-

1 0 0
                                    

Matahari siang bersinar terik di atas kepala saat Dewangga melaju dengan motor sport kesayangannya. Suara deru mesin motor terdengar nyaring, mengisi jalanan yang lengang. Tujuannya jelas: rumah Vito. Hari Sabtu ini, mereka sudah merencanakan untuk nongkrong bersama. Dewangga mengenakan jaket kulit hitam, helm full-face yang hampir selalu menemani tiap perjalanan, dan sepasang kacamata hitam yang melindunginya dari sinar matahari.

Sesampainya di rumah Vito, Dewangga melihat temannya itu sudah berdiri di halaman, siap dengan motornya. "Bro, kita berangkat sekarang?" tanya Vito sambil melambaikan tangan.

Dewangga mematikan mesin motornya dan melepas helm. "Gas. Mau ke mana, nih?"

Vito tersenyum kecil. "Gue mau jemput temen gue dulu, namanya Reva. Dia ikut ya? Nggak masalah, kan?"

Dewangga hanya mengangguk. "Santai aja, nggak masalah."

Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera berangkat. Vito memimpin perjalanan dengan motornya, sementara Dewangga mengikuti dari belakang. Setelah beberapa menit, mereka sampai di sebuah gang kecil, tepat di depan rumah Reva. "Lo tunggu sini aja, gue jemput dia dulu," kata Vito sebelum masuk ke gang itu. Dewangga mengangguk dan memarkir motornya di pinggir jalan.

Waktu berlalu, dan Vito belum juga kembali. Dewangga mulai merasa bosan. Ia berjalan menuju warung kecil yang terletak di seberang jalan, membeli sebotol es teh dan sebungkus rokok. Setelah menyalakan rokoknya, dia bersandar di dinding warung, menikmati udara siang yang panas dan sesekali meminum es teh yang dingin.

"Mana sih nih orang, lama banget," gumamnya sambil memerhatikan gang yang masih sepi.

Tak lama kemudian, Dewangga melihat Vito akhirnya muncul, berjalan berdua dengan seorang gadis. Dari kejauhan, gadis itu terlihat biasa saja, namun semakin dekat mereka, Dewangga mulai menyadari sesuatu. Wajah itu... wajah yang sudah dikenalnya. Gadis yang berjalan di samping Vito itu tidak lain adalah Putri—gadis yang mengisi pikirannya beberapa hari terakhir ini.

Sekelebat senyum tipis muncul di bibir Dewangga. Dunia ini memang kecil, pikirnya. Tanpa banyak bicara, dia segera memasang helmnya dan menghidupkan motor. "Bro, gue duluan ya, lo bawa dia baik-baik," katanya sambil memberi isyarat kepada Vito, lalu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan mereka berdua.

Tujuan berikutnya adalah rumah kakaknya, Dian. Sudah menjadi kebiasaan bagi Dewangga untuk mampir setiap akhir pekan. Sesampainya di rumah Dian, dia melihat mobil kakaknya sudah terparkir di depan rumah. Di teras, Dian sedang duduk santai bersama Intan, kekasihnya, dan Raffi, adik dari Intan yang sering kali ikut berkumpul bersama mereka.

"Eh, Dewa, akhirnya lo sampai juga," kata Dian sambil melambaikan tangannya. "Sini, gabung."

Dewangga berjalan mendekat dan menyapa mereka. "Lo udah kumpul dari kapan?" tanyanya sambil meletakkan helm di atas meja.

"Baru aja," jawab Intan sambil tersenyum. "Kita nunggu Vito sama Reva juga. Lo pasti tahu Reva kan? Temennya Vito."

Dewangga pura-pura tidak tahu. "Oh, Reva yang mana tuh?"

Raffi, yang duduk di samping Dian, tertawa kecil. "Lo bakal tahu nanti kalau udah ketemu."

Obrolan berlanjut santai, dan tak lama kemudian, Dian mengusulkan sesuatu. "Kayaknya asyik kalau kita beli minuman, ya? Gimana kalau Vito sama Raffi yang beli?"

Dewangga mengangguk setuju. "Boleh, biar mereka yang jalan. Vito kan baru dateng, suruh dia gerak dikit."

Setelah Raffi dan Vito pergi membeli minuman, suasana mulai lebih santai. Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda dan membicarakan berbagai hal. Begitu minuman tiba, suasana menjadi semakin cair. Mereka mulai meminum alkohol, dan perlahan, efeknya mulai terasa.

Dewangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang