kepalang panik seperkian detik Elvano merasakan tubuhnya terlempar. Rasa sakit terasa, bau amir darah tercium, teriakan panik orang-orang terdengar.

Rasanya seperti dipermainkan semesta, baru saja dirinya yakin ingin terus menjalani hidup. Tak kurang beberapa menit dirinya pula tertabrak, ingin rasanya tertawa namun kini Elvano mati rasa.

Matanya mulai berat, perlahan Elvano menutup matanya. Enggan sebenarnya dirinya harus mati seperti ini, dirinya meminta untuk tetap hidup demi keluarga. Namun apa ini, dirinya malah mati usai berdoa seperti itu.

Satu yang diharapkan Elvano sebelum dirinya benar-benar menutup mata, menebus segala kesalahannya dan lebih sadar pada orang-orang yang benar-benar menyayanginya.

Find the Happy Ending Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang