Senin pagi, matahari sudah tinggi, dan sinarnya menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar Dewangga. Namun, dia masih terlelap di tempat tidurnya, berselimut tebal, tak menyadari waktu yang terus berjalan. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 9:30 ketika ia akhirnya terbangun dengan mata yang masih terasa berat.
Dewangga terkejut. “Sial, udah jam setengah sepuluh,” gumamnya, setengah mengutuk dirinya sendiri. Ia biasanya sudah berada di sekolah pada jam-jam seperti ini, namun kali ini, dia terbangun jauh terlambat.
Setelah beberapa detik menatap langit-langit kamarnya, Dewangga akhirnya memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah hari itu. Bolos, pikirnya. Toh, satu hari ini tidak akan mengubah banyak hal. Ia menarik nafas panjang, melemaskan tubuh yang masih kaku, lalu duduk di tepi tempat tidur.
Setelah beberapa saat merenung, Dewangga meraih ponselnya. Satu nama terlintas di benaknya: Putri. Meski jarang bolos, ia merasa hari ini perlu berbicara dengan seseorang, dan Putri tampaknya adalah pilihan terbaik. Tanpa pikir panjang, ia membuka aplikasi pesan dan mengetik singkat: Pagi, Put. Lagi sibuk apa?
Di tempat lain, Putri sedang berada di sekolah, tepatnya di ruang kelas yang sunyi karena para siswa sibuk dengan tugas masing-masing. Guru sejarah mereka, Bu Lusi, baru saja memberikan tugas peta konsep mengenai kronologi sejarah nasional. Putri fokus mengerjakan tugasnya di meja, ketika notifikasi pesan dari Dewangga muncul di ponselnya. Ia tersenyum kecil melihat pesan itu.
Sibuk tugas dari Bu Lusi. Lo nggak masuk ya hari ini? balas Putri, sambil melanjutkan membuat diagram di bukunya.
Dewangga tersenyum melihat respons Putri. Nggak masuk, bangun kesiangan. Lo udah makan siang?
Obrolan mereka berlanjut selama beberapa waktu, meski Putri harus membagi fokusnya antara tugas sejarah dan pesan dari Dewangga. Waktu terus berjalan, dan sebelum mereka sadar, jam sudah menunjukkan sore hari. Dewangga melirik jam di ponselnya dan menyadari dia belum mandi ataupun makan.
"Kayaknya gue harus mandi nih, udah sore," gumamnya pada diri sendiri.
Dia melangkah malas menuju kamar mandi, membiarkan air dingin membasahi tubuhnya. Sementara itu, pikirannya terus teralihkan pada obrolan dengan Putri. Ada sesuatu dalam percakapan mereka yang membuatnya merasa lebih santai, seolah Putri adalah seseorang yang bisa ia andalkan untuk berbagi, meski hubungan mereka baru sebatas percakapan singkat.
Selesai mandi, Dewangga mengenakan pakaian santai dan turun ke dapur. Di meja makan, ia menyiapkan nasi dan lauk sederhana yang tersisa di kulkas. Sendiri di rumah seperti biasanya, dia duduk di meja makan yang luas, menatap ke luar jendela sambil menikmati makanannya. Meski begitu, rasa sepi yang biasa menyelimutinya kini tak terasa seberat biasanya—mungkin karena kehadiran Putri dalam hidupnya, walaupun hanya melalui pesan teks.
Setelah menyelesaikan makan siangnya dengan perlahan, Dewangga memutuskan untuk keluar sebentar. Duduk sendirian di rumah terlalu lama bisa membuatnya merasa bosan. Dia akhirnya memilih untuk pergi ke rumah Galang—teman lamanya yang sudah seperti saudara sendiri. Galang adalah salah satu dari sedikit orang yang memahami Dewangga sepenuhnya, begitu juga keluarganya yang selalu memperlakukan Dewangga dengan hangat setiap kali ia berkunjung.
Dewangga menaiki motornya, menghidupkan mesin, dan meluncur dengan kecepatan sedang melewati jalanan sore yang ramai. Udara sore terasa segar, mengalir melalui jaket yang dikenakannya. Tidak butuh waktu lama sebelum ia tiba di depan rumah Galang, sebuah rumah sederhana namun selalu tampak hidup dengan tawa dan percakapan keluarga.
Begitu mengetuk pintu, Dewangga langsung disambut oleh Ibu Galang yang membuka pintu dengan senyuman lebar.
“Dewangga! Tumben sore-sore ke sini, sayang?” sapanya ramah, dengan nada penuh kehangatan.