Taehyung, CEO muda yang dikenal sebagai seorang perfeksionis, telah membangun perusahannya dengan ketelitian dan kedisiplinan yang luar biasa. Setiap detail, dari rapat penting hingga tata letak ruang kantor, tidak pernah luput dari perhatiannya. Bahkan cara ia menyusun alat tulis di meja kerjanya harus dalam garis yang sempurna. Bagi karyawan, Taehyung bukan hanya bos yang teliti, tapi juga sumber ketegangan yang konstan karena harapan tingginya. Namun, hari itu, sesuatu yang di luar kendalinya menghampiri—sesuatu yang tidak bisa ia prediksi dengan spreadsheet atau rencana jangka panjang.
Pagi itu, Taehyung sedang memeriksa resume calon karyawan baru yang akan diwawancarai. Ia tidak menyangka bahwa salah satu nama di tumpukan itu akan membawa kenangan lama.
"Jennie Kim?" gumamnya sambil mengerutkan dahi. Nama itu terdengar begitu familiar. Ia lalu teringat dengan jelas. Jennie Kim, mantan pacarnya yang berakhir dengan... yah, tidak begitu baik.
Saat itu juga pintu ruang wawancara terbuka, dan di sana berdiri Jennie, dengan senyuman cerah yang tidak pernah berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Namun, alih-alih canggung atau terkejut, Jennie hanya memandang Taehyung dengan wajah polos dan berkata, "Hai, Taehyung! Lama tidak bertemu. Jadi, kamu yang bakal jadi bosku?"
Taehyung, yang biasanya selalu tenang dan penuh kendali, hampir tersedak kopi yang baru saja ia teguk. "Kamu... kamu melamar di perusahaanku?" tanyanya dengan nada datar, berusaha tetap profesional meskipun dalam hatinya, alarm kebingungan mulai berbunyi keras.
Jennie mengangguk santai. "Iya, aku lihat lowongannya menarik, dan aku butuh pekerjaan. Jadi, kenapa tidak?" katanya ringan, seolah wawancara ini sama sekali bukan masalah besar.
Taehyung menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Baiklah, kita mulai wawancaranya," ucapnya dengan nada serius, meskipun dalam benaknya, ia merasa ini seperti lelucon yang buruk dari masa lalunya.
Sepanjang wawancara, bukannya menjawab pertanyaan dengan serius, Jennie malah membuat komentar-komentar yang tidak relevan, seperti, "Jadi, kamu masih minum kopi hitam? Aku ingat kamu dulu tidak bisa tidur kalau minum itu terlalu malam," dan "Kamu masih perfeksionis ya? Lihat cara kamu menata pena itu, benar-benar Taehyung banget."
Taehyung, yang biasanya kaku dan fokus, mendapati dirinya lebih sibuk menahan tawa dan frustrasi sekaligus. "Jennie, fokus," ucapnya tegas, tapi Jennie hanya tertawa kecil.
Pada akhirnya, wawancara yang seharusnya berlangsung dengan formalitas profesional berubah menjadi nostalgia yang aneh dan lucu. Dan meskipun Taehyung mencoba tetap perfeksionis dan objektif, satu hal yang pasti: ia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akan menjadi hari di mana ia harus mempertimbangkan merekrut mantan pacarnya yang tidak pernah berubah dengan segala tingkah semaunya.
Taehyung berusaha mengembalikan kendalinya. Ia menyesuaikan dasinya, menumpuk kembali dokumen-dokumen di depannya agar lurus, dan berdehem sebelum melanjutkan wawancara yang sudah melenceng jauh dari yang ia bayangkan.
"Oke, Jennie, aku butuh tahu tentang pengalaman kerjamu yang relevan untuk posisi ini. Bisa kita fokus ke sana?" Taehyung memandang Jennie dengan tatapan serius, berharap ini bisa membawa percakapan kembali ke jalur yang benar.
Namun, Jennie hanya mengangkat alis dan tersenyum jahil. "Pengalaman kerja yang relevan? Hmm... apakah menghancurkan hati bosmu di masa lalu termasuk?" godanya sambil menahan tawa.
Taehyung menahan napas, tidak ingin merespon provokasi Jennie. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan Jennie yang santai ini, namun entah bagaimana, wajahnya yang serius tampak semakin kaku.
Jennie melanjutkan, “Tenang aja, aku janji kali ini nggak bakal bikin drama di kantor. Setidaknya, aku harap nggak ada insiden lain seperti saat di sekolah waktu kita—"