Bab 1. Melihatmu

31 7 6
                                    

Hai! Gue Kalingga Adyava seorang cowok yang terkenal dengan gelar 'kutu buku' dan 'puitis'. Terkadang gue bingung harus bangga dengan gelar itu.

Tapi, untuk hari ini gue sejenak melupakan gelar itu. Hari ini dimana gue pertama kali sekolah dengan mengenakan seragam Sekolah Menengah Atas atau SMA.

Setahun lalu gue membayangkan seperti apa indahnya kehidupan SMA, penuh percintaan, drama, dan susah senangnya dengan sahabatnya, seperti cerita yang sudah gue tulis sebelumnya dengan tema SMA.

Gue penulis loh... Ya walaupun kecil-kecilan tapi viewersnya ya lumayan buat penulis kecil seperti gue! Salah satu cerita gue sudah mencapai dua ribu pembaca. Eitttsss... Back to the topic.

Kini langkah kaki gue membawa diri ini ke meja makan setelah menaiki tangga yang di lapisi dengan cat emas. tas dan seragam SMA sudah ada di tubuh dan tangan gue.

Pria yang rambutnya sudah memutih dengan kumisnya yang juga memutih terlihat tersenyum melihat ketiga anaknya. Ya, gue dan kedua abang gue. Abang pertama gue bernama Madava Arslan Adyava, dia sudah berumur dua puluh lima tahun, wajahnya sangat tampan dengan rahang yang tegas, hampir sama dengan abang kedua gue yang berbeda tahun yang hanya terpaut tiga tahun, namanya Madhava Adyava.

"Kayanya adek kalian itu, Kalingga sangat senang hari ini."

Waduh! Bisa-bisanya papa mengetahui senyuman di bibir gue ini lolos dari pandangan papa gue yang tajam.

"Anaknya baru masuk SMA, pa, hari ini," ujar bang Dhava menyahut ucapan papa.

"Oh iya? Kok papa lupa ya?" Sahut papa sambil mengingat lagi bahwa anak bungsunya ini sudah berumur berapa.

"Bukannya masih tiga belas tahun ya?"

Ucapan papa itu mampu membuat senyum gue memudar, "15 pah! Aku 15 tahun ini! Isss..."

Mendengar ucapan gue itu, entah mengapa mereka bertiga sontak tertawa dengan kekehnya sampai tak memperdulikan lagi piring yang masih di penuhi nasi itu.

Sesaat perasaan hati ini menghangat melihat mereka bertiga. Entah mengapa hal-hal seperti sangat gue inginkan dalam keluarga gue.

"Kalian bertiga ya! Berani-beraninya menertawakan anak mama, kamu lagi, pa!"

Itu dia, sosok wanita dengan raut wajah yang masih terlihat muda itu datang membela gue. Dia bunda gue, bunda Ratna.

***

Kini, langkah kaki gue membawa gue memasuki halaman SMA yang di beri nama Harmoni Gemilang ini.

Terlihat jelas di dalam sekolah sudah di padati dengan warga sekolah, di dominasi dengan para kakak kelas berjalan di koridor sekolah. Tapi, tiba-tiba saja suasana sekolah mendadak menjadi heboh dan seluruh siswi berteriak serempak memanggil satu nama.

"Mereka datang! Lioskar gue!"

"Geng Thunder Cobra datang!"

Hanya itu lah yang bisa gue denger dari mereka siswi yang sudah berbondong-bondong melihat dari arah belakang pintu masuk sekolah. Gue yang berada tepat di tengah-tengah hanya bisa diam terpaku dan bingung mau melakukan apapun.

Suasana heboh para siswi itu seketika semakin keras seketika saat suara knalpot motor yang semakin lama semakin terdengar dengan jelasnya.

Tanpa membutuhkan waktu lama terlihatlah tiga cowok kompak mengenakan jaket kulit berwarna coklat dan berlogokan Thunder Cobra. Dengan satu orang yang memimpin jalan, wajahnya tertutupi helm full face sehingga menghalangi gue melihat wajahnya, begitupun dua cowok yang ada di belakangnya.

Tapi, setelah motor mereka terparkirkan gue pun bisa melihat wajah-wajah mereka satu persatu. Sumpah ya! Baru kali ini gue lihat wajah cowok yang sangat tampan! Seperti karakter di novel-novel yang gue baca loh!

Hal itu menambah kehisterisan para siswi, dan mereka pun mulai menggenggam ponselnya untuk memotret dan merekamnya, tak mau kehilangan saat yang bagus bagi mereka.

Gue pun menjadi terfokus dengan mereka, melihat aksi mereka seperti ini kembali mengingatkan gue kepada adegan-adegan di novel-novel yang pernah gue baca.

Entah mengapa, salah satu anggota geng itu menghentikan langkahnya di depan gue dengan senyuman manisnya. Lalu menyentuh bahu gue dan kembali beranjak pergi, dengan sikap cowok itu membuat gue bingung. Dia kenapa? Apakah dia udah kenal sama gue? Batin gue.

Setelah memikirkan hal itu, gue pun baru sadar ternyata para gerombolan siswi itu sudah menghilang dan mengikuti para anggota geng motor yang sepertinya cukup terkenal di SMA ini.

"Tunggu pak! Jangan di tutup!"

Suara pekikan seorang perempuan itu mampu kembali mengahlikan pandangan gue, dan yang sehatus gue beranjak meninggalkan tempat ini jadinya terhenti karena penasaran siapa pemilik suara itu.

Ternyata dugaanku benar, dia seorang perempuan yang cantik. Rambut hitamnya yang halus terombang-ambing akibat langkahnya yang cepat, dan tepat di dekat matanya terdapat sebuah kertas kecil berwarna biru yang berbentuk bintang.

Dengan kartu name tag yang berada tergantung di lehernya. Sesaat melihat hal itu, entah mengapa sudut bibir ini tertarik melihat perempuan itu yang gue yakini adalah kakak tingkat sekaligus panitia osis.

Saat perempuan itu melewati gue, senyuman dari bibir tipisnya itu dia perlihatkan kepada gue. Karena hal itu, senyuman tipis ini langsung memudar dan tergantikan dengan degup jantung yang sudah tak karuan.

***

Untung saja gue belum terlalu terlambat masuk di dalam kelas yang untuk setiap peserta didik di haruskan memasuki kelasnya sesuai nama yang sudah diberitahukan.

Mata ini terus memandang seisi kelas yang sudah ramai dengan para murid baru yang sama dengan gue. Namun, masalahnya sekarang tak ada satupun kenalan gue yang terlihat di ruangan kelas ini.

"Sam!"

Suara pekikan itu berasal dari seorang cowok yang gue kenal, dia bernama Alvaro. Tanpa berfikir panjang gue pun langsung berlari dan menuju bangku yang ada di sebelahnya.

Bel masuk pun berbunyi, hal ini membuat gue semakin semangat untuk memulai jam pagi ini di sekolah baru dan akan berkenalan nantinya.

Aduh! Gue lupa!

Ternyata sampah bungkus jajanan yang gue beli dari kantin ternyata belum gue buang. Tanpa berfikir panjang lagi gue berjalan cepat menuju tempat sampah yang berada di depan kelas.

"ARRRGGGHHH!"

Namun, entah mimpi apa gue semalam, bisa-bisanya tak hati-dan harus tertabrak dengan kakak tingkat itu.

Untung saja gue menahan tubuh kakak itu, jika tidak dia akan terjatuh. Tapi, tunggu dulu, gue baru menyadari kalau ternyata posisi badan gue sudah bersandar dengan tiang sedangkan tangan kakak itu sudah berada di dada gue dan hampir saja... KAMI BERCIUMAN!!!!.

-BERSAMBUNG-

Kalingga: Cinta & SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang