03 - RAINS IN HEAVEN

6 2 0
                                    

Happy Reading

Sadewa melangkah pelan memasuki rumahnya, setelah mengantar Aline pulang. Ketika ia membuka pintu ruang tamu, pandangannya langsung bertemu dengan ayahnya yang duduk tegak di sofa, seolah menunggu. Ada ketegangan dalam udara, dan Sadewa tahu, percakapan serius tak terelakkan.

“Ayah sudah menunggumu,” suara berat Ridwan, Ayahnya memecah keheningan.

“Duduklah,” ujar Ridwan, tanpa basa-basi.

Sadewa menurut, meski hatinya mulai tak nyaman. Tangannya bergetar sedikit saat meletakkan tasnya di samping, lalu duduk di kursi di seberang ayahnya. Ia bisa merasakan berat percakapan ini, seolah ruangan itu dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat.

“Kamu sudah dewasa, Sadewa,” Ridwan memulai dengan nada datar. “Sebentar lagi kamu akan lulus, dan sudah waktunya kamu mulai berpikir serius tentang masa depan. Ayah sudah memutuskan. Setelah kelulusanmu, kamu akan meneruskan perusahaan ini. Dan untuk itu, Ayah sudah mengatur agar kamu melanjutkan pendidikanmu ke luar negeri.”

Kalimat itu terdengar seperti vonis yang tak terbantahkan. Sadewa duduk membisu sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Ke luar negeri? Melanjutkan perusahaan? Bukan itu yang ia inginkan. Bukan itu yang selama ini ia bayangkan untuk dirinya.

Sadewa merasakan tubuhnya tegang. Matanya beralih ke arah ayahnya, melihat sosok yang selalu tegas, kuat, dan tak pernah mengenal kompromi. Sadewa tahu, bagi ayahnya, ini bukan sekadar usulan. Ini adalah keputusan final, tanpa ruang untuk bantahan.

“Ayah…” Sadewa memulai dengan suara yang berat.

“Aku menghargai semua yang Ayah lakukan untukku. Aku tahu Ayah bekerja keras untuk membangun perusahaan ini dari nol. Tapi, aku punya mimpiku sendiri. Aku ingin memilih jalan hidupku, Ayah. Aku tidak ingin meneruskan perusahaan. Aku… ingin melakukan sesuatu yang berbeda.”

Ada jeda yang panjang. Ridwan menatapnya tanpa berkedip, seolah menimbang kata-kata itu. Tetapi, bukannya meredakan ketegangan, udara di ruangan itu malah semakin tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan.

“Sadewa,” suara Ridwan a terdengar lebih dingin sekarang, “ini bukan soal keinginan. Ini soal tanggung jawab. Perusahaan ini adalah bagian dari warisan keluarga kita. Apa yang Ayah bangun selama ini bukan hanya untuk Ayah, tapi untuk kamu. Untuk masa depanmu. Tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal sepele. Kamu harus fokus pada apa yang sudah Ayah siapkan.”

Sadewa mengepalkan tangannya, menahan amarah yang mulai bergemuruh di dalam dirinya. Baginya, mimpinya bukan hal yang sepele. Itu adalah bagian dari dirinya, bagian yang ia pegang erat, meski selama ini tidak pernah diakui oleh ayahnya.

“Tapi, Ayah,” Sadewa mencoba sekali lagi, kali ini suaranya lebih tegas,

“mimpiku bukanlah perusahaan ini. Aku punya rencana sendiri. Aku ingin bekerja di bidang yang aku cintai, bukan sekadar meneruskan apa yang sudah ada. Aku ingin hidup dengan pilihanku, bukan dengan paksaan.”

Ridwan mendengus kecil, jelas tidak terkesan dengan argumen Sadewa. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam, seolah-olah kata-kata Sadewa adalah pengkhianatan terhadap semua yang ia yakini.

“Kamu bicara seolah hidup ini bisa hanya diisi dengan mimpi. Sadewa, hidup adalah tentang tanggung jawab. Kamu tidak bisa memilih apa yang ingin kamu lakukan dengan seenaknya. Kamu adalah bagian dari keluarga ini, dan sebagai anak Ayah, kamu punya kewajiban untuk meneruskan apa yang sudah dibangun. Kamu akan melanjutkan pendidikanmu ke luar negeri dan menjalankan perusahaan ini. Itu final.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAINS IN HEAVENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang