Siang itu, matahari terik menyinari lapangan sekolah, memantulkan cahaya dari genting-genting bangunan dan pepohonan rindang di sekitarnya. Angin sesekali berhembus, membawa sedikit kesejukan ke wajah Dewangga yang kini berjalan perlahan di sepanjang balkon. Dari ketinggian lantai dua, dia masih bisa melihat keramaian di bawah, di mana para murid baru sedang berkumpul mengikuti berbagai arahan panitia.
Dewangga tidak bisa melepaskan pandangannya dari Putri. Meskipun dikelilingi oleh keramaian, Putri tampak seperti berada di dunianya sendiri. Wajahnya yang polos namun anggun menyiratkan misteri yang sulit ditebak. Dewangga merasa ada sesuatu di balik ketenangan itu. Sementara teman-teman lainnya sibuk bercanda, tertawa, dan saling mengenal, Putri hanya berdiri diam dengan tatapan jauh, seperti mengamati sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain.
Sementara itu, di lapangan, seorang panitia OSIS yang lain sedang berusaha mengatur barisan. Suara teriakan dan tawa mengisi udara, namun tidak ada satu pun suara yang berasal dari Putri.
"Cewek itu kenapa, ya? Kok kayak nggak nyaman banget?" tanya Dewangga dalam hati.
Bukan berarti Dewangga tipe orang yang sering memerhatikan orang lain dengan begitu serius. Biasanya, dia hanya tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan basket, OSIS, atau kadang-kadang, membuat sedikit kehebohan bersama Tegas dan Galang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari biasanya.
Saat Dewangga berjalan menuju tangga untuk turun ke lapangan, dia berhenti sejenak. Pikirannya berkecamuk. “Apa yang gue lakuin? Masa cuma gara-gara cewek pendiam kayak gitu gue sampai segini penasaran?” gumamnya pelan.
Tapi, langkah kakinya tak berhenti. Dia melangkah ke bawah, menuju kerumunan. Kepalanya mulai mencari sosok Putri, yang masih berdiri di ujung barisan. Saat jaraknya semakin dekat, Dewangga menyadari bahwa Putri memegang buku catatan kecil di tangannya. Buku itu terlihat usang, dengan sampul yang mulai memudar. Matanya terus menatap halaman-halaman buku itu, seolah-olah dunia di sekitarnya tak ada.
Dewangga tak tahu harus bagaimana. Dia tak biasa memulai percakapan dengan seseorang yang asing baginya, apalagi seseorang yang begitu tertutup seperti Putri. Tapi entah mengapa, rasa penasaran ini begitu kuat. Mungkin karena gadis itu tidak seperti murid baru lainnya—yang kebanyakan tampak bingung, canggung, atau terlalu bersemangat. Putri berbeda, dan perbedaan itu menarik Dewangga seperti magnet.
"Eh, bro, lo kenapa?" Tegar tiba-tiba muncul di belakangnya, mengagetkan Dewangga. Tegas dan Galang rupanya menyusul setelah melihat temannya turun sendiri ke lapangan.
Dewangga menghela napas, berusaha mengalihkan pikiran. "Nggak ada apa-apa. Cuma... penasaran aja."
Tegar dan Galang saling bertukar pandang, lalu tertawa kecil. "Penasaran? Sama murid baru? Wah, ini baru pertama kali gue lihat lo gini, Gga," kata Galang, suaranya terdengar mengejek namun tidak berniat jahat.
Dewangga menatap mereka sekilas, lalu kembali memandang ke arah Putri yang kini mulai bergabung dengan kelompok murid lainnya. Dia tidak tahu bagaimana caranya mendekati gadis itu tanpa terlihat aneh, apalagi di depan teman-temannya. Dewangga memang dikenal sebagai sosok yang percaya diri di lapangan basket dan dalam urusan OSIS, tapi menghadapi sesuatu yang baru seperti ini, hatinya sedikit gentar.
“Kita lihat aja nanti,” gumam Dewangga pada dirinya sendiri, sambil terus memandang ke arah Putri. “Mungkin gue bisa cari kesempatan buat kenalan... pelan-pelan.”
Namun, Dewangga belum tahu bahwa pertemuannya dengan Putri tidak akan semudah yang dia bayangkan. Ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik sosok pendiam itu. Gadis yang diam dan tenang di sudut lapangan itu ternyata menyimpan cerita yang bisa mengubah hidup Dewangga—lebih dari sekadar rasa penasaran sesaat.