Suara gemuruh petir di kala langit sudah menggelap memperlihatkan dirinya. Suara orang yang berdesak-desakan mengisi ruangan yang mendominasi dengan cat putih.
Di dalam ruangan UGD terlihat sudah tiga suster dan satu dokter perempuan yang asik sibuk dengan alat-alatnya. Seorang ibu dengan wajah panik dan penuh dengan pelu keringat terlihat memenuhi pipi dan keningnya.
Sang suami pun berdiri di samping istrinya dengan saling berpegangan tangan ahli-ahli menguatkan sang istri, namun rasanya kekuatannya sudah mau habis.
"Ayo buk, sedikit lagi anaknya akan keluar!" ucap sang dokter.
Dengan satu tekenan atas sisa kekuatan terakhirnya iya pergunakan untuk mengakhiri semua rasa kelelahan ini dan mendapatkan hadiah indah dari Tuhan.
Tapi, belum sempat mendengar suara tangis anaknya sedetik pun, wanita itu terlihat sudah tak sadarkan diri dan genggaman tangannya pun terlepas.
"Mil? Mila? Sadar mil!" Sang suami pun seketika panik, tangannya mengelus pipi istrinya berharap wanita kesayangannya itu sadar.
Hasilnya nihil, dokter pun menyuruh pria itu untuk memberikan jarak dan memulai pemeriksaan pasiennya dengan alat stetoskop andalannya.
Raut wajah dokter yang ber-name tag Azahra Keizha itu berubah seketika saat alatnya itu sudah tak ia pegang.
"Maaf pak, istri bapak tidak dapat di selamatkan."
"Gak... Gak mungkin dok..." lirih pria itu dengan Isak tangis yang mulai tak tertahankan.
Sesaat pria itu sudah mulai mengeluarkan beberapa tetesan air matanya di samping istrinya, salah satu suster datang membawakan bayi yang sudah terselimuti dengan kain tebal.
"Selamat ya pak anaknya laki-laki, matanya mirip banget sama bapak." Ucap suster itu dengan senyumannya.
Pria itu memberhentikan tangisannya dan mulai mengangkat tangannya yang menutupi wajahnya. Terlihat jelas bahwa wajah pria itu sangat sinis, seperti tak mengharapkan bayi itu lahir.
"Dia pembunuh! Dia membunuh anak saya!"
"Sadar pak, ini anak bapak yang baru saja lahir."
"Baru lahir aja udah merenggut nyawa istri saya, apalagi besarnya nanti!"
"Setidaknya berikan nama anak malang ini pak." Sang dokter mulai angkat suara.
"Demi istri saya, Kamila Andini, yang sudah memberikan nama anak ini sebelumnya, Kalingga Adyava, dan mulai detik ini juga anak ini tidak memiliki hubungan apapun dengan saya."
***
Beberapa bulan kemudian...
"Ayolah, Bram! Gue udah sendiri, dan gue pastinya akan sibuk sama pekerjaan di ladang, jadi gak akan ada waktu untuk ngurus anak."
"Lo gak boleh gini dong, gue memang sering ngebantu kalian, tapi untuk kali ini tidak."
Dua orang pria paru baya itu sedang berkumpul tepat di halaman depan rumah seorang pria yang bernama Bram. Lalu, pria satu lagi adalah bernama Dariush, pria yang beberapa bulan lalu tak menganggap anaknya karena terpukul akibat istrinya yang meninggal.
"Sudah lah terima saja, gue udah gak nganggep anak ini lagi dan lo sebagai pamannya harus menggantikan sosok ayahnya yang sudah meninggal."
Sontak mendengar perkataan adik iparnya itu dirinya tak bergeming. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa perkataan itu keluar dari mulut adik iparnya sendiri.
"Dariush, lu gak boleh gitu ngambil keputusan tanpa berfikir dengan melibatkan amarah lu. Mau lo gak nganggep bayi ini lagi sebagai anak lo, tapi faktanya bahwa bayi ini memiliki ayah yang bernama Dariush Atamja dan belum mati!"
Pria yang bernama Dariush itu berdecak kesal, sudah dari dulu dia tak bisa kalah debat dengan kakak iparnya ini. Matanya mulai berputar mencari cara lain supaya bayi ini tak ada lagi di hadapannya.
"Oke, kalau lo gak mau. Tapi jangan salahkan gue kalau bayi ini akan ikut bersama ibunya di surga sana."
Sontak Bram mencegat adik iparnya itu yang sudah berjalan lumayan cepat dengan memegang tangannya yang menggenggam bayi malang itu.
"Oke-oke, kalau itu mau lo, gue terima bayi ini."
Dengan perasaan amarah dia berbalik badan dan membawa masuk bayi itu dengan sedikit elusan di lembut bayi itu.
Sebelum kakinya melangkah memasuki pintu rumahnya, langkah kakinya terhenti dan mulai berbalik badan melihat adik iparnya yang masih berdiri di sana bergeming.
"Sesuai perkataan lu, anak ini akan gue rawat seperti anak gue sendiri tanpa memperkenalkan anak ini di masa depan dengan siapa sosok asli ayahnya. Keponakan gue akan selalu mengenal perjuangan ibunya, bukan perjuangan ayahnya!"
—BERSAMBUNG—
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalingga: Cinta & Sastra
RomanceIni adalah kisah cinta yang tak biasa. Kalingga Adyava seorang siswa baru di SMA Harmoni Gemilang. Hari pertamanya saat MPLS-Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, terbilang sangat menyenangkan, bahkan membuat rasa aneh itu tumbuh. Hal itu di karenakan...