Sudah tiga minggu berlalu sejak Dewangga semakin dekat dengan Putri. Mereka sering bertukar pesan dan berbincang saat di sekolah, membuat hubungan mereka semakin akrab. Pada suatu sore, saat bel pulang berbunyi, Dewangga mendapati Putri berdiri di depan gerbang sekolah, tampak sedikit ragu-ragu sambil menunggu angkutan umum.
Dewangga memarkirkan motornya di dekatnya dan tersenyum. “Put, kalau nggak keberatan, ikut aku aja. Aku bisa anterin kamu pulang,” ucapnya dengan santai.
Putri tampak terkejut namun tersenyum lembut, mengangguk setuju. Mereka pun melaju bersama di atas motor Dewangga, meninggalkan keramaian sekolah. Sepanjang perjalanan, Dewangga mencoba mencairkan suasana dengan obrolan ringan. Putri, yang biasanya pendiam, mulai tersenyum lebih banyak, tampak nyaman dengan kehadiran Dewangga di sisinya.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, Vito, Aldi, dan Arsya memperhatikan mereka. Tiga sekawan itu penasaran melihat kedekatan Dewangga dengan Putri, apalagi belakangan ini Dewangga memang lebih sering terlihat bersama gadis itu. Dengan diam-diam, mereka memutuskan mengikuti dari kejauhan, memastikan tidak tertinggal jejak di tengah lalu lintas sore yang padat.
Begitu mereka tiba di gang rumah Putri, Dewangga melambatkan laju motor, berniat menurunkannya di ujung gang. “Makasih ya, Dewa,” ucap Putri sambil tersenyum canggung, matanya bersinar lembut.
“Ya, sama-sama. Sampai rumah, ya,” jawab Dewangga sambil membalas senyum Putri.
Saat Dewangga hendak memutar balik motornya, ia melihat sosok Vito, Aldi, dan Arsya di seberang jalan. Mereka sedang duduk di atas motor masing-masing, tersenyum iseng sambil menatap ke arahnya dan Putri. Dewangga menghela napas dalam hati, sedikit kesal namun tak terlalu terkejut melihat kelakuan teman-temannya yang suka iseng.
Dewangga melajukan motornya mendekati mereka, sementara Putri berjalan masuk ke gang rumahnya. Vito langsung menyapa dengan nada menggoda, “Wih, serius nih, Dewa? Udah sering anter pulang?”
Dewangga hanya terkekeh, berusaha tak ambil pusing dengan godaan Vito. “Udahlah, gue cuma nganterin aja. Lu pada ngapain di sini, sih?”
Aldi ikut tertawa, “Ah, kita kan cuma lewat, bro. Kebetulan banget ngeliat lu lagi boncengin cewek.”
Dewangga menggeleng, merasa bahwa mereka pasti sudah mengikutinya dari tadi. “Yaudah, kalau nggak ada yang penting, gue balik dulu, ya.”
Namun, sebelum Dewangga sempat melajukan motornya, Aldi langsung menawarkan ide. “Eits, tunggu dulu! Gue punya ide. Mumpung udah pada kumpul, gimana kalau kita nongkrong di rumah gue aja? Udah lama juga kita nggak ngumpul bareng.”
Dewangga awalnya ragu, tapi melihat antusiasme Vito dan Arsya, akhirnya ia setuju. Mereka pun melajukan motor menuju rumah Aldi, melewati jalanan sore yang mulai sepi. Perjalanan terasa santai, dengan obrolan ringan yang sesekali mereka lontarkan di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di rumah Aldi, mereka disambut oleh suasana rumah yang sepi. Aldi membawa mereka masuk ke ruang tamu yang nyaman, dengan sofa besar dan meja kecil di tengahnya. Televisi di sudut ruangan menyala, namun tak ada siapa pun di sana selain mereka berempat.
Aldi tersenyum sambil membuka kulkas di dapurnya, mengeluarkan beberapa botol minuman dingin. “Ini buat kita. Tenang aja, rumah lagi kosong, jadi bebas nongkrong lama,” ujarnya sambil meletakkan minuman di meja.
Dewangga, Vito, dan Arsya duduk santai, membuka obrolan ringan seputar kegiatan mereka di sekolah dan topik-topik lain yang sedang hangat. Obrolan perlahan mengarah pada Dewangga dan Putri, seperti yang sudah ditebak Dewangga sebelumnya.
Vito tak menahan rasa penasaran, “Eh, Dewa, jadi lu beneran deket sama Putri?”
Dewangga tertawa kecil, mencoba menghindari pertanyaan itu dengan gaya santainya, “Ya, gitu deh. Kenal, ngobrol, ya biasa aja.”